Jakarta - Puasa Syawal dan puasa Senin Kamis menjadi amalan sunnah yang dianjurkan Rasulullah SAW. Bagaimana hukum menggabungkan dua puasa ini? (dvs/dvs)
Puasa Syawal adalah ibadah sunnah yang dianjurkan pada bulan Syawal. Banyak keutamaan yang terkandung dari amalan ini, salah satunya laksana puasa sepanjang tahun.
Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya,
"Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan lalu dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, seakan-akan dia berpuasa sepanjang tahun." (HR Muslim)
Menurut buku Puasa Bukan Hanya saat Ramadhan susunan Ahmad Sarwat, mazhab Syafi'iyah, Malikiyah dan Hanabilah berpandangan bahwa puasa Syawal hukumnya sunnah. Cara pengerjaannya seperti puasa sunnah pada umumnya.
Puasa ini bisa dikerjakan pada 2 Syawal hingga akhir bulan Syawal. Artinya, muslim bisa mengerjakan puasa enam hari Syawal pada tanggal berapa saja selama masih dalam rentang bulan Syawal, kecuali pada hari raya Idulfitri.
Lalu, bolehkah muslim berpuasa Syawal pada hari Jumat? Sebagaimana diketahui, umat Islam dilarang berpuasa pada hari tersebut.
Hukum Puasa Syawal pada Hari Jumat
Dinukil dari Taudhihul Adillah 5: Penjelasan tentang Dalil-dalil Zakat, Puasa, Haji & Jenazah karya Syafi'i Hadzami, sejatinya mengkhususkan puasa di hari Jumat adalah makruh. Dalilnya merujuk pada hadits berikut,
"Jangan sekali-kali salah seorang kalian berpuasa pada hari Jumat, kecuali jika berpuasa juga sehari sebelum atau setelahnya." (HR Bukhari dan Muslim)
Diterangkan dalam Catatan Fikih Puasa yang disusun Hari Ahadi, diperbolehkan berpuasa Syawal pada hari Jumat asalkan muslim juga berpuasa pada sehari sebelum atau sehari setelahnya.
Masih dari sumber yang sama, dikatakan dalam buku tersebut bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menyebut bahwa larangan puasa pada hari Jumat sifatnya makruh. Artinya, larangan ini tidak sampai haram.
Imam Nawawi melalui karyanya Al Majmu juga menyebut hal serupa,
"Para ulama Syafi'iyah berkata bahwa dimakruhkan mengkhususkan puasa pada hari Jumat saja. Namun hendaknya disambung dengan puasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Apabila hari Jumat bertepatan dengan puasa nazar, semisal hari dia mendapatkan kesembuhan atau pas hari kedatangan si fulan, maka puasa pada hari Jumat itu tidaklah makruh."
Niat Puasa Syawal
Berikut niat puasa Syawal yang dikutip dari buku Kedahsyatan Puasa tulisan M Syukron Maksum.
Artinya: "Aku niat puasa besok pagi pada bulan Syawal, sunah karena Allah Ta'ala."
Puasa Syawal 2025 Sampai Kapan?
Mengacu pada Kalender Hijriah terbitan Kementerian Agama, bulan Syawal 1446 H dimulai pada 31 Maret 2025 hingga 28 April 2025. Artinya, muslim masih bisa melangsungkan puasa Syawal sampai Senin, 28 April 2025.
Puasa Syawal dan Senin-Kamis adalah amalan sunah yang dianjurkan. Menggabungkan niat keduanya diperbolehkan, karena memberikan peluang meraih pahala besar. [831] url asal
Puasa Syawal dan puasa Senin-Kamis merupakan dua amalan sunah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Keduanya memiliki keutamaan luar biasa dan menjadi peluang meraih pahala besar setelah Ramadan. Namun, bagaimana jika seseorang ingin menjalankan kedua puasa tersebut pada hari yang sama?
Apakah diperbolehkan menggabungkan niat puasa Syawal dengan puasa Senin atau Kamis? Pertanyaan ini sering muncul di tengah umat Islam yang ingin memaksimalkan ibadahnya, khususnya di bulan Syawal. Simak pandangan para ulama, dalil yang melandasinya, serta bagaimana praktik penggabungan niat tersebut.
Pengertian Puasa Syawal dan Senin-Kamis
Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan ibadah sunah muakkadah yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW. Puasa ini bertujuan menyempurnakan pahala Ramadan dan menunjukkan kelanjutan dari kebiasaan baik selama bulan suci.
Puasa ini tidak harus dilakukan secara berturut-turut, melainkan boleh dilaksanakan secara terpisah selama masih berada dalam bulan Syawal. Umat Islam yang melaksanakannya diyakini mendapatkan pahala seolah-olah berpuasa sepanjang tahun, karena Allah SWT membalas satu kebaikan sepuluh kali lipat.
Puasa Senin-Kamis adalah puasa sunah yang dilakukan setiap hari Senin dan Kamis. Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya puasa ini karena beberapa alasan, di antaranya hari Senin adalah hari kelahiran Rasulullah SAW.
Selain itu, pada hari Senin dan Kamis, amal-amal manusia diangkat dan diperlihatkan kepada Allah SWT. Puasa pada dua hari ini juga menjadi bentuk ketaatan dan penghambaan secara rutin kepada Allah SWT, sekaligus memberikan manfaat kesehatan dan melatih disiplin serta pengendalian diri.
Hukum Menggabungkan Niat Puasa Syawal dan Senin-Kamis
Dilansir dari laman Bimas Islam Kementerian Agama, puasa Syawal dan puasa Senin-Kamis sama seperti puasa pada umumnya, yang berpuasa dari terbit fajar hingga matahari terbenam, menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa.
Puasa Syawal sering kali bertepatan dengan hari-hari istimewa lainnya, seperti Senin dan Kamis yang juga dianjurkan untuk berpuasa. Pertanyaannya kemudian, bolehkah seseorang niat puasa Syawal sekaligus puasa Senin atau Kamis?
