Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyatakan bahwa hingga saat ini terdapat 15 WNI yang ditangkap di Amerika Serikat atas tuduhan pelanggaran imigrasi di ... [329] url asal
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyatakan bahwa hingga saat ini terdapat 15 WNI yang ditangkap di Amerika Serikat atas tuduhan pelanggaran imigrasi di tengah meningkatnya penindakan terhadap imigran di bawah Presiden Donald Trump.
“Berdasarkan informasi yang diterima oleh perwakilan RI, ada 15 WNI yang terdampak, baik yang sudah ditahan dan ada pula yang sudah dideportasi,” ucap Direktur Pelindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha usai peluncuran SARI (Sahabat Artifisial Migran Indonesia), fitur chatbot untuk PMI, bersama UN Women di Jakarta, Senin.
Direktur Kemlu itu memastikan bahwa salah satu dari WNI yang diamankan di AS adalah Aditya Harsono Wicaksono (AH) yang tinggal di Marshall, Minnesota, diduga akibat keikutsertaan dalam aksi protes terkait kematian George Floyd yang memicu gerakan "Black Lives Matter" pada 2021.
Pria berusia 33 tahun tersebut ditangkap oleh agen Badan Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) di tempat kerjanya pada 27 Maret lalu.
Selain AH, satu dari 15 WNI lainnya yang diamankan tersebut diketahui telah dideportasi ke tanah air, ucap Judha.
Judha memastikan bahwa Kemlu RI telah berkomunikasi intensif dengan 6 Perwakilan RI di AS yang terdiri dari KBRI Washington DC serta KJRI di kota-kota San Francisco, Los Angeles, Chicago, Houston, dan New York untuk memitigasi kasus hukum dan imigrasi yang menimpa WNI.
“Termasuk KJRI Chicago yang menangani kasus tersebut juga sudah berhubungan dengan yang bersangkutan, dengan istrinya yang merupakan WN AS, dan pihak kuasa hukumnya,” kata pejabat Kemlu itu.
Kemlu RI juga telah berkoordinasi dengan otoritas setempat, seperti ICE dan Departemen Keamanan Nasional AS.
Sementara itu, untuk meningkatkan kesadaran WNI terhadap hak hukum mereka apabila ditangkap, Judha menyatakan bahwa Perwakilan RI setempat dan komunitas WNI di AS terus didorong untuk menyebarluaskan informasi terkait hal tersebut.
Hak-hak hukum tersebut antara lain hak mendapat akses kekonsuleran dan menghubungi perwakilan RI, hak mendapat pendampingan pengacara, dan hak tidak menyampaikan pernyataan apapun apabila tidak didampingi pengacara, kata Judha.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) melaporkan sebanyak 15 warga negara Indonesia (WNI) terdampak kebijakan imigrasi Presiden AS Donald Trump. - Halaman all [176] url asal
JAKARTA, investor.id – Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha mengungkapkan terdapat 15 warga negara Indonesia (WNI) yang terdampak kebijakan imigrasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Ia menjelaskan, ke-15 orang tersebut dianggap melakukan pelanggaran keimigrasian. Dari 15 WNI terdampak, satu orang di antaranya telah dideportasi ke Indonesia.
“Dapat kami sampaikan bahwa hingga saat ini, berdasarkan informasi yang diterima oleh perwakilan RI, ada 15 wakil negeri kita yang terdampak,” kata Judha saat ditemui di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Dia bilang, sejak kebijakan imigrasi diterapkan di AS, Kementerian Luar Negeri RI telah mengadakan koordinasi intensif dengan seluruh perwakilan yang ada di Amerika Serikat.
“Kita memiliki 6 perwakilan RI yang ada di Amerika Serikat. KBRI Washington DC, KJRI San Francisco, KJRI Los Angeles, KJRI Chicago, KJRI Houston, KJRI New York. Semuanya sudah bekerja untuk memberikan pelindungan kepada wakil negeri kita yang terdampak terhadap kebijakan Trump ini,” demikian jelas Judha.
Pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi WNI di AS yang ditahan, termasuk Aditya Wahyu yang ditahan karena ikut demo Black Lives Matter. Halaman all [268] url asal
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra memastikan pemerintah akan melindungi warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan di Amerika Serikat (AS) lantaran diduga mengikuti demo Black Lives Matter.
Bahkan, perlindungan ini tetap diberikan bagi warga negara yang melakukan kesalahan sebagai kewajiban negara untuk melindungi warganya.
"Ya, pasti (dilindungi), warga negara kita di luar negeri. Walaupun salah pun kita lindungi, apalagi yang enggak salah," kata Yusril di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2025).
Yusril pun menyerahkan penyelesaian masalah itu kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). "Bisa dicek ke Kementerian Luar Negeri. Biasanya kalau mereka bisa selesaikan," bebernya.
Sebelumnya diberitakan, seorang mahasiswa asal Indonesia bernama Aditya Wahyu Harsono (33) yang tinggal di Marshall, Minnesota, ditangkap agen Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) akibat pencabutan mendadak visa mahasiswa (F-1) miliknya.
Aditya ditangkap pada 27 Maret 2025, hanya empat hari setelah visanya dicabut.
