Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie mengatakan penerapan hukum dan peraturan yang dipengaruhi oleh hukum Islam di Indonesia mengalami perkembangan pesat setelah reformasi.
Sejak tahun 1999 hingga 2023, ia mencatat setidaknya ada 17 Undang-undang di Indonesia yang dapat dikualifikasikan sebagai hukum islam.
"Hukum islam di Indonesia pasca-reformasi mengalami surplus dari sisi kuantitas dibanding periode sebelumnya di masa orde baru," kata dia saat dihubungi melalui pesan tertulis.
Indonesia memang tidak menerapkan hukum islam secara menyeluruh, tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam Islam diterapkan dalam hukum positif, baik di tataran Undang-undang hingga tingkat Peraturan Daerah (Perda).
Di lapangan, hukum positif Indonesia yang dipengaruhi hukum syariah Islam ada di tataran produk UU hingga peraturan daerah. Berikut beberapa produk tersebut.
Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pornografi (RUU Pornografi) di Indonesia memakan waktu lebih dari lima tahun. Pembahasan RUU Pornografi baru memantik perhatian publik setelah berubah nama menjadi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP), 23 Juni 2005.
Pendukung RUUAPP secara umum mencakup kelompok berbasis agama Islam, kelompok perempuan berbasis agama Islam maupun nonagama, hingga organisasi perlindungan anak.
Secara umum, kelompok pendukung RUUAPP memandang pornografi telah meluas dengan kemudahan akses informasi. Mereka berpendapat ada hubungan kausalitas antara keterpaparan terhadap pornografi dengan perilaku seksual yang dianggap menyimpang dari batasan moralitas bangsa dan agama.
Sementara itu, penentang RUUAPP terdiri dari kelompok perempuan berbasis agama maupun non agama, organisasi agama Kristen, Katolik dan Hindu, kelompok seni, akademisi, aktivis HAM dan pluralisme, hingga kelompok transgender. Kelompok penentang ini menilai RUUAPP bukan solusi tepat untuk mengatasi masalah pornografi.
Salah satu aspek yang sangat krusial adalah pihak penentang memandang ada agenda tersembunyi dari kelompok islam politis untuk secara bertahap memasukkan hukum islam ke dalam hukum nasional.
Pandangan tersebut juga mendorong beberapa wilayah yang mayoritas penduduknya tidak beragama islam- seperti Bali, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua- menolak pengesahan UU Pornografi.
Bahkan, pemerintah daerah maupun masyarakat di wilayah tersebut tak segan mengancam akan memisahkan diri dari NKRI jika aspirasi mereka diabaikan.
Perdebatan yang terjadi tidak hanya di forum resmi DPR dan media massa, tetapi juga di jalanan dengan aksi demonstrasi. Puncak dari demonstrasi tersebut, DPR terpaksa menunda pembahasan RUUAPP yang rencananya dilakukan pada tahun 2006.
DPR selanjutnya merevisi RUUAPP dan mengubahnya menjadi RUU Pornografi dengan jumlah semula 11 Bab dan 93 Pasal, menyusut menjadi 10 Bab dan 52 Pasal. Pada September 2007, Presiden SBY melayangkan surat ke DPR yang menunjukkan persetujuan pembahasan RUU Pornografi dan mengutus empat menteri ke DPR.
Pembahasan tersebut kembali menyulut perdebatan publik. Wacana mengenai seksualitas perempuan terangkat menjadi wacana nasional, dibicarakan secara terbuka dalam forum diskusi ilmiah, demonstrasi dan media massa.
RUU Pornografi akhirnya disahkan menjadi Undang-undang dalam suasana kontroversial, berdasarkan persetujuan delapan fraksi.
Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) dan Fraksi Damai Sejahtera (PDS) melakukan perlawanan dengan melayangkan interupsi dan walk out. Satu hal yang paling disoroti mengenai kewenangan masyarakat berperan serta dalam penanggulangan pornografi (Pasal 21).
Aturan itu dianggap menjadi pembenaran bagi kelompok tak bertanggung jawab melakukan penghakiman terhadap hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Aksi walk out juga dilakukan oleh dua anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) asal Bali.
Usai disahkan jadi UU 30 Oktober 2008, kelompok masyarakat sipil termasuk aktivis perempuan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Ketua DPRD Bali Ida Bagus Putu Wesnawa menandatangani kesepakatan bersama untuk tidak melaksanakan UU tersebut dan memberikan perlindungan kepada masyarakat Bali yang terkena pasal-pasal dalam UU Pornografi.