Menurut mayoritas ulama, puasa Syawal adalah sunah muakkadah. Artinya, tidak wajib tapi sangat dianjurkan untuk dilakukan. Lebih utama jika dilaksanakan berturut-turut, namun sah dan tetap berpahala walau dilaksanakan tidak berurutan selama masih di bulan Syawal.
Para ulama sepakat bahwa menggabungkan niat puasa Syawal dengan Senin-Kamis adalah sah dan diperbolehkan. Hal ini karena keduanya merupakan puasa sunah yang tergolong sama, dan tidak terdapat larangan untuk menggabungkan dua ibadah sunah yang jenisnya sama.
Jadi, seseorang yang ingin mendapatkan keutamaan dari dua ibadah sekaligus dalam satu hari diperbolehkan menyatukan niatnya. Sebagai contoh, jika seseorang ingin puasa Syawal dan kebetulan hari itu adalah Senin, maka ia boleh meniatkan puasa Syawal dan Senin dalam satu niat, sehingga memperoleh pahala dari kedua ibadah tersebut.
Hukum ini tidak hanya berlaku untuk puasa Syawal, tetapi juga mencakup puasa sunah lainnya seperti puasa Arafah dan Asyura. Bila puasa Arafah atau Asyura bertepatan hari Senin atau Kamis, seseorang pun diperbolehkan menggabungkan niatnya untuk kedua puasa tersebut.
Menggabungkan niat dua puasa sunah diperbolehkan selama syarat-syaratnya terpenuhi dan niatnya jelas. Prinsip yang digunakan adalah adanya dua sebab yang sah dalam satu ibadah, dan apabila niat mencakup keduanya, maka pahalanya juga akan mengikuti masing-masing sebab tersebut.
Hal ini mirip seseorang yang bersedekah kepada kerabat, di mana ia mendapatkan dua keutamaan sekaligus, keutamaan sedekah dan menyambung tali silaturahmi. Seperti yang dikatakan Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab l'anatut Thalibin berikut ini.
"Ketahuilah terkadang ditemukan dua sebab dalam puasa, seperti puasa Arafah atau Asyura bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, atau hari Senin atau Kamis bertepatan dengan puasa enam hari Syawal. Dalam keadaan ini, sangat dianjurkan berpuasa untuk menjaga dua sebab tersebut. Jika seseorang berniat melakukan keduanya, maka dia mendapatkan keduanya. Ini seperti bersedekah kepada famili yang niat sedekah dan silaturrahmi."
Sehabis Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal saleh, seperti shalat tarawih, membaca Al-Qur'an, menunaikan zakat fitrah, dan bersedekah. [603] url asal
Selama Ramadhan, umat Islam menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh serta dianjurkan untuk memperbanyak amal saleh, seperti shalat tarawih, membaca Al-Qur'an, menunaikan zakat fitrah, dan bersedekah.
Semua ibadah ini berperan dalam memperkuat keimanan seseorang. Setelah melewati bulan penuh berkah ini, diharapkan ketakwaan seorang Muslim semakin bertambah.
Oleh karena itu, ketika memasuki bulan Syawal, ibadah sebaiknya tetap dijaga dan bahkan lebih ditingkatkan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Berakhirnya Ramadhan bukan berarti berhentinya amal kebaikan, justru menjadi kesempatan untuk terus memperbaiki diri, salah satunya dengan menjalankan puasa sunah di bulan Syawal.
Pengertian Puasa Syawal
Berdasarkan buku Fikih Madrasah Ibtidaiyah/SD Kelas 3, yang disusun oleh H. Muhaemin Nur Idris, M.Ag, H. A. Nurzaman, M.A., dan Hendri Kuswanto, puasa Syawal merupakan ibadah sunah yang dikerjakan selama enam hari di bulan Syawal setelah perayaan Idul Fitri. Amalan ini dianjurkan untuk dilakukan mulai tanggal 2 hingga 7 Syawal secara berturut-turut.
Meskipun demikian, puasa ini tetap sah jika dikerjakan secara tidak berurutan, asalkan masih dalam rentang bulan Syawal.
Hukum Puasa Syawal
Menurut buku Puasa Bukan Hanya Saat Ramadhan yang ditulis Ahmad Sarwat Lc., MA, puasa enam hari di bulan Syawal merupakan amalan yang dianjurkan dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits sahih dari Rasulullah SAW:
"Barang siapa berpuasa Ramadhan, kemudian melanjutkannya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa selama setahun." (HR. Muslim)
Selain itu, dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda:
"Siapa yang berpuasa selama bulan Ramadhan, lalu menambah enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fitri, maka ia mendapat pahala seperti puasa setahun penuh. Setiap amal kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat." (HR. Ibnu Majah)
Mayoritas ulama dari Mazhab Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah sepakat bahwa puasa Syawal hukumnya sunnah. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai cara pelaksanaannya, apakah harus dilakukan berturut-turut atau boleh terpisah.
Sementara itu, di kalangan Mazhab Hanafi terdapat pandangan yang berbeda. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa puasa enam hari Syawal hukumnya makruh, baik dilakukan berturut-turut maupun terpisah. Namun, Abu Yusuf, salah satu muridnya, menyatakan bahwa puasa ini hanya makruh jika dilakukan berturut-turut. Jika dilakukan terpisah, maka tidak dianggap makruh.
Meski ada perbedaan pandangan, ulama dari berbagai mazhab yang datang setelahnya cenderung mengikuti pendapat bahwa puasa Syawal adalah sunnah. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk menjalankannya sebagai amalan tambahan setelah Ramadhan.
Ketetapan hukum puasa jika sudah ada yang Lebaran bergantung bagi orang yang meyakini dan mengikuti penentuan awal Syawal tersebut. Ini penjelasannya [514] url asal
Puasa adalah salah satu bentuk ibadah, terutama selama bulan Ramadan. Penentuan awal Ramadan dan bulan Syawal atau hari Lebaran di Indonesia bisa saja berbeda antara pemerintah, dan organisasi besar keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Perbedaan bisa terjadi karena penggunaan metode dalam menentukan awal bulan Syawal. Di Indonesia sendiri, penetapan awal Syawal ditetapkan pemerintah melalui sidang isbat.