Penangkapan mahasiswa Indonesia ini diduga terkait dengan partisipasinya dalam gerakan "Black Lives Matter" sebagai respons terhadap kematian George Floyd pada 25 Mei 2020.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha mengatakan, saat ini Konsulat Jenderal RI di Chicago berkomunikasi dengan AWH dan istrinya yang merupakan warga AS. "Selama proses hukum, yang bersangkutan telah didampingi pengacara," ucap Judha dalam keterangan pers, Selasa (15/4).
Judha mengatakan, AWH telah menjalani persidangan pada 10 April 2025 dengan putusan bebas dengan jaminan.
Namun, kata Judha, Departemen Keamanan Dalam Negeri mengajukan banding yang dijadwalkan diadakan pada tanggal 17 April 2025. "Saat ini, ditahan di Kandiyohi County Jail, Marshall, Minnesota," tutur Judha.
Seorang mahasiswa Indonesia ditahan oleh Badan Imigrasi dan Bea Cukai AS beberapa hari setelah visa mahasiswanya dicabut secara tiba-tiba. [428] url asal
Seorang mahasiswa berkewarganegaraan Indonesia (WNI) ditahan oleh otoritas imigrasi Amerika Serikat (AS) beberapa hari setelah visa mahasiswanya dicabut secara tiba-tiba. Penahanan mahasiswa Indonesia ini diduga terkait pandangan politiknya selama berada di AS.
Aditya Wahyu Harsono yang berusia 33 tahun dan tinggal di Marshall, Minnesota, seperti dilansir CBS News dan media lokal The Minnesota Star Tribune, Senin (14/4/2025), ditangkap oleh sejumlah agen Badan Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) di tempat kerjanya pada 27 Maret lalu.
Aditya pertama datang ke AS satu dekade lalu dan tinggal secara legal di negara itu dengan visa mahasiswa. Dia mendapatkan gelar Master dalam bidang bisnis di Southwest Minnesota State University pada tahun 2023, dan kini bekerja sebagai manajer supply-chain di Marshall melalui Pelatihan Praktik Opsional -- program yang memungkinkan mahasiswa internasional untuk mendapatkan masa tinggal resmi setelah lulus untuk bekerja di bidang studi mereka.
Di Minnesota, Aditya menikah dengan seorang wanita warga negara AS bernama Peyton Harsono. Pasangan muda ini dikaruniai seorang putri berusia 8 bulan. Aditya sedang dalam proses pengajuan green card melalui istrinya yang warga AS, yang akan memberikannya status penduduk tetap sah di AS.
Pengacaranya, Sarah Gad, menuturkan bahwa Aditya ditangkap oleh para agen ICE hanya beberapa hari setelah visa mahasiswanya dicabut secara tiba-tiba. Pencabutan visa mahasiswa itu, menurut Gad, sama sekali tidak diberitahukan kepada kliennya sebelumnya.
Penangkapan ini membuat Aditya harus terpisah dari istri dan anaknya. Saat ini, dia ditahan di fasilitas penahanan ICE di area Kandiyohi County.
Gad mengatakan bahwa pencabutan visa Aditya itu didasarkan pada hukuman yang dijatuhkan tahun 2022 lalu atas pelanggaran ringan terkait kerusakan properti yang melibatkan sang WNI. Namun Gad mencurigai sebenarnya pandangan politik kliennya telah menjadikannya sebagai target ICE.
Pencabutan visa dan penangkapan Aditya itu diduga terkait dengan partisipasinya dalam unjuk rasa mendukung gerakan Black Lives Matter usai pembunuhan pria kulit hitam bernama George Floyd oleh polisi AS tahun 2021 lalu. Pada saat itu, Aditya sempat ditangkap karena mengikuti perkumpulan yang melanggar hukum.
Kasus itu akhirnya dibatalkan oleh jaksa penuntut setempat demi "kepentingan hukum".
Lebih lanjut, Gad menegaskan bahwa kliennya telah mempertahankan status hukum sejak kedatangannya dan permohonan green card yang masih berproses seharusnya memungkinkan Aditya untuk tetap tinggal di AS.
"Meskipun visa mahasiswanya telah dicabut, dia masih diizinkan untuk tetap tinggal di AS sementara petisi imigrasinya diproses," tegasnya.
Gad menilai bahwa para pejabat federal AS tampaknya lebih tertarik pada riwayat unjuk rasa kliennya daripada catatan kriminalnya.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, saat dimintai tanggapan, mengatakan pihaknya tidak mengomentari kasus-kasus spesifik dengan alasan privasi.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Diaspora Indonesia dan WNI di AS mengungkap "kecemasan dan kekhawatiran", usai Presiden Trump memasukkan 4.276 WNI ke dalam daftar untuk segera dideportasi. [1,569] url asal
Diaspora Indonesia dan warga negara Indonesia di Amerika Serikat (AS) mengungkap "kecemasan dan kekhawatiran" mereka, usai Presiden AS Donald Trump memasukkan 4.276 WNI ke dalam daftar untuk segera dideportasi dari negara itu.
Ginokkon Aseando, WNI yang bermukim di Queens, New York, AS, mengatakan perintah deportasi ini paling utama untuk mereka yang "tidak bersurat" dan memiliki "catatan kriminal".
