Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi diminta Presiden Prabowo Subianto ikut aktif menjadi jubir Presiden. Partai Demokrat (PD) yakin penunjukan Prasetyo Hadi jadi jubir Presiden tak terkait jubir di kantor komunikasi presiden (PCO).
"Menurut saya tidak ada kaitanya dengan keberadaan jubir saat ini, ini perkuatan," ujar Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Herman Khaeron kepada detikcom, Kamis (17/4/2025).
Menurutnya, Prabowo memiliki otoritas menunjuk siapa saja yang layak jadi jubirnya. Penunjukan Prasetyo Hadi dirasa tepat karena Mensesneg memiliki akses ke seluruh sektor, sehingga informasi yang didapat komprehensif.
"Ingat dulu Pak Moerdiono juga sebagai Mensesneg berperan sebagai jubirnya Presiden Soeharto. Jadi ini perkuatan informasi, semakin terbuka informasi akan semakin baik bagi masyarakat," lanjutnya.
Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mendukung penuh langkah Prabowo menunjuk Prasetyo Hadi menjadi jubir Presiden. Hal ini, terang Jazauli, demi memperbaiki pola komunikasi publik agar lebih efektif menyampaikan pesan kebijakan.
"Karena bisa jadi banyak kebijakan Presiden Prabowo yang luar biasa bagus tapi tidak efektif sampai kepada publik atau terdistorsi oleh cara dan gaya penyampaian pesan yang tidak tepat," tutur Jazuli.
Jazuli ingin kebijakan Prabowo dipahami dengan baik oleh publik. Sehingga mendapat respons positif dan konstruktif dari masyarakat.
"Soal siapa yang kemudian dievaluasi dan yang ditunjuk oleh Presiden untuk menjadi juru bicara untuk mendeliver komunikasi yang lebih efektif sepenuhnya menjadi prerogatif dan kewenangan Presiden," lanjutnya.
PKS, tambah Jazuli, mendorong agar setiap menteri dan jajaran pemerintahan bisa mendeliver pesan kebijakan pemerintah yang efektif, proporsional, dan elegan. Bukan dengan gaya komunikasi yang justru memicu polemik yang kontraproduktif.
Sebelumnya, Prasetyo Hadi buka suara soal penunjukannya sebagai jubir Presiden. Ia mengatakan dirinya diminta Prabowo turut aktif melakukan komunikasi ke publik.
"Siapa? Nggak, nggak perlu dilantik (soal jadi jubir Presiden), kita semua diharapkan menjadi juru bicara, ya, terutama kalau saya posisi sebagai Mensesneg diminta juga untuk ikut aktif," kata Prasetyo kepada wartawan, Kamis (17/4/2025).
Prasetyo menegaskan kerjanya sebagai jubir tidak menghilangkan peran Kantor Komunikasi Presiden (PCO) yang diawaki Hasan Nasbi. Dia menegaskan hanya membantu melakukan komunikasi ke publik ihwal kepresidenan.
Simak juga Video: Prabowo Akui Komunikasi Kabinetnya Kurang: Tanggung Jawab Saya
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum (Kemenkum) RI telah menerima pendaftaran susunan baru pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Demokrat periode 2025-2030.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Herman Khaeron beserta jajaran mendaftarkan struktur baru dengan menemui Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Atgas pada Senin (24/3/2025).
“Sudah masuk, saat ini sedang kami proses sesuai ketentuan peraturan yang berlaku,” kata Direktur Jenderal AHU Widodo kepada Kompas.com, Selasa (25/3/2025).
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) resmi mengumumkan susunan pengurus DPP Demokrat periode 2025-2030.
Pengumuman ini disampaikan AHY setelah kembali terpilih sebagai Ketua Umum dalam Kongres VI Partai Demokrat yang digelar pada 25 Februari 2025 lalu.
"Jadi ini adalah struktur DPP Partai Demokrat lima tahun ke depan. Bisa ada perubahan tergantung kebutuhan," ujar AHY di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta pada Minggu (23/3/2025).
Dalam pengumuman tersebut, AHY mengungkapkan bahwa kepengurusan Partai Demokrat periode ini mengalami sejumlah perubahan.
Salah satunya adalah pembentukan dua badan baru, yakni Badan Saksi Nasional (BSN) dan Badan Logistik Partai (BLP).
Selain itu, AHY juga menunjuk Herman Khaeron sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat dan Irwan Fecho sebagai Bendahara Umum.
Lalu, ada 7 kader yang menjadi wakil ketua umum yakni Edhie Baskoro Yudhoyono, Teuku Riefky Harsya, Dody Hanggodo, Benny Kabur Harman, Dede Yusuf Macan Effendi, Vera Febryanti, dan Letjen (Purn) Ediwan Prabowo.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan mencabut status hukum sementara 530 ribu warga Kuba, Haiti, Nikaragua, dan Venezuela di negaranya, demikian informasi resmi Federal Register pada Jumat (21/3).