Jika satu Syawal telah diumumkan, maka melanjutkan puasa Ramadan di hari yang ditetapkan hukumnya haram. Namun, perbedaan hari Lebaran sering terjadi di antara beberapa golongan tadi. Lalu, bagaimana hukum berpuasa Ramadan jika sudah ada yang Lebaran?
Hukum Puasa jika Sudah Ada yang Lebaran
Menurut dosen UIN Surakarta, Abd. Halim, puasa Ramadan menjadi haram jika telah mengetahui dan meyakini kapan jatuhnya tanggal satu Syawal.
"Diharamkan puasa kalau sudah mengetahui dan meyakini jatuhnya tanggal satu Syawal," kata Halim kepada tim detikJateng beberapa waktu lalu.
Menjawab hukum puasa jika sudah ada yang lebaran, Halim mengatakan bahwa ketetapan itu berlaku bagi orang yang meyakini dan mengikuti penentuan awal Syawal tersebut.
Jika ia yakin bahwa satu Syawal jatuh pada tanggal yang sudah ditentukan, maka dirinya diharamkan berpuasa. Sementara jika ia tidak meyakininnya, maka ia bisa meneruskan puasa Ramadan meski telah ada golongan lain yang Lebaran.
"Dalam hal ini, sebaiknya dikembalikan kepada keyakinan masing-masing. Jika ada yang ikut salah satu ormas, misalnya NU atau Muhammadiyah, yang menetapkan 1 Syawal mendahului atau berbeda dengan pemerintah, maka kewajiban ada pada yang meyakininya," ujarnya yang juga sebagai pengurus harian Masjid Raya Sheikh Zayed.
Artinya, jika seseorang ikut suatu golongan maka ia wajib meyakini dan mengikuti ketetapan yang sudah ditentukan. Ini berlaku baik perihal waktu awal puasa dan hari Lebarannya.
Satu hal yang penting adalah hendaknya masyarakat saling menghargai dan menghormati keyakinan pilihan masing-masing hal tersebut.
Ramadan adalah waktu saling memaafkan. Rektor USU Muryanto Amin menjelaskan bermaaf-maafan bukan syarat sahnya puasa, namun penting untuk hati yang bersih. [337] url asal
Bulan Ramadan menjadi momentum saling memaafkan satu sama lain. Hal ini dilakukan agar ibadah puasa dapat berjalan dengan tenang.
Lantas bagaimana hukum puasa apabila tidak saling bermaafan?
Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Muryanto Amin mengungkapkan bahwa belum ada syarat ataupun aturan jelas terkait sah atau tidaknya puasa apabila tidak bermaaf-maafan.
"Banyak pertanyaan saat puasa salah satunya sebelum bermaaf-maafan apakah puasa kita diterima. Tidak ada syarat atau rukun dalam puasa yang mensyaratkan harus bermaaf-maafan sesama manusia lalu puasa kita diterima," ungkap Muryanto dalam program Kultum Ramadan detikSumut, Senin (24/3/2025).
Meski begitu, Muryanto menyebutkan bahwa bermaaf-maafan sebelum puasa cukup penting agar dapat menjalani puasa dengan hati yang bersih.
"Dalam beberapa riwayat hadist banyak tersebar memang bermaaf-maafan itu menjadi penting sebelum puasa. Kepentingan saling memaafkan itu tidak hanya dilakukan sebelum puasa, selama puasa ataupun sebelum puasa," ujarnya.
Namun begitu, Muryanto mengatakan bahwa saling bermaafan tidak perlu menunggu saat momen Ramadan saja namun dapat dilakukan kapan saja.
"Bermaaf-maafan bisa dilakukan kapan saja dan tidak menjadi syarat seorang muslim menjalankan ibadah puasa. Sehingga bermaaf maafan sebelum puasa apakah puasanya diterima, itu tidak menjadi syarat," pungkasnya.
Selama Ramadan, sahur disunahkan untuk mempersiapkan puasa. Meskipun puasa tanpa sahur sah, sahur membawa berkah dan membedakan umat Islam dari agama lain. [630] url asal
Selama Ramadan umat Islam akan menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh. Sebelum puasa disunahkan melaksanakan sahur.
Sahur merupakan kegiatan makan dan minum sebelum waktu imsak. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Makan sahurlah, karena sahur itu barakah." (HR Bukhari dan Muslim)
Dikutip detikHikmah dari buku Puasa Bukan Hanya Saat Ramadhan yang disusun Ahmad Sarwat, para ulama sepakat terkait hukum sunnah makan sahur. Selain hadits di atas, kesunnahan sahur merujuk pada hadits berikut dengan sanad jayyid. Dari Al Miqdam bin Ma'dikarb, Rasulullah SAW bersabda,
"Hendaklah kamu makan sahur karena sahur itu makanan yang diberkati." (HR An Nasa'i)
Sahur bertujuan untuk mempersiapkan tubuh yang tidak akan menerima makan dan minum sehari penuh. Selain itu, terdapat berkah dalam sahur meski hanya seteguk air. Dari Abu Said Al Khudri RA berkata,
"Sahur itu berkah, jangan tinggalkan meski hanya seteguk air. Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bersholawat kepada orang-orang yang sahur." (HR Ahmad)
Lantas bagaimana hukumnya jika umat muslim menjalankan ibadah puasa tanpa sahur, apakah tetap sah? Simak penjelasannya sampai akhir ya!
Sahur Jadi Pembeda Puasa Islam dengan Agama Lain
Kemudian diterangkan dalam buku Fiqih Praktis Sehari-hari susunan Farid Nu'man, puasa tanpa sahur hukumnya tetap sah. Namun, hendaknya puasa tanpa sahur tidak dijadikan kebiasaan karena dapat menyerupai agama lain.
Dalam sebuah hadits dari Amru bin Ash RA, Rasulullah SAW pernah menerangkan terkait perbedaan puasa umat Islam dengan agama lain. Beliau bersabda,
"Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah pada makan sahur." (HR Muslim)
4 Manfaat Sahur
Mengutip dari buku Mempercepat Datangnya Rezeki dengan Ibadah Ringan oleh Mukhlis Allyudin dan Enjang, berikut sejumlah manfaat sahur bagi muslim.