Sementara itu, Sinta Penyami Storms, pendiri komunitas diaspora Indonesia, Gapura Philadelphia yang mengedukasi warga negara Indonesia (WNI) mengenai hak-hak mereka di mata regulasi AS mengaku sudah lama mendengar kabar perintah deportasi kepada sejumlah WNI.
Lebih dari 4.000 WNI tersebut menerima final order removal atau perintah akhir pemindahan.
Mereka dilaporkan tidak memiliki izin legal untuk tinggal sehingga harus angkat kaki dari negara tersebut.
Final order removal ini umumnya diberikan kepada mereka yang memiliki catatan kriminal, pelanggaran imigrasi, serta status legal yang kadaluarsa.
'Saat inagurasi, langsung terjadi kepanikan, orang-orang histeris'
Sinta Penyami Storms, 47, diaspora Indonesia di Philadelphia yang sudah menjadi warga negara AS mengaku setelah Trump resmi kembali menjabat presiden AS, "terjadi kepanikan" di kalangan WNI di AS.
"Pada saat inaugurasi [Trump] itu langsung terjadi kepanikan, orang-orang histeris gitu," kata Sinta, kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (07/02).
"Kepanikan" dan "histeria" ini cukup beralasan, menurut Sinta, sebab saat itu makin banyak polisi imigrasi berkeliaran di Philadelphia Selatan.
Ini kontras dengan apa yang terjadi sebelum inaugurasi Trump pada awal Januari silam.
"Jadi situasinya memang banyak kecemasan dan kekhawatiran," kata dia.
Getty ImagesPetugas ICE Philadelphia melakukan operasi penegakan hukum di tempat pencucian mobil dan menangkap tujuh orang pada 28 Januari 2025 di Philadelphia, Pennsylvania.
"Kalau dibilang ketakutan ya mungkin ada juga, tapi lebih banyak cemas," tutur Sinta.
"Apakah saya aman kalau saya berangkat kerja, apakah saya aman kalau saya mengantarkan anak saya sekolah, atau mungkin pergi berbelanja," ujarnya kemudian.
Sita bilang hal serupa juga dialami WNI yang tinggal di wilayah lain, seperti Chicago di wilayah Barat Tengah, hingga California di pesisir Barat.
Umumnya, kata Sinta, kecemasan dan ketakutan dirasakan mereka yang masa tinggalnya sudah kadaluarsa.
Salah satu dari tujuh imigran yang ditangkap oleh petugas ICE Philadelphia dalam operasi penegakan hukum di tempat pencucian mobil pada 28 Januari 2025. (Getty Images)
Lebih lanjut, Sinta mengungkapkan kabar perintah deportasi kepada sejumlah WNI sudah lama tersiar, utamanya terhadap mereka yang mencari suaka akibat Peristiwa 1998.
"Perintah deportasi itu ada yang sudah lama sekali."
"Mereka datang dengan asylum karena kerusuhan dan turunnya Suharto dan lain-lain. Jadi yang dijadikan target adalah orang-orang yang seperti itu," jelas Sinta.
"Kalau perintah deportasi yang akhir-akhir ini mungkin enggak terlalu banyak."
Getty ImagesPenindakan petugas ICE Philadelphia terhadap imigran pada 28 Januari 2025 silam. Sebanyak delapan imigran gelap ditangkap.
Sinta mengatakan para petugas Immigration and Customs Enforcement (ICE) sejauh ini cenderung melakukan penindakan kepada para imigran asal negara-negara Amerika Latin.
Menurut Sinta, wilayah yang paling rentan bagi para imigran adalah di negara bagian Floridayang baru-baru ini mengeluarkan beleid menyasar para imigran.
Aturan yang diteken Gubernur Ron DeSantis pada Februari 2025 ini mengatur peningkatan hukuman dan penolakan pembayaran jaminan bagi imigran yang ditindak dan kedapatan tak memegang dokumen resmi.
Kebijakan ini juga mengatur hukuman mati bagi imigran yang tak memiliki dokumen valid dan tertangkap melakukan tindak pidana pembunuhan tingkat pertama dan pemerkosaan anak.
"Jadi saat ini, untuk orang-orang yang sebetulnya sangat berbahaya untuk tinggal di Florida," kata Sinta.
Dua WNI ditahan otoritas AS
Ginokkon Aseando, WNI yang bermukim di Queens, New York, AS, mengatakan kewaspadaan WNI yang bermukim dan bekerja di AS memang hal yang umum dirasakan.
Ia mencontohkan seorang temannya yang baru pindah ke AS selama satu tahun begitu sigap dalam mengurus izin perizinan tinggalnya, karena takut bermasalah di kemudian hari.
Meski begitu, ia berpendapat para WNI yang tinggal di kota New York seperti dirinya, tak perlu merasa cemas. Sebab, New York adalah salah satu kota "sanctuary".
Status sanctuary ini memungkinkan administrasi kota bisa mengambil kebijakan yang tak tegak lurus dengan aturan pemerintah federal AS, salah satunya dalam hak keimigrasian.
"Seharusnya sih aman kalau tidak melakukan kriminal," kata Nando.
Protes di New York terhadap kebijakan Presiden Donald Trump terkait imigran. (Getty Images)
Kendati begitu, dia mengaku mendengar kabar dua WNI ditindak otoritas AS. Salah dari mereka bermukim di wilayah tempat dia tinggal di New York.