Selain Bali, Papua dan Papua Barat juga akan menggunakan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua untuk menolak berlakunya UU Pornografi.
Respons sangat keras dilayangkan oleh Ketua DPRD Papua Barat bersama 40 pimpinan umat gereja se-Papua Barat. Mereka menyatakan tidak akan mengikuti Pemilu dan akan melepaskan diri dari NKRI.
Nilai-nilai yang terkandung dalam islam juga diterapkan dalam tataran Peraturan Daerah (Perda). Dalam batas tertentu, Perda syariah dijadikan modal politik bagi politikus untuk mendapat simpati dan kepercayaan politik yang berbuah pada dukungan publik.
Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)- sekarang BRIN-Syafuan Rozi dan Nina Andriana dalam kajiannya 'Politik Kebangsaan dan Potret Perda di Indonesia' menyatakan dalam kurun waktu lima tahun, kecenderungan implementasi Perda bernuansa syariah islam meningkat dan semakin merata.
Mulai dari Bulukumba, Padang, Solok, Pasaman Barat, Depok, Cianjur, Kota Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Pamekasan, Banjar Baru, Enrekang, Gowa hingga Maros.
Untuk level provinsi, Perda syariah ditemukan di Provinsi Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Banten, Gorontalo ataupun Sulawesi Selatan.
Sejumlah perda dan aturan berbau syariah memicu kontroversi. Seperti Perda Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah atau Perda Gerbang Marhamah di Cianjur. Atau, yang terbaru, penerapan tilang syariah oleh Polres Kabupaten Lombok Tengah.
Dalam penelitiannya, Syafuan Rozi dan Nina Andriana menyoroti salah satu Perda yang memiliki nama sangat kental dengan nuansa islami yakni Perda Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah atau Perda Gerbang Marhamah.
Mereka memandang Perda tersebut penting dimasukkan ke dalam penelitian karena pada umumnya beberapa Perda yang ada tetap menggunakan bahasa yang bersifat umum.
Selain itu, substansi Perda-nya pun umumnya hanya mengatur satu per satu bagian kehidupan di dalam masyarakat.
Seperti Perda pekat (penyakit masyarakat), SK Bupati tentang penggunaan jilbab bagi kaum muslimah, lalu Perda tentang larangan atau ketentuan jam malam bagi kaum perempuan di luar rumah seperti yang terjadi di Padang dan Tangerang.
Namun, semua peraturan tersebut tidak berada dalam 'satu payung' Perda yang utuh seperti yang terjadi di Kabupaten Cianjur.
Perda Gerbang Marhamah lahir karena peristiwa pelanggaran moral kesusilaan. Politikus DPRD maupun kepala daerah merespons peristiwa tersebut dengan membentuk peraturan di tingkat daerah.
"Perda Syariah dalam batas tertentu merupakan kendaraan politik, dengan memanfaatkan Perda Syariah sebagai instrumen memperoleh dukungan politik lewat visi dan cara dalam mengendalikan kriminalitas akibat lemahnya regulasi peredaran minuman keras yang memicu pelanggaran moral dan kejahatan pembunuhan, perkelahian, pencurian, perzinahan, prostitusi dan pemerkosaan," kata mereka dalam penelitiannya.
Di Kabupaten Cianjur juga ada Perda Pemberdayaan Pendidikan Diniyah Takmiliyah dan Pendidikan Alquran (2014) dan Perda Gerakan Penghafalan dan Pengkajian Alquran atau GP2Q (2015).
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menilai Perda syariah yang kian marak terkesan memberi pengistimewaan kepada kelompok warga negara di atas sekelompok warga negara yang lain.
Padahal, tegas dia, pada dasarnya setiap perseorangan warga negara mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya tak peduli jumlah mereka di dalam komunitas.
"Jadi, begitu kita berkelompok, berapa pun kuantitas kita, itu tidak terlalu problematik karena sesungguhnya setiap warga negara itu per orangan memiliki hak atau kesetaraan di dalam hak untuk diperlakukan sama oleh negara," kata Halili.
Menurut dia, kehadiran Perda syariah di sejumlah daerah menjadi penanda gejala kebangkitan politik identitas.