1. Diberkahi Allah SWT karena menghidupi sunnah Rasulullah SAW
2. Membedakan dengan umat agama lain
3. Memberi kekuatan agar tetap kuat selama menjalani puasa
4. Momen untuk mengerjakan amalan lain seperti istighfar dan memohon limpahan rahmat Allah SWT karena sahur menjadi waktu turunnya rahmat dan ampunan Sang Khalik
Puasa Tanpa Sahur Apakah Tetap Sah?
Menurut buku Bekal Ramadhan dan Idul Fithri 2: Niat dan Imsak karya Saiyid Mahadir, sahur tidak termasuk syarat sah maupun rukun puasa. Manfaat sahur tak lain menguatkan badan selama puasa berlangsung.
Selain itu, Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Shihab & Shihab Bincang-bincang Seputar Tema Populer Terkait Ajaran Islam menjelaskan bahwa boleh-boleh saja puasa tanpa sahur. Sahur mendidik jiwa muslim agar bangun di tengah malam selain memberi kekuatan selama puasa berlangsung.
Sesaat lagi, kita akan memasuki Ramadhan. Mari simak jadwal puasa Ramadhan 2025 lengkap dengan niat, tata cara, hukum, dalil, dan sunnahnya berikut ini! [1,996] url asal
Puasa Ramadhan merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat Islam yang dilaksanakan setiap tahun. Menjelang bulan suci ini, banyak yang mencari informasi terkait jadwal puasa Ramadhan 2025.
Selain mengetahui jadwalnya, penting juga memahami hukum, dalil, serta sunnah yang dianjurkan selama bulan Ramadhan. Mulai dari kewajiban sahur, waktu berbuka, hingga amalan sunnah yang memperbanyak pahala, semua memiliki peran dalam menyempurnakan ibadah puasa.
Karena Ramadhan 1446 H sudah semakin dekat, sebaiknya kita mempersiapkan diri dengan mengetahui jadwal puasa Ramadhan tahun ini. Mari kita simak informasi lengkap berikut ini yang disertai dengan niat hingga sunnah berpuasa!
Jadwal Puasa Ramadhan 2025
Awal Ramadhan 2025 diperkirakan jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025, sesuai perhitungan hisab Muhammadiyah dan Kalender Hijriah Indonesia. Namun, NU yang menggunakan metode rukyat masih menunggu hasil pengamatan hilal pada 28 Februari 2025. Jika hilal tidak terlihat, NU akan mengistikmalkan bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sehingga 1 Ramadhan jatuh pada Ahad, 2 Maret 2025.
Pemerintah akan menetapkan awal Ramadhan melalui sidang isbat pada 28 Februari 2025 dengan mempertimbangkan hasil hisab dan rukyat. Apabila hilal terlihat, maka pemerintah akan menetapkan 1 Ramadhan pada 1 Maret 2025.
Berdasarkan analisis dari NU, Muhammadiyah, dan Pemerintah, ada kemungkinan awal Ramadhan 1446 H akan dimulai serentak pada Sabtu, 1 Maret 2025. Jika demikian, maka jadwal Ramadhan 2025 adalah sebagai berikut:
1 Ramadhan 1446 H: Sabtu, 1 Maret 2025
2 Ramadhan 1446 H: Ahad, 2 Maret 2025
3 Ramadhan 1446 H: Senin, 3 Maret 2025
4 Ramadhan 1446 H: Selasa, 4 Maret 2025
5 Ramadhan 1446 H: Rabu, 5 Maret 2025
6 Ramadhan 1446 H: Kamis, 6 Maret 2025
7 Ramadhan 1446 H: Jumat, 7 Maret 2025
8 Ramadhan 1446 H: Sabtu, 8 Maret 2025
9 Ramadhan 1446 H: Ahad, 9 Maret 2025
10 Ramadhan 1446 H: Senin, 10 Maret 2025
11 Ramadhan 1446 H: Selasa, 11 Maret 2025
12 Ramadhan 1446 H: Rabu, 12 Maret 2025
13 Ramadhan 1446 H: Kamis, 13 Maret 2025
14 Ramadhan 1446 H: Jumat, 14 Maret 2025
15 Ramadhan 1446 H: Sabtu, 15 Maret 2025
16 Ramadhan 1446 H: Ahad, 16 Maret 2025
17 Ramadhan 1446 H: Senin, 17 Maret 2025
18 Ramadhan 1446 H: Selasa, 18 Maret 2025
19 Ramadhan 1446 H: Rabu, 19 Maret 2025
20 Ramadhan 1446 H: Kamis, 20 Maret 2025
21 Ramadhan 1446 H: Jumat, 21 Maret 2025
22 Ramadhan 1446 H: Sabtu, 22 Maret 2025
23 Ramadhan 1446 H: Ahad, 23 Maret 2025
24 Ramadhan 1446 H: Senin, 24 Maret 2025
25 Ramadhan 1446 H: Selasa, 25 Maret 2025
26 Ramadhan 1446 H: Rabu, 26 Maret 2025
27 Ramadhan 1446 H: Kamis, 27 Maret 2025
28 Ramadhan 1446 H: Jumat, 28 Maret 2025
29 Ramadhan 1446 H: Sabtu, 29 Maret 2025
30 Ramadhan 1446 H: Ahad, 30 Maret 2025
Niat Puasa Ramadhan
Dikutip dari buku Ramadhan dan Pembangkit Esensi Insan: Pengajian 30 Malam Ramadhan tulisan Shabri Shaleh Anwar SPdI MPdI, dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk membaca niat pada malam hari sebelum terbit fajar. Bacaan niat ini menegaskan kesungguhan hati dalam menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Berikut adalah bacaan niat puasa Ramadhan yang umum dibaca setiap malam:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ لِلَّهِ تَعَالَى Nawaytu shauma ghadin 'an adā'i fardhi Ramadhāna lillāhi ta'ālā. Artinya: "Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban puasa Ramadhan karena Allah Ta'ala."