"Setahu saya itu orang katanya sudah sempat daftar buat apply pergantian status imigrasi, tapi ditolak," ujar pria yang akrab disapa Nando ini.
"Pas laporan tahunan katanya ditangkap. Nah, kalau misalkan karena laporan tahunan ditangkap, seharusnya dia enggak akan dideportasi, cuma akan dirilis," jelas Nando.
Meski begitu, Nando mengaku tak tahu kondisi terkini warga yang ia ceritakan ditindak aparat setempat.
Siapa saja yang masuk dalam daftar deportasi?
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, membenarkan dua WNI ditahan oleh otoritas AS imbas dari kebijakan anti-imigran gelap Presiden Donald Trump.
"Satu ditahan di Atlanta, Georgia, dan satu ditahan di New York," kata Judha dalam konferensi pers, Jumat, (07/02).
Kedua WNI ini adalah bagian dari 4.276 WNI yang tidak memiliki dokumen imigrasi yang sah dan berstatus belum dihukum.
Judha menambahkan 4.276 orang ini merupakan bagian dari dari keseluruhan 1,4 juta orang yang masuk daftar final order removal.
Judha menyebutkan contoh kasus WNI berinisial BK di New York yang ditangkap akhir Januari 2025 lalu.
Getty ImagesSejumlah warga El Salvador yang dideportasi dari Amerika Serikat (AS) membawa barang-barang pribadi mereka saat tiba di kantor Imigrasi di San Salvadir, El Salvador, 12 Februari 2025.
Ini terjadi saat BK melakukan pelaporan tahunan di kantor Immigration and Custom Enforcement (ICE).
BK diketahui masuk daftar deportasi sejak 2009 silam.
Selain itu, Judha mengungkap ada WNI lain, berinisial TRN yang ditahan di Atlanta, Georgia pada 29 Januari.
"Saat ini hanya dua WNI yang kami dapat informasi ditahan. Kami akan terus monitor," kata Judha kepada media, Kamis (13/02), di Jakarta
Apa yang harus dilakukan ribuan WNI yang terancam dideportasi dari AS?
Judha mengatakan WNI di AS yang masuk daftar ini bisa melapor ke perwakilan diplomatik Indonesia di negeri tersebut.
Ia mengimbau agar para WNI mengetahui hak mereka sesuai hukum AS.
Judha mengatakan perwakilan diplomatik Indonesia di AS bakal memberikan pendampingan hukum.
Sebelum pengumuman daftar deportasi dari Kemenlu, Menteri Koordinator (Menko) bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Imigrasi Yusril Ihza Mahendra juga sempat menyinggung perihal rencana Presiden AS Donald Trump yang akan melakukan deportasi besar-besaran para imigran.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia mengantisipasi kebijakan presiden baru AS tersebut.
"Oleh karena kita harus bertindak melindungi warga negara kita yang ada di luar negeri. Saya kira itu normalnya kita akan lakukan," kata Yusril, seperti dikutip dari detikcom.
Apa yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia?
Akhir Januari lalu, pemerintah Indonesia juga berencana membentuk tim khusus untuk mengantisipasi isu deportasi WNI dari AS, pasca Trump terpilih.
Menteri HAM Natalius Pigai mengatakan kementeriannya bakal bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri untuk memastikan perlindungan yang bisa diberikan para WNI yang terimbas deportasi.
Ia sempat menyebut bahwa pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden AS, pihaknya mendengar ada sejumlah WNI yang mengaku resah di negara itu.
Salah satu penyebabnya karena mereka mengalami masalah dokumen imigrasi, katanya.
"Misalnya saja ada yang menetap dengan bekal visa turis atau menggunakan modus pencari suaka politik, tetapi ternyata dokumennya palsu. Ini kejadiannya ada yang terkait WNI kita juga," kata Pigai, seperti dikutip dari Antara.
Apakah pemerintah Indonesia perlu mengakomodasi pemulangan ribuan WNI?
Dengan kondisi ini, pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana mengimbau pemerintah Indonesia perlu memastikan akomodasi para WNI sekiranya kebijakan deportasi sudah final dan siap dieksekusi pemerintahan Trump.
"Siapa tahu mereka tidak punya uang. Kalau mereka tidak punya uang, ya kita bisa pick up mereka dalam satu pesawat untuk kembali ke Indonesia," kata Hikmahanto kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (14/02).
Hikmahanto mengatakan kebijakan ini tak terhindarkan karena umumnya mereka yang masuk daftar tersebut "visanya expired ataukah mungkin mereka sudah tidak sesuai dengan izin tinggalnya."
Apa perbedaan kebijakan imigran pemerintahan Trump dan Biden?
Hikmahanto mengatakan isu imigran yang mengalami masalah terkait dokumen keimigrasian ini sudah lama terdengar, namun menurutnya belum ditindak secara masif.
Pergantian rezim di AS ikut mengubah kebijakan terkait imigran, katanya.
Getty ImagesMereka yang masuk daftar deportasi ini adalah yang masa tinggalnya sudah kadaluarsa, mengalami masalah dokumen keimigrasian, dan punya catatan kriminal.
Dia menilai pemerintahan Trump lebih keras dalam mengambil kebijakan bagi para imigran, dibanding Joe Biden.
Dugaan Hikmawanto, AS di bawah Biden lebih kendur dalam menindak para imigran.