Hanya saja, secara umum, sejak dua dekade lalu kehadiran Perda syariah menandakan kecenderungan munculnya populisme politik bagi sejumlah elite untuk menghimpun dukungan dari kelompok mayoritas di masyarakat setempat.
Ia menyatakan hal itu merupakan sesuatu yang pragmatis dan bersifat jangka pendek.
"Ini bagian dari menguatnya apa yang kita cemaskan sebagai mayoritarianisme karena kalau kita lihat Perda syariah tentu saja merupakan sesuatu yang seperti kecenderungan di dalam masyarakat yang mayoritas muslim," katanya.
Namun menurut Halili, hal serupa juga terjadi di wilayah yang mayoritas beragama Kristen atau Hindu.
"Tetapi kalau kita lihat, cek di tempat yang lain di mana mayoritas bukan muslim, taruhlah misalnya hindu atau katolik, itu ada kecenderungan yang kurang lebih sama untuk mengistimewakan kelompok itu di atas kelompok warga negara yang lain," ungkap dia.
Dalam konteks itu, kata Halili, terjadi semacam pengentalan identitas. Di tingkat elite akan menjadi biasa saja, tetapi berbeda di ranah warga atau publik.
"Dan itu menurut saya berbahaya bagi tata kelola kebhinekaan di republik ini," imbuhnya.
Pada akhirnya, menurut Halili, ketika pengentalan identitas terjadi secara kultural, maka akan menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat secara horizontal.
Apabila berbicara hukum yang hidup di tengah masyarakat atau living law, Perda syariah seolah merupakan sesuatu yang normal ketika satu masyarakat dengan kecenderungan kuat keislamannya menjadikan syariah sebagai kehidupan dari sisi hukum dan norma.
Kata Halili, yang menjadi masalah adalah ketika nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat dijadikan alasan pembenar bagi pengistimewaan atas satu kelompok tertentu.
"Padahal, kalau kita bicara demokrasi, demokrasi itu kan mengenai dua hal: pertama apa yang sering kita sebut sebagai majority rule atau pemerintahan oleh mereka yang banyak dan minority rights yaitu pelindungan hak-hak minoritas," tutur Halili.
"Maka, dalam tata kelola demokrasi itu yang pertama kali dipertanyakan adalah soal bagaimana hak-hak yang sedikit itu diafirmasi untuk dilindungi sehingga prinsip pemerintahan demokratis adalah prinsip inklusif, sehingga tidak ada satu pun yang tertinggal atau no one left behind," tambah dia.
Dalam konteks tersebut, Halili menyimpulkan "Perda syariah menjadi problematik kalau Perda itu dijadikan alasan untuk mengistimewakan satu kelompok masyarakat di satu locus tertentu atas kelompok yang lain dalam konteks itu minoritas."
Alih-alih Perda Syariah, Andreas Harsono yang bekerja untuk Human Rights Watch lebih memilih memakai istilah 'peraturan yang diskriminatif'. Sebab, menurut dia, tak semua Perda syariah diskriminatif.
Terlebih lagi, istilah syariah islam mempunyai banyak tafsir. Sebagai contoh, jilbab. Ada yang bilang wajib dan ada juga yang mengatakan tidak.
"Saya cenderung memakai istilah peraturan yang diskriminatif," ucap Andreas saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Menurut Andreas, akar permasalahan peraturan diskriminatif dimulai sejak tahun 1952 saat Kementerian Agama memberikan batasan agama yang memiliki tiga aspek, yakni Nabi, kitab suci dan pengakuan internasional.
"Jadi, peraturan diskriminatif tidak muncul sejak zaman Soeharto tapi sejak tahun 1952. Ini bukan kebangkitan. Ini inheren dengan Indonesia minimal tahun 1952," imbuhnya.
Satu yang paling buruk, kata Andreas, yakni Pasal penodaan agama yang diatur dalam Undang-undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal yang berkaitan dengan penodaan agama juga diatur dalam KUHP (Pasal 156a).
Kata Andreas, Pasal tersebut jarang digunakan pada zaman Soeharto. Ada 10 kasus mengenai hal itu.
"Zaman Soeharto jarang dipakai, dia mulai bangkit terutama setelah SBY tahun 2004. Di zaman Soeharto hanya dipakai maksimal 10 kali, delapan vonis, dua tidak jelas. Jadi, selama 30 tahun hanya dipakai 10 kali. Sementara zaman SBY, selama 10 tahun itu 125 orang sudah divonis bersalah. Jokowi dan Prabowo melanjutkan," kata Andreas.