Namun, selain membaca niat harian, ada pula sebagian umat Islam yang memilih membaca niat puasa untuk satu bulan penuh di awal Ramadhan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian agar niat tetap ada meskipun suatu malam terlupa mengucapkannya. Berikut adalah bacaan niat puasa sebulan penuh:
نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ كُلِّهِ لِلَّهِ تَعَالَى Nawaytu shauma shahri Ramadhāna kullihi lillāhi ta'ālā. Artinya: "Aku berniat berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan karena Allah Ta'ala."
Tata Cara Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah ibadah yang memiliki tata cara tertentu agar sah dan diterima di sisi Allah SWT. Dikutip dari Buku Pintar Agama Islam tulisan Abu Aunillah Al-Baijury dan Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari dari Kandungan hingga Kematian tulisan Dr Muh Hambali MAn, berikut ini adalah langkah-langkah dalam menjalankan puasa Ramadhan:
1. Berniat
Niat merupakan syarat wajib dalam berpuasa. Seorang Muslim harus menetapkan niat puasa Ramadhan pada malam hari, yaitu setelah matahari terbenam hingga sebelum terbit fajar. Niat ini menunjukkan kesungguhan hati dalam menjalankan ibadah puasa karena Allah SWT.
2. Menahan Diri dari Hal yang Membatalkan Puasa
Puasa dimulai sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Selama waktu tersebut, seorang Muslim wajib menahan diri dari makan, minum, serta segala hal yang dapat membatalkan puasa, seperti berhubungan suami istri di siang hari.
Hukum Puasa Ramadhan
Kembali dikutip dari buku Buku Pintar Agama Islam karya Abu Aunillah Al-Baijury, puasa Ramadhan memiliki hukum wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat. Kewajiban ini berlaku bagi mereka yang telah baligh (dewasa secara syariat), berakal, serta mampu menjalankan puasa tanpa adanya halangan yang sah, seperti sakit parah atau kondisi yang melemahkan. Selain itu, seseorang yang sedang dalam perjalanan jauh (musafir) diberikan keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi wajib menggantinya di hari lain.
Bagi kaum perempuan, puasa Ramadhan juga menjadi kewajiban kecuali jika mereka sedang mengalami haid atau nifas. Dalam kondisi tersebut, mereka dilarang berpuasa dan diwajibkan untuk menggantinya setelah Ramadhan berakhir.
Kewajiban puasa Ramadhan ini ditegaskan dalam firman Allah SWT. dalam Al-Quran:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini menunjukkan bahwa puasa tidak hanya menjadi kewajiban bagi umat Islam tetapi juga telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu. Hal ini menandakan betapa pentingnya ibadah puasa dalam membentuk ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Oleh karena itu, puasa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan ketakwaan.
Dalil tentang Puasa Ramadhan
Dikutip dari buku Tuntunan Puasa menurut Al Quran dan Sunnah tulisan Alik Al Adhim, kewajiban puasa Ramadhan dalam Islam didasarkan pada tiga sumber utama, yaitu Al-Quran, sunnah atau hadits, dan ijma ulama. Ketiga sumber ini secara tegas menetapkan bahwa puasa Ramadhan adalah ibadah wajib bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
1. Dalil dari Al-Quran
Allah SWT. secara langsung mewajibkan puasa Ramadhan bagi orang-orang beriman sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini menegaskan bahwa puasa bukan hanya ibadah yang diperintahkan kepada umat Islam, tetapi juga telah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu. Hal ini menunjukkan bahwa puasa merupakan bentuk ibadah universal yang memiliki tujuan utama, yaitu membentuk ketakwaan kepada Allah SWT.
2. Dalil dari Sunnah (Hadits Nabi SAW.)
Selain perintah dalam Al-Quran, kewajiban puasa juga ditegaskan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
"Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah jika mampu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, puasa Ramadhan disebut sebagai salah satu dari lima pilar utama Islam. Ini menunjukkan bahwa puasa memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam, setara dengan syahadat, salat, zakat, dan haji.
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyebutkan dialog antara seorang sahabat dan Nabi Muhammad SAW:
"Dari Thalhah bin Ubaid bahwa seseorang datang kepada Nabi dan bertanya, 'Ya Rasulullah, katakan kepadaku apa yang Allah wajibkan kepadaku tentang puasa?' Beliau menjawab, 'Puasa Ramadhan.' 'Apakah ada lagi selain itu?' Beliau menjawab, 'Tidak, kecuali puasa sunnah.'" (HR. Bukhari)
Hadits ini menegaskan bahwa puasa Ramadhan merupakan satu-satunya puasa yang diwajibkan bagi setiap Muslim, sementara puasa lainnya bersifat sunnah dan tidak menjadi kewajiban.
3. Dalil dari Ijma (Konsensus Ulama)
Selain dalil dari Al-Quran dan hadits, kewajiban puasa Ramadhan juga telah disepakati oleh seluruh ulama sepanjang zaman. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat Islam mengenai kewajiban puasa Ramadhan bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat. Ijmak ini memperkuat bahwa puasa Ramadhan bukan hanya perintah individu, tetapi juga telah menjadi ketetapan syariat yang diakui dan diamalkan oleh seluruh umat Islam.
Sunnah dalam Menjalankan Puasa Ramadhan
Selain menjalankan puasa dengan menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan sejak fajar hingga maghrib, ada beberapa amalan sunnah yang dianjurkan dalam berpuasa. Sunnah-sunnah ini bertujuan untuk menyempurnakan ibadah puasa serta mendatangkan lebih banyak pahala. Berikut adalah beberapa sunnah yang dianjurkan selama bulan Ramadhan yang dikutip dari buku Panduan Muslim Sesuai Al-Qur'an dan As-Sunnah tulisan Dr Abu Zakariya Sutrisno MSc:
1. Bersahur dan Mengakhirkannya
Sahur adalah makan atau minum yang dilakukan sebelum fajar untuk memberikan tenaga selama berpuasa. Rasulullah SAW. sangat menganjurkan sahur karena di dalamnya terdapat keberkahan. Dalam hadis, beliau bersabda:
"Bersahurlah, karena di dalam sahur ada berkah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Disunnahkan pula untuk mengakhirkan waktu sahur mendekati waktu fajar, tetapi tidak sampai terlalu mepet sehingga berisiko melewatkan waktu imsak.