Alasannya, menurutnya, kehadiran tenaga kerja para imigran ini memang dibutuhkan untuk mendongkrak kegiatan ekonomi di AS.
"Banyak yang tahu tapi dianggap oleh pemerintah Amerika tidak terjadi, sehingga ya mereka enggak mengalami deportasi," kata Hikmahanto.
Sebanyak 4.276 Warga Negara Indonesia (WNI) di Amerika Serikat (AS) masuk daftar pemerintahan Presiden Donald Trump untuk segera dideportasi. [835] url asal
Sebanyak 4.276 Warga Negara Indonesia (WNI) di Amerika Serikat (AS) masuk daftar pemerintahan Presiden Donald Trump untuk segera dideportasi. Di antara mereka adalah WNI yang mengalami masalah dokumen imigrasi, status legal yang kadaluarsa, juga terkena kasus kriminal.
Lebih dari 4.000 WNI tersebut menerima final order removal atau perintah akhir pemindahan.
Mereka dilaporkan tidak memiliki izin legal untuk tinggal sehingga harus angkat kaki dari negara tersebut.
Final order removal ini umumnya diberikan kepada mereka yang memiliki catatan kriminal, pelanggaran imigrasi, serta status legal yang kadaluarsa.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menjelaskan, di antara 4.276 orang ini, ada yang tidak memiliki dokumen imigrasi yang sah, dan berstatus belum dihukum.
Judha menambahkan 4.276 orang ini merupakan bagian dari dari keseluruhan 1,4 juta orang yang masuk daftar final order removal.
Getty ImagesSejumlah warga El Salvador yang dideportasi dari Amerika Serikat (AS) membawa barang-barang pribadi mereka saat tiba di kantor Imigrasi di San Salvadir, El Salvador, 12 Februari 2025.
Judha menyebutkan contoh kasus WNI berinisial BK di New York yang ditangkap akhir Januari 2025 lalu.
Ini terjadi saat BK melakukan pelaporan tahunan di kantor Immigration and Custom Enforcement (ICE).
BK diketahui masuk daftar deportasi sejak 2009 silam.
Selain itu, Judha mengungkap ada WNI lain, berinisial TRN yang ditahan di Atlanta, Georgia pada 29 Januari.
"Saat ini hanya dua WNI yang kami dapat informasi ditahan. Kami akan terus monitor," kata Judha kepada media, Kamis (13/02), di Jakarta
Apa yang harus dilakukan ribuan WNI yang terancam dideportasi dari AS?
Judha mengatakan WNI di AS yang masuk daftar ini bisa melapor ke perwakilan diplomatik Indonesia di negeri tersebut.
Ia mengimbau agar para WNI mengetahui hak mereka sesuai hukum AS.
Judha mengatakan perwakilan diplomatik Indonesia di AS bakal memberikan pendampingan hukum.
Sebelum pengumuman daftar deportasi dari Kemenlu, Menteri Koordinator (Menko) bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Imigrasi Yusril Ihza Mahendra juga sempat menyinggung perihal rencana Presiden AS Donald Trump yang akan melakukan deportasi besar-besaran para imigran.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia mengantisipasi kebijakan presiden baru AS tersebut.
"Oleh karena kita harus bertindak melindungi warga negara kita yang ada di luar negeri. Saya kira itu normalnya kita akan lakukan," kata Yusril, seperti dikutip dari detikcom.
Akhir Januari lalu, pemerintah Indonesia juga berencana membentuk tim khusus untuk mengantisipasi isu deportasi WNI dari AS, pasca Trump terpilih.
Menteri HAM Natalius Pigai mengatakan kementeriannya bakal bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri untuk memastikan perlindungan yang bisa diberikan para WNI yang terimbas deportasi.
Ia sempat menyebut bahwa pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden AS, pihaknya mendengar ada sejumlah WNI yang mengaku resah di negara itu.
Salah satu penyebabnya karena mereka mengalami masalah dokumen imigrasi, katanya.
"Misalnya saja ada yang menetap dengan bekal visa turis atau menggunakan modus pencari suaka politik, tetapi ternyata dokumennya palsu. Ini kejadiannya ada yang terkait WNI kita juga," kata Pigai, seperti dikutip dari Antara.
Apakah pemerintah Indonesia perlu mengakomodasi pemulangan ribuan WNI?
Dengan kondisi ini, pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana mengimbau pemerintah Indonesia perlu memastikan akomodasi para WNI sekiranya kebijakan deportasi sudah final dan siap dieksekusi pemerintahan Trump.
"Siapa tahu mereka tidak punya uang. Kalau mereka tidak punya uang, ya kita bisa pick up mereka dalam satu pesawat untuk kembali ke Indonesia," kata Hikmahanto kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (14/02).
Hikmahanto mengatakan kebijakan ini tak terhindarkan karena umumnya mereka yang masuk daftar tersebut "visanya expired ataukah mungkin mereka sudah tidak sesuai dengan izin tinggalnya."
Apa perbedaan kebijakan imigran pemerintahan Trump dan Biden?
Hikmahanto mengatakan isu imigran yang mengalami masalah terkait dokumen keimigrasian ini sudah lama terdengar, namun menurutnya belum ditindak secara masif.