Keputusan ini adalah perluasan kebijakan kerasnya terhadap imigrasi dan akan berlaku mulai 24 April.
Kebijakan ini juga akan mempersingkat "pembebasan bersyarat" dua tahun yang sebelumnya diberikan pemerintahan Joe Biden kepada para migran yang memungkinkan mereka memasuki AS melalui udara jika mereka memiliki sponsor.
Trump, seorang Republikan, mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap imigran, termasuk dorongan untuk mendeportasi sejumlah besar migran di AS secara ilegal.
Ia berpendapat bahwa program pembebasan bersyarat masuk secara legal yang diluncurkan di bawah pendahulunya dari Partai Demokrat melampaui batas hukum federal. Trump menyerukan penghentian program tersebut lewat perintah eksekutif tanggal 20 Januari.
Trump mengatakan pada 6 Maret lalu bahwa ia akan segera memutuskan pencabutan status pembebasan bersyarat dari sekitar 240 ribu warga Ukraina yang melarikan diri ke AS selama konflik dengan Rusia.
Pernyataan Trump muncul sebagai tanggapan untuk Reuters, yang dalam laporannya mengatakan pemerintahan Trump berencana mencabut status tersebut bagi warga Ukraina paling cepat pada April.
Biden meluncurkan program pembebasan bersyarat bagi warga Venezuela pada 2022 silam dan memperluasnya ke warga Kuba, Haiti, dan Nikaragua pada tahun 2023, karena pemerintahannya bergulat dengan tingginya tingkat imigrasi ilegal dari negara-negara tersebut.
Hubungan diplomatik dan politik antara keempat negara tersebut dan Amerika Serikat juga telah menegang.
Jalur hukum itu muncul saat Biden coba untuk menekan penyeberangan ilegal di perbatasan AS-Meksiko.
Keputusan pemerintahan Trump untuk mencabut status hukum dari setengah juta migran dapat membuat banyak dari mereka rentan terhadap deportasi jika memilih untuk tetap tinggal di AS.
Masih belum jelas berapa banyak orang yang memasuki AS dengan pembebasan bersyarat memiliki bentuk perlindungan atau status hukum lain.
Dalam pemberitahuan yang akan dipublikasikan secara resmi di Federal Register pada hari Senin, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengatakan pencabutan status pembebasan bersyarat akan mempermudah penempatan migran dalam proses deportasi jalur cepat yang dikenal sebagai "pengusiran cepat."
Berdasarkan kebijakan era Trump yang diterapkan pada bulan Januari, pengusiran cepat dapat diterapkan pada migran tertentu di AS selama dua tahun atau kurang.
Ketua Majelis Tinggi Partai (MTP) Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumpulkan 38 Ketua DPD Partai Demokrat di kediamannya di Cikeas, Bogor. Ketua... | Halaman Lengkap [189] url asal
BOGOR - Ketua Majelis Tinggi Partai (MTP) Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumpulkan sebanyak 38 Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat di kediamannya Cikeas, Bogor, Jawa Barat.
Dalam pertemuan itu, SBY bercerita tentang dirinya yang menjadi salah satu tim reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
?Saya jadi di ingat, karena dulu saya waktu masih di militer dalam semangat reformasi, TNI aktif itu tabu untuk memasuki dunia politik, politik praktis,? kata SBY di Cikeas, Minggu (23/2/2025).
SBY pun mengaku dirinya menjadi salah satu tim penyusun reformasi ABRI. Ia pun mengatakan bahwa jika masih menjadi Jenderal aktif TNI untuk jangan berpolitik.
?Benar, saya tergugah terinspirasi kalau masih jadi Jenderal aktif misalnya, jangan berpolitik. Kalau berpolitik, pensiun,? jelas dia.
Hal itu pun dia turunkan ke anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Menurutnya, meski Ketua Umum Partai Demokrat itu memiliki karir militer cemerlang, namun demi pengabdian di dunia pemerintahan haruslah mundur dari TNI.
?Oleh karena itu Ketua Umum AHY dan beberapa mantan perwira militer yang karirnya dulu cemerlang, cerah tetapi pindah pengabdian dari dunia militer ke dunia pemerintahan, politik, syaratnya harus mundur. Itulah salah satu yang kita gagas dulu,? tandasnya.
Darurat militer sempat diumumkan oleh Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol kemarin lalu dicabut kembali. Begini sejarah darurat militer di Korsel. [814] url asal
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer pada Selasa (4/12) pukul 10.27 malam waktu setempat. Anggota parlemen hingga masyarakat sipil berbondong-bondong menolak aturan tersebut.
Darurat militer adalah keadaan ketika hukum biasa ditangguhkan dan para pengambil keputusan sipil digantikan sementara oleh militer. Melansir dari Australian Broadcasting Corporation, darurat militer hanya diberlakukan pada saat genting saja, seperti perang.