2. Menyegerakan Berbuka
Saat waktu maghrib tiba, dianjurkan untuk segera berbuka tanpa menunda-nunda. Rasulullah SAW. menyebutkan bahwa kebiasaan menyegerakan berbuka adalah tanda kebaikan dalam diri seseorang.
"Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan menahan lapar lebih lama dari yang diperintahkan, melainkan mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat.
3. Memulai Berbuka dengan Kurma atau Air
Rasulullah SAW. memberikan contoh bahwa saat berbuka, beliau memulainya dengan kurma segar (ruthab). Jika tidak ada, beliau berbuka dengan kurma kering. Jika tidak ada kurma, maka beliau berbuka dengan air.
"Disunnahkan memulai berbuka dengan ruthab (kurma segar), jika tidak ada maka dengan kurma kering, jika tidak ada maka dengan air." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Jika seseorang tidak memiliki kurma maupun air, maka ia bisa berbuka dengan makanan atau minuman lain yang tersedia.
4. Berdoa Saat Berbuka
Saat berbuka, ada doa yang dianjurkan untuk dibaca sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmatnya berbuka setelah seharian berpuasa. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah SAW. berbunyi:
"Telah hilang rasa haus, urat-urat telah basah, dan pahala akan tetap, insya Allah." (HR. Abu Dawud)
Momen berbuka juga merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa, sehingga dianjurkan untuk memanjatkan doa baik untuk diri sendiri maupun orang lain sebelum berbuka.
5. Menjaga Perilaku dan Memperbanyak Ibadah
Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga diri dari segala perbuatan yang dilarang, seperti berkata kasar, bertengkar, atau melakukan maksiat. Sebaliknya, seorang yang berpuasa dianjurkan untuk memperbanyak amalan ibadah seperti berdzikir, membaca Al-Quran, serta melakukan amal kebaikan lainnya.
Demikianlah penjelasan lengkap mengenai jadwal puasa Ramadhan 2025 beserta niat, tata cara, hukum, dalil, dan sunnahnya. Semoga bermanfaat!
Umat muslim kini tengah memasuki sepatuh terkahir dari bulan Syaban. Lantas, masih bolehkah puasa setelah Nisfu Syaban? Simak hukum dan dalilnya di sini! [1,007] url asal
Nisfu Syaban atau pertengahan bulan Syaban telah berlalu. Umat muslim kini tengah memasuki separuh terakhir dari bulan mulia tersebut.
Pertanyaannya, setelah Nisfu Syaban, apakah seseorang masih boleh berpuasa?
Seperti diketahui, sebagian umat Islam ada yang meyakini bahwa berpuasa setelah Nisfu Syaban itu tidak diperbolehkan. Mengutip buku "Panduan Praktis Ibadah Puasa" karya Drs E Syamsuddin Ahmad Syahirul Alim LC, Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا
Artinya: "Apabila telah memasuki pertengahan Syaban maka janganlah berpuasa sampai (datang) Ramadhan." (HR Tirmidzi, Abu Daud, dan Al-Baihaqi)
Kendati demikian, ada juga yang menyangkalnya. Mereka berpegang pada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW banyak berpuasa di bulan Syaban.
Lantas, bagaimana sebenarnya hukum berpuasa setelah Nisfu Syaban? Adakah penjelasan ulama terkait hal ini?
Nah, berikut penjelasan lengkapnya!
Hukum Berpuasa Setelah Nisfu Syaban
Masih dari sumber yang sama, Ibnu Rajab menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat para ulama mengenai kesahihan hadits di atas. Ulama seperti Imam Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim menyahihkannya, sementara Imam Ahmad, Imam Abdurrahman bin Mahdi, dan Al-Atsram dan lain-lain melemahkannya.
Namun, bagi kalangan Mazhab Syafi'i, berpuasa setelah Nisfu Syaban hukumnya boleh, dengan catatan hanya bagi orang yang terbiasa melakukannya.
Adapun bagi mereka yang tidak terbiasa, maka hal itu dilarang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Riwayat Abu Hurairah di atas. Larangan ini agar mereka tidak merasa lemah saat memasuki bulan Ramadhan. Selain itu untuk menghindari orang-orang menganggap puasa ini sebagai tambahan bagi bulan Ramadhan.
Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang lain, yang berbunyi:
Artinya: "Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan satu atau dua hari (sebelum memasukinya), kecuali seorang yang terbiasa melakukan puasa maka teruskanlah puasanya." (HR. Muslim)
Syarat Berpuasa Setelah Nisfu Syaban
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa berpuasa setelah Nisfu Syaban boleh, namun harus memperhatikan beberapa ketentuan khusus. Nah, dikutip dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag) RI, berikut syarat-syarat bagi orang yang ingin berpuasa setelah Nisfu Syaban:
Harus disambung dengan hari sebelumnya (misalnya berpuasa di tanggal 14-15 Syaban atau tanggal 15-16 Syaban);
Memiliki kebiasaan berpuasa, baik itu puasa Senin-Kamis, Daud, Ayamul Bidh, dan puasa sunah lainnya;
Memiliki nadzar puasa di bulan Syaban;
Mempunyai tanggungan qadha puasa.
Jika salah satu dari beberapa ketentuan tersebut terpenuhi, maka puasa setelah Nisfu Syaban itu boleh-boleh saja untuk diamalkan.
Niat Puasa di Bulan Syaban
Di bulan Syaban ini, terdapat beberapa puasa yang bisa dikerjakan umat muslim. Di antaranya, puasa sunah Syaban, puasa sunah Senin-Kamis, dan puasa qadha Ramadhan.