Pergantian rezim di AS ikut mengubah kebijakan terkait imigran, katanya.
Getty ImagesMereka yang masuk daftar deportasi ini adalah yang masa tinggalnya sudah kadaluarsa, mengalami masalah dokumen keimigrasian, dan punya catatan kriminal.
Dia menilai pemerintahan Trump lebih keras dalam mengambil kebijakan bagi para imigran, dibanding Joe Biden.
Dugaan Hikmawanto, AS di bawah Biden lebih kendur dalam menindak para imigran.
Alasannya, menurutnya, kehadiran tenaga kerja para imigran ini memang dibutuhkan untuk mendongkrak kegiatan ekonomi di AS.
"Banyak yang tahu tapi dianggap oleh pemerintah Amerika tidak terjadi, sehingga ya mereka enggak mengalami deportasi," kata Hikmahanto.
Trump memperketat aturan keimigrasian yang menyasar imigran tak berdokumen. Akibat kebijakan itu, Kemlu RI mengungkap 4 ribuan WNI di AS terancam dideportasi. [272] url asal
Presiden AS Donald Trump telah memperketat aturan keimigrasian AS yang menyasar imigran tak berdokumen. Akibat kebijakan itu, Kemlu RI mengungkap 4 ribuan WNI di AS terancam dideportasi.
"Ada 4.276 (WNI) dari total 1,4 juta warga negara asing di Amerika Serikat yang masuk dalam 'final order' tersebut," kata Direktur Pelindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha di Jakarta, dikutip Antara, Jumat (14/2/2025).
Judha mengatakan 4.276 WNI yang tercatat dalam daftar 'final order of removal' dinas imigrasi dan bea cukai AS (ICE) itu berpotensi dideportasi dari AS.
Dia mengatakan WNI yang ada dalam daftar ICE diketahui tak memiliki dokumen lengkap untuk tinggal di AS. Namun, lanjut Judha, mereka tidak ditangkap maupun ditahan. Mereka diharuskan melapor secara rutin ke kantor ICE.
Judha memastikan Kemlu RI terus memantau kondisi para WNI di AS menyusul kebijakan imigrasi baru di bawah Presiden Trump. Dia juga mengimbau kepada para WNI untuk langsung menghubungi perwakilan RI terdekat apabila ditangkap otoritas AS.
Lebih lanjut, Judha mengimbau WNI di AS untuk mengetahui hak-hak hukumnya dan mematuhi regulasi baru.
"Kami imbau WNI di AS untuk know your rights (ketahui hak-hakmu) supaya tahu ketika terkena penindakan hukum, masih ada hak-hak yang mereka miliki dan harus perjuangkan," ucap Judha.
Hak-hak tersebut di antaranya adalah hak mendapat akses kekonsuleran dan menghubungi perwakilan RI, hak mendapat pendampingan pengacara, dan hak tidak menyampaikan pernyataan apapun apabila tidak didampingi pengacara.
Kemlu RI dan seluruh perwakilan RI juga telah melakukan langkah-langkah koordinasi dan pertemuan virtual untuk menentukan langkah-langkah pelindungan kepada WNI yang berpotensi ditindak.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengimbau WNI di Amerika Serikat untuk mengetahui hak-hak hukumnya dan mematuhi regulasi di tengah meningkatnya penindakan ... [374] url asal
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengimbau WNI di Amerika Serikat untuk mengetahui hak-hak hukumnya dan mematuhi regulasi di tengah meningkatnya penindakan terhadap imigran di bawah Presiden Donald Trump.
“Kami imbau WNI di AS untuk know your rights (ketahui hak-hakmu) supaya tahu ketika terkena penindakan hukum, masih ada hak-hak yang mereka miliki dan harus perjuangkan,” ucap Direktur Pelindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha di Jakarta, Kamis.
Ditemui usai menyampaikan laporan capaian pelindungan WNI selama 2024 di kantor Kementerian Luar Negeri RI, Judha mengatakan bahwa seluruh perwakilan RI di AS telah menyampaikan imbauan tersebut kepada WNI di AS melalui berbagai wahana.
Hak-hak tersebut di antaranya adalah hak mendapat akses kekonsuleran dan menghubungi perwakilan RI, hak mendapat pendampingan pengacara, dan hak tidak menyampaikan pernyataan apapun apabila tidak didampingi pengacara.
“Semua hak-hak tersebut dilindungi dalam sistem hukum AS, tapi tentu (WNI di AS) harus paham supaya ketika mengalami penangkapan, hak-hak mereka tetap terjaga,” kata Judha.
Kemlu RI dan seluruh perwakilan RI juga telah melakukan langkah-langkah koordinasi dan pertemuan virtual untuk menentukan langkah-langkah pelindungan kepada WNI yang berpotensi ditindak.
Dengan demikian, KBRI Washington DC maupun KJRI yang tersebar di lima kota besar di AS siap memberikan pendampingan hukum yang diperlukan kepada para WNI yang terdampak kebijakan imigrasi AS.
Ribuan WNI berpotensi dideportasi
Sementara itu, Judha memastikan bahwa sebagaimana data yang diterima perwakilan RI di AS per 24 November 2024, ada 4.276 WNI yang tercatat dalam daftar “final order of removal” dinas imigrasi dan bea cukai AS (ICE) sehingga mereka berpotensi dideportasi dari AS.