Dari data yang ia punya, secara umum yang disebut dengan peraturan diskriminatif ada 700-an. Terbagi dalam empat kategori yakni minoritas agama, perempuan (paling banyak dari 700-an itu dan berkenaan dengan wajib jilbab), LGBT dan pemakai alkohol.
Peraturan diskriminatif itu paling banyak ada di 24 provinsi yang mayoritas islam.
"Menurut kami, Human Rights Watch, kami puluhan tahun, bukan hanya kami, ada Setara, Gus Dur, Alissa Wahid, sudah puluhan tahun kami meminta ini dibatalkan termasuk penodaan agama. Ironisnya, penodaan agama diperbesar oleh DPR terakhir tahun 2022. KUHP baru Pasalnya dinaikkan dari 1 jadi 6," ungkap Andreas.
Di sisi lain, berdasarkan hasil survei, 64 persen masyarakat muslim di Indonesia menyatakan kesetujuannya pada syariat Islam sebagai hukum negara. Survei ini didapat dari lembaga survei Pew Research Center di kawasan Asia Tenggara.
Survei ini dikumpulkan Pew Research Center mulai Juni hingga September 2022 dengan melibatkan 13.122 responden dari enam negara Asia yang dipilih dengan desain sampling berbasis probabilitas. Khusus untuk responden Indonesia salah satunya, ada pengambilan data melalui wawancara langsung bersama responden.
Pengambilan data juga dilakukan di bawah supervisi dan konsultasi dari berbagai pihak seperti pakar akademis hingga dilakukan wawancara mendalam maupun membentuk kelompok diskusi di beberapa negara Asia.
Berdasarkan publikasi yang dirilis 2023 lalu, salah satu survei yang dilakukan terkait pandangan masyarakat Indonesia pada agama Islam. Termasuk menjadikan syariat Islam sebagai dasar hukum negara.
Survei terbaru menunjukkan angka 64 persen masyarakat muslim Indonesia setuju dengan syariat Islam sebagai hukum negara. Mayoritas muslim Indonesia juga menyatakan hal serupa pada survei yang pernah dilakukan pada 2011-2012 lalu.
Usulan syariat Islam menjadi dasar negara ini sempat termaktub dalam rumusan salah satu sila Pancasila. Rumusan tersebut tertuang dalam Piagam Jakarta yang kemudian diganti menjadi, "Ketuhanan yang Maha Esa," oleh PPKI.
Secara umum, masyarakat muslim di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam memandang Islam sebagai lebih dari sekadar agama. Pew Research Center merinci sebanyak 82 persen respon menyebut Islam sebagai budaya yang menjadi bagian diri dari seseorang.
Kemudian, 81 persen muslim Indonesia juga menyebut Islam sebagai tradisi keluarga yang harus seseorang ikuti. Ditambah lagi, 77 persen responden muslim Indonesia juga mengaku Islam sebagai etnis tempat seseorang dilahirkan.
Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta Tholabi menilai perubahan pandangan masyarakat terhadap hukum Islam itu juga tak terlepas dari maraknya kajian hukum Islam di perguruan tinggi. Terlebih, kata dia, kajian itu dilakukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Jadi, tidak ada lagi kecurigaan atas eksistensi hukum Islam. Keberadaan hukum Islam murni untuk mengatur masyarakat muslim dalam sektor tertentu seperti ekonomi syariah, haji, zakat, wakaf, peradilan agama, termasuk hukum keluarga," jelas dia.
Di sisi lain, Tholabi berharap keberadaan hukum Islam dapat semakin digunakan untuk membangun Indonesia.
Tak hanya itu, Tholabi menjelaskan terdapat 3 cara agar hukum Islam bersama dengan hukum adat, hingga hukum barat dapat bersandingan dalam sistem hukum nasional. Salah satunya, mengakui keberadaan masing-masing pilar hukum tanpa mempertentangkan pilar lainnya agar dapat berjalan berdampingan.
Kemudian, para pembentuk undang-undang harus memiliki kesadaran bersama terkait pentingnya koeksistensi hukum nasional.
"Melalui proses pembentukan, pengawasan, penafsiran, dan pelaksanaan sebuah norma peraturan perundang-undangan," katanya.