Untuk itu, berikut masing-masing bacaan niat puasanya:
1. Niat Puasa Sunah Syaban
Dinukil dari buku "Meraih Surga dengan Puasa" karya H Herdiansyah Achmad LC, berikut niat yang bisa dibacakan saat hendak mengerjakan puasa di bulan Syaban:
Arab Latin: Nawaitu shauma-sy-syahri-sy-sya'bani sunnata-lillâhi ta'ala.
Artinya: "Saya berniat puasa pada bulan Syaban sunah karena Allah Ta'ala."
2. Niat Puasa Senin-Kamis
Dikutip dari laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rasulullah SAW juga sering mengerjakan puasa Senin dan Kamis, termasuk di bulan Syaban. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Imam at-Tirmidzi:
Artinya: "Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT."
Puasa di Bulan Syaban, Meneladani Rasulullah SAW
Disadur dari buku 'Rahasia Puasa Sunah' karya Ahmad Syahirul Alim Lc, terdapat keutamaan yang didapatkan umat muslim ketika berpuasa di bulan Syaban. Salah satunya adalah meneladani Rasulullah SAW.
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Aisyah RA:
Artinya: "Rasulullah SAW berpuasa sampai kami berkata ia tidak berbuka, dan beliau berbuka sampah kami berkata ia tidak berpuasa. Tidak pernah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasa selama sebulan penuh, kecuali di bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat bulan yang beliau paling banyak melakukan puasa selain Sya'ban." (HR. Bukhari Muslim).
Demikianlah informasi mengenai hukum berpuasa setelah pertengahan bulan Syaban lengkap dengan niat dan keutamaannya. Semoga membantu, detikers!
Hukum puasa sunnah hari Sabtu dan Minggu dijelaskan dalam beberapa hadits. Rasulullah SAW sendiri semasa hidupnya pernah menjalani puasa sunnah di hari Sabtu dan Minggu. Lantas bagaimana hukumnya?
Rasulullah SAW pernah berpuasa pada hari Sabtu dan Minggu. Dari Aisyah RA, ia menuturkan, "Rasulullah SAW sering berpuasa dalam satu bulan. Kalau bulan ini beliau puasa hari Sabtu, Minggu dan Senin, maka hari berikutnya beliau berpuasa pada hari Selasa, Rabu dan Kamis." (HR Tirmidzi)
Puasa Sunnah Hari Sabtu
Merujuk pada buku Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, terdapat hadits yang menjelaskan hukum puasa di hari Sabtu. Terdapat perbedaan pendapat ulama terkait pelaksanaan puasa sunnah di hari Sabtu.
Dari Busr al-Sullami dari saudara perempuannya yang bernama Shamma, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Artinya: "Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang diwajibkan kepada kalian. Seandainya seseorang di antara kalian tidak mendapatkan kecuali kulit anggur atau dahan kayu (untuk makan), maka hendaknya dia memakannya." (HR Ahmad dan lainnya)
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa yang dimaksud makruh adalah jika seseorang mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa. Sebab orang-orang Yahudi merayakan hari Sabtu.
Ummu Salamah mengatakan bahwa Rasulullah SAW lebih sering berpuasa pada hari Sabtu dan hari Minggu daripada hari-hari yang lain. Beliau bersabda,
Artinya: "Kedua hari ini merupakan hari besar orang-orang musyrik. Maka, aku ingin melakukan amalan yang bertentangan dengan mereka (orang musyrik)." (HR Ahmad dan Baihaqi)
Mengutip buku Puasa Sepanjang Tahun karya Yunus Hanis Syam, ulama mahzab Hanafi, Syafi'i da Hambali menyatakan bahwa berpuasa pada hari Sabtu adalah hukumnya makruh. Hal ini berlandaskan pada hadits di atas.
Puasa Sunnah Hari Minggu
Mengutip buku Fiqih Praktis Sehari-hari karya Farid Nu'man, puasa di hari Minggu hukumnya makruh jika tanpa diiringi puasa pada hari lain atau tanpa sebab. Dalilnya adalah hadits dari Kuraib, seorang pelayan Ibnu Abbas RA, sebagaimana sebelumnya Ummu Salamah RA menceritakan bahwa Rasulullah SAW banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Minggu. Ini menunjukkan bahwa keduanya harus digandengkan (beriringan), tidak boleh menyendiri.
Dalam kitab al-Mausu'ah disebutkan, "Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat bahwa menyengaja berpuasa pada hari Minggu (Ahad) secara khusus adalah makruh, kecuali jika itu adalah hari yang bertepatan dengan jadwal puasa yang menjadi kebiasaannya."
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin RA dalam Syarhul Mumti' mengatakan, "Puasa pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu dimakruhkan secara ifrad (menyendiri atau terpisah). (Puasa sunnah) Jumat menyendiri (terpisah) lebih kuat makruhnya karena telah sahih hadits-hadits yang melarangnya, tanpa ada perbedaan pendapat lagi. Adapun menggabungkan puasa itu dengan hari setelahnya, tidak apa-apa (boleh)."
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, melakukan puasa sunnah di hari Sabtu dan Minggu secara terpisah hukumnya makruh, kecuali jika diiringi berpuasa pada hari sebelumnya atau sesudahnya, atau jika ada sebab, seperti untuk mengqadha puasa.
Puasa Nisfu Syaban adalah amalan sunnah yang bisa dikerjakan muslim ketika Syaban. Berikut hukum, niat dan jadwal puasa Nisfu Syaban 2025. [553] url asal
Puasa Nisfu Syaban adalah salah satu amalan yang bisa dikerjakan muslim ketika Syaban. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Nabi SAW juga berpuasa pada bulan Syaban, beliau bersabda:
"Barangsiapa yang mengerjakan puasa 3 hari sejak awal bulan Syaban dan 3 hari di pertengahannya kemudian 3 hari di akhirnya, niscaya Allah SWT menuliskan baginya 70 pahala para nabi dan dia diberi pahala sama dengan orang yang beribadah kepada Allah selama 70 tahun dan sekiranya mati, di tahun itu akan mati syahid."
Hadits di atas sekaligus menjadi dalil puasa Nisfu Syaban. Setiap tahunnya, puasa Nisfu Syaban dikerjakan pada 15 Syaban.