“Ada 4.276 (WNI) dari total 1,4 juta warga negara asing di Amerika Serikat yang masuk dalam ‘final order’ tersebut,” kata Judha.
Ia menjelaskan bahwa WNI yang ada dalam daftar ICE tersebut diketahui tak memiliki dokumen lengkap untuk tinggal di AS, namun mereka tidak ditangkap maupun ditahan. Mereka pun diharuskan melapor secara rutin ke kantor ICE.
Judha memastikan bahwa Kemlu RI terus memantau kondisi para WNI di AS menyusul kebijakan imigrasi baru di bawah Presiden Trump. Ia juga mengimbau kepada para WNI untuk langsung menghubungi perwakilan RI terdekat apabila ditangkap otoritas AS.
Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI melaporkan lebih dari 4.000 Warga Negara Indonesia (WNI) terancam dideportasi dari Amerika Serikat seiring dengan perubahan kebijakan imigrasi Negeri Paman Sam dibawah Presiden Donald Trump.
Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha menuturkan berdasarkan data yang diperoleh dari enam Perwakilan RI yang ada di AS hingga 24 November 2024, sebanyak 4.276 WNI termasuk dalam daftar Final Order of Removal.
"Jadi tidak ditangkap, tidak ditahan, namun masuk dalam list Final Order of Removal. Itu ada 4.276 orang dari total 1,4 juta warga negara Indonesia yang ada di AS yang masuk dalam Final Order," Kata Judha dalam Press Briefing Capaian Pelayanan dan Pelindungan WNI 2024 di Gedung Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Jakarta pada Kamis (13/2/2025).
Adapun, daftar Final Order of Removal dikeluarkan oleh Lembaga Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS atau US Immigration and Customs Enforcement's (ICE).
Mengutip laman resmi ICE, perintah untuk memasukkan seseorang ke daftar tersebut dapat dikeluarkan oleh hakim imigrasi di Kantor Eksekutif Peninjauan Imigrasi atau Executive Office for Immigration Review (EOIR), Departemen Kehakiman (Department of Justice/DOJ) atau melalui cara administratif lainnya.
Setelah seseorang masuk dalam daftar tersebut, ICE akan memfasilitasi kepulangan individu tersebut dengan selamat ke negara asalnya sesuai dengan undang-undang imigrasi Amerika Serikat, serta komitmen internasional dan perjanjian bilateral apa pun yang mungkin ada.
Judha melanjutkan, pihak Kemenlu telah melakukan langkah-langkah koordinatif dengan seluruh perwakilan RI di AS terkait perubahan kebijakan imigrasi tersebut.
Dia mengatakan, perwakilan RI di AS juga telah mengeluarkan imbauan kepada seluruh WNI untuk mengetahui hak-haknya dalam menghadapi masalah keimigrasian tersebut melalui beragam platform.
Dia memaparkan, hak WNI saat berhadapan dengan otoritas hukum AS di antaranya adalah mendapatkan akses komunikasi ke konsuler, dapat menghubungi perwakilan RI, dan mendapatkan pendampingan pengacara. Judha menambahkan, WNI juga berhak untuk tidak menyampaikan keterangan tanpa pendampingan pengacara.
Judha pun mengimbau kepada masyarakat Indonesia di AS jika terjadi kasus penangkapan untuk segera menghubungi hotline perwakilan RI yang terdekat. Dia juga mengingatkan masyarakat agar memahami hak-hak yang mereka miliki dalam sistem hukum AS.
"Itu [hak] semua dilindungi dalam sistem hukum Amerika Serikat. Tetapi tentu mereka harus paham, agar ketika mengalami penangkapan, hak-haknya tetap dilindungi," ujar Judha.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengatakan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan enam Perwakilan RI di Amerika Serikat untuk mengantisipasi dampak ... [257] url asal
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengatakan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan enam Perwakilan RI di Amerika Serikat untuk mengantisipasi dampak kebijakan imigrasi yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
“Kemlu dan enam Perwakilan RI sudah melakukan langkah-langkah antisipasi. Kita sudah melakukan koordinasi secara virtual,” kata Direktur Pelindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kemlu Judha Nugraha dalam taklimat media di Jakarta, Jumat.
Diketahui ada enam Perwakilan RI di Amerika Serikat, yaitu KBRI Washington DC, KJRI San Francisco, KJRI Los Angeles, KJRI Houston, KJRI Chicago, dan KJRI New York.
Judha mengatakan pihaknya sudah dan akan terus berkoordinasi untuk langkah-langkah antisipasi dengan menetapkan standar prosedur untuk penanganan jika nanti ada WNI yang ditangkap akibat kebijakan baru imigrasi AS.
Perwakilan RI juga berkoordinasi dengan berbagai macam otoritas di AS, seperti Immigration and Customs Enforcement (ICE), Custom and Border Protection (CBP) dan pihak Homeland Security Investigation, kata Judha.
Lebih lanjut dia mengatakan Perwakilan RI itu sudah menyampaikan sejumlah imbauan melalui beragam platform dan berbagai macam program edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan para pemuka masyarakat serta menyampaikan nomor hotline seluruh Perwakilan RI melalui berbagai macam platform.