Presiden Yoon Suk Yeol yang sempat mengumumkan darurat militer diperlukan untuk melindungi negara dari kekuatan komunis. Presiden Yoon kemudian membawa-bawa musuh tetangga mereka, Korea Utara.
"Untuk melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh kekuatan komunis Korea Utara dan untuk melenyapkan elemen-elemen anti-negara. Dengan ini saya umumkan darurat militer," kata Yoon dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi kepada rakyat, dilansir AFP, Selasa (3/12/2024).
Masyarakat Korea Selatan menolak keras aturan tersebut. Mereka ramai-ramai mendatangi Gedung Parlemen untuk memprotes. Bahkan masyarakat sipil membantu para anggota parlemen masuk ke komplek gedung yang telah dikepung oleh aparat.
Penolakan Korea Selatan akan darurat militer dapat ditarik kembali pada awal kemerdekaan. Setelah Negara Ginseng itu terbebas dari penjajahan, mereka melalui masa pemerintah diktator selama puluhan tahun.
Sejarah Darurat Militer di Korea Selatan
Korea Selatan meraih kemerdekaan pada 15 Agustus 1945, dua hari setelah Hari Kemerdekaan Indonesia. Mereka berhasil memukul mundur tentara Jepang setelah dijajah selama 35 tahun.
Namun Korea Selatan belum sepenuhnya merdeka. Melansir The Guardian, masyarakat sipil harus hidup di bawah ketakutan dari darurat militer atau martial law.
Para pemimpin berusaha untuk menempatkan tentara tempur, tank, dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan atau di tempat umum untuk mencegah demonstrasi anti pemerintah.
Diktator Park Chung-hee, yang memerintah Korea Selatan selama hampir 20 tahun sebelum dibunuh oleh kepala mata-matanya pada tahun 1979, memimpin beberapa ribu pasukan ke Seoul pada dini hari tanggal 16 Mei 1961, dalam kudeta pertama yang berhasil di negara tersebut.
Selama pemerintahannya, ia terkadang mengumumkan darurat militer untuk menindak protes dan memenjarakan para pengkritik.
Kurang dari dua bulan setelah kematian Park Chung-hee, Mayor Jenderal Chun Doo-hwan memimpin tank dan pasukan ke Seoul pada bulan Desember 1979 dalam kudeta kedua yang berhasil di negara tersebut. Tahun berikutnya, ia mengatur tindakan keras militer yang brutal terhadap pemberontakan pro-demokrasi di kota selatan Gwangju, yang menewaskan sedikitnya 200 orang.
Pada musim panas tahun 1987, protes jalanan besar-besaran memaksa pemerintahan Chun untuk menerima pemilihan presiden secara langsung. Sekutu militernya Roh Tae-woo, yang telah bergabung dengan kudeta Chun tahun 1979, memenangkan pemilihan yang diadakan pada akhir tahun 1987.
Hanya dengan pelantikan Roh pada tanggal 25 Februari 1988, setelah 40 tahun di bawah berbagai bentuk pemerintahan otoriter-militer, Korea Selatan menjadi negara Republik hingga saat ini.
Pencabutan Darurat Militer pada 2024
Setelah pengumuman darurat militer, pemimpin partai oposisi terbesar di negara itu, Lee Jae-myung dari Partai Demokrat, meminta anggota parlemennya untuk berkumpul di parlemen guna menolak deklarasi tersebut. Ia juga meminta warga Korea Selatan biasa untuk hadir di Gedung Parlemen sebagai bentuk protes.
"Tank, pengangkut personel lapis baja, dan tentara bersenjata dan bersenjata pisau akan memerintah negara ini. Warga negara saya sekalian, silakan datang ke Majelis Nasional," ujarnya seperti dikutip dari BBC, Rabu (4/12/2024).
Ribuan orang mengindahkan seruan tersebut, bergegas berkumpul di luar gedung parlemen yang kini dijaga ketat. Para pengunjuk rasa meneriakkan: "Tidak ada darurat militer!" dan "hancurkan kediktatoran".
Media lokal yang menyiarkan dari lokasi tersebut memperlihatkan beberapa perkelahian antara pengunjuk rasa dan polisi di gerbang. Namun, meskipun ada kehadiran militer, ketegangan tidak meningkat menjadi kekerasan.
Para anggota parlemen terlihat melompati pagar untuk menembus penjagaan ketat. Sebagai informasi, mereka harus memenuhi kuorum untuk membatalkan aturan tersebut.
Setelah dihadiri 190 anggota parlemen, rapat pembatalan darurat militer dimulai. Sebanyak 190 dari 300 anggota parlemen kompak penolak darurat militer.
"Pemberlakuan darurat militer ilegal oleh Presiden Yoon Suk Yeol tidak sah," kata Lee.
Beberapa jam kemudian, Presiden Yoon Suk Yeol mengatakan jika darurat militer dicabut dan pasukan ditarik dari operasi. Pernyataan Yoon ini setelah ia membuat pernyataan darurat militer dan ditolak parlemen Korea Selatan.