“Intinya adalah menyampaikan langkah-langkah apa yang harus dilakukan jika terjadi proses penangkapan, hak-hak apa saja yang mereka miliki dalam proses hukum yang sedang dan akan dijalani,” kata Judha.
Judha pun mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia yang berada di wilayah Amerika Serikat untuk tetap mematuhi aturan hukum setempat yang berlaku.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyampaikan bahwa dua WNI ditangkap oleh pihak otoritas Amerika Serikat akibat kebijakan imigrasi yang dilaksanakan oleh ... [254] url asal
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyampaikan bahwa dua WNI ditangkap oleh pihak otoritas Amerika Serikat akibat kebijakan imigrasi yang dilaksanakan oleh Presiden AS Donald Trump.
“Satu ditahan di Atlanta, Georgia. Satu ditahan di New York,” kata Direktur Pelindungan WNI Kemlu Judha Nugraha dalam taklimat media di Jakarta, Jumat.
Judha menjelaskan bahwa WNI yang ditahan di Atlanta itu ditangkap pada 29 Januari dan hingga saat ini pihaknya masih belum menerima informasi terkait proses penangkapan tersebut.
Judha juga menyampaikan pihaknya sudah menghubungi KJRI Houston mengenai WNI yang ditahan di Atlanta, mengatakan KJRI sudah bisa berkomunikasi dengan WNI itu dan yang bersangkutan dalam kondisi baik dan sehat serta sudah mendapatkan akses pendampingan.
“Kami akan terus monitor … sudah ada jadwal persidangan yang akan dijalani pada 10 Februari,” ujar Judha.
Judha kemudian melanjutkan bahwa WNI yang ditahan di New York itu ditangkap pada 28 Januari.
Dia menjelaskan bahwa WNI itu ditangkap saat sedang melaporkan diri, yang dilakukan setiap tahun, ke kantor Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai (Immigration and Customs Enforcement/ICE) di New York.
“Memang yang bersangkutan sudah masuk dalam daftar deportasi sejak tahun 2009. Kemudian yang bersangkutan mengajukan suaka namun suakanya ditolak. Karena sudah masuk daftar, diminta untuk melakukan laporan tahunan,” jelas Judha.
Judha juga mengatakan pihaknya sudah menghubungi KJRI New York dan diterima informasi dari yang bersangkutan dalam kondisi sehat dan sudah memiliki akses pendampingan hukum.
Dia menambahkan bahwa pihaknya akan terus melakukan proses pendampingan hukum.
Kemlu RI membeberkan banyak WNI berstatus imigran ilegal di AS hingga terancam kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump yang memperketat keimigrasian. [347] url asal
Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu RI) mengungkapkan banyak warga negara Indonesia (WNI) yang berstatus imigran ilegal di Amerika Serikat.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), Judha Nugraha, mengatakan data dari perwakilan RI di AS mencatat 66.000 WNI berada di Amerika.
Sementara pihaknya meyakini ada banyak WNI yang masih tidak tercatat tinggal di Negeri Paman Sam.
"Jadi yang tercatat di perwakilan itu sekitar 66.000. Yang tercatat. Yang tidak tercatat kita belum dapat [datanya]. Pastinya karena tidak tercatat ya, tidak ada dalam catatan namun angkanya cukup tinggi," kata Judha dalam press briefing di Kemlu RI, Jumat (7/2).
Judha berujar imigran ilegal seperti ini bukan cuma terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di banyak negara lain.
Jika mendapati WNI berstatus ilegal, pihaknya tak akan berusaha membebaskan mereka dari kesalahan keimigrasian. Pemerintah RI hanya akan memberikan perlindungan seperti pendampingan hukum.
"Tugas negara dan tugas perwakilan RI bukan membebaskan mereka dari kesalahan keimigrasian Amerika Serikat, namun melakukan pendampingan hukum kepada mereka agar semua hak-hak yang disediakan oleh hukum yang ada di Amerika itu betul-betul dipenuhi," ucap Judha.
"Terkait apakah yang bersangkutan kemudian akan bebas atau tidak, itu kita serahkan kepada proses hukum yang ada di Amerika Serikat," lanjutnya.
Judha menekankan penanganan perlindungan yang paling utama menurutnya ialah perlindungan diri sendiri dengan mematuhi hukum yang berlaku di negara setempat.
Mematuhi hukum dan imigrasi suatu negara artinya WNI akan terbebas dari kerentanan.
"Jadi status undocumented ini jangan dianggap remeh karena dengan status undocumented, posisi mereka akan menjadi rentan. Nah ketika rentan, rentan dieksploitasi, rentan mendapatkan permasalahan yang lain dan bahkan ketika meninggal susah untuk dilakukan, contohnya yang di Malaysia," ujar Judha.
Sementara itu, AS tengah memperketat keimigrasian sejak Presiden Donald Trump resmi menjabat pada 20 Januari lalu. Usai dilantik, Trump bahkan langsung meneken ratusan perintah eksekutif yang sebagian bersangkutan soal pengetatan perbatasan dan keimigrasian AS.
Ribuan imigran ilegal di AS juga telah dideportasi keluar AS terhitung sejak Trump kembali duduk di Gedung Putih. Beberapa waktu terakhir, AS bahkan mendeportasi dan menerbangkan ratusan imigran ilegal ke negara asal terutama di Amerika Latin.