Hukum Puasa Nisfu Syaban
Menukil buku Pintar Menjahit untuk Pemula susunan Herdiansyah Achmad, hukum puasa Nisfu Syaban adalah sunnah. Amalan ini dikerjakan pada pertengahan bulan Syaban.
Cara pengerjaan puasa Nisfu Syaban sama seperti puasa sunnah pada umumnya, yang membedakan hanya bacaan niat.
Niat Puasa Nisfu Syaban
1. Niat Puasa Nisfu Syaban ketika Malam Hari
Niat puasa Nisfu Syaban berikut dapat diamalkan malam hari sebelum berpuasa. Berikut bacaannya,
Artinya: "Hamba niat puasa sunah Syaban hari ini karena Allah SWT."
Niat ini bisa dibaca meskipun sudah lewat waktu subuh dengan catatan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan lain-lain.
Jadwal Puasa Nisfu Syaban 2025
Merujuk pada Kalender Hijriah terbitan Kementerian Agama (Kemenag RI), 1 Syaban 1446 H bertepatan dengan 31 Januari 2025. Sementara itu, Nisfu Syaban jatuh setiap 15 Syaban.
Dengan demikian, Nisfu Syaban 1446 H berlangsung pada Jumat, 14 Februari 2025. Adapun, malam Nisfu Syaban telah berlangsung pada Kamis, 13 Februari 2025 seusai waktu Maghrib.
Puasa Nisfu Syaban dan Ayyamul Bidh jatuh pada tanggal yang sama. Apakah boleh menggabungkan kedua puasa ini? Baca hukumnya dalam artikel ini, yuk! [973] url asal
Puasa yang dikerjakan pada tanggal 15 Syaban atau Nisfu Syaban bertepatan dengan waktu paling utama untuk berpuasa Ayyamul Bidh. Lantas, bagaimana hukum menggabungkan kedua puasa ini? Apakah diperbolehkan?
Sebelumnya, sebagaimana penjelasan dalam buku 32 Faidah Seputar Bulan Sya'ban oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, detikers harus paham bahwa dalil hadits puasa Nisfu Syaban dilemahkan para ulama. Kendati begitu, terdapat dalil keumuman puasa selama Syaban berlangsung dalam hadits shahih:
كما قالت أم المؤمنين عائشة رسالتها: ما يتُ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
Artinya: "Ummul Mukminin Aisyah RA berkata: 'Tidak pernah saya melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa di suatu bulan seperti di bulan Ramadhan, dan belum pernah saya melihat beliau lebih banyak berpuasa di suatu bulan seperti berpuasa di bulan Syaban." (HR Bukhari no 1969 dan Muslim no 1156)
Sementara itu, puasa Ayyamul Bidh sejatinya bisa dikerjakan kapan saja alias tidak terbatas pada pertengahan bulan. Hanya saja, tanggal 13, 14, dan 15 bulan Qamariah adalah waktu paling utama. Diambil dari buku Catatan Fikih Puasa Sunnah oleh Hari Ahadi, Abu Dzar berkata:
Artinya: "Rasulullah memerintahkan kami untuk berpuasa tiga hari di setiap bulan, tanggal 13, 14, dan 15." (HR An-Nasa'i nomor 2422, Ahmad nomo 21335, dan Tirmidzi nomor 761)
Berhubung waktu kedua puasa ini berbarengan, apakah boleh mengerjakannya sekaligus? Begini penjelasan hukumnya yang harus detikers pahami.
Hukum Menggabungkan Puasa Nisfu Syaban dan Ayyamul Bidh
Pertama-tama, hukum kedua ibadah ini, yakni puasa pada pertengahan Syaban dan Ayyamul Bidh adalah sunnah. Dirujuk dari NU Online, Imam Bujairimi menjelaskan bahwasanya boleh-boleh saja menggabungkan dua puasa sunnah.
Bahkan, menurutnya, bila seseorang berniat mengerjakan keduanya sekaligus, insyaAllah, ia akan mendapat dua pahala. Alhasil, detikers dapat memanfaatkan momen Nisfu Syaban dan Ayyamul Bidh untuk mengerjakan dua puasa sekaligus.
Keterangan senada juga dihadirkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wan-Nadhair:
Artinya: "Imam Ibnu Hajar pernah ditanya, tentang seseorang yang berniat puasa Arafah sekaligus dengan puasa wajib, atau ketika bertepatan dengan hari Senin, lalu ia berniat untuk berpuasa Arafah sekaligus puasa sunnah Senin, apakah ia mendapatkan keutamaan puasa sunnah tersebut? Maka beliau menjawab: 'Pendapat yang sesuai dengan pernyataan para ulama adalah bahwa tujuan utama dari puasa tersebut adalah mengisi waktu tersebut dengan puasa, sebagaimana tujuan shalat Tahiyatul Masjid adalah menggunakan tempat itu untuk ibadah salat. Oleh karena itu, jika ia berniat untuk keduanya sekaligus, maka kedua ibadah itu dianggap telah dilaksanakan. Namun, jika ia hanya berniat salah satunya, maka tuntutan untuk yang lain gugur, tetapi ia tidak mendapatkan pahala.'" (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro)
Niat Puasa Nisfu Syaban dan Ayyamul Bidh
Setiap ibadah mesti dilandasi dengan niat agar hukumnya sah. Niat sendiri letaknya di dalam hati dan bukanlah syarat untuk melafalkannya. Imam Nawawi pernah berkata:
Artinya: Tidak sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Tempat niat di dalam hati, tidak dipersyaratkan untuk dilafalkan, tanpa ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini." (Raudhah ath-Thalibin, II/350)
Namun, bagi detikers yang mengikuti pendapat melafalkan niat, begini bacaannya untuk puasa Nisfu Syaban, dikutip dari buku Meraih Surga dengan Puasa oleh Herdiansyah Achmad:
Arab Latin: Nawaitu shauma fi-n-nishfi-sy-syabani sunnata-lillâhi ta'ala. Artinya: "Saya berniat puasa pada pertengahan bulan Syaban sunnah karena Allah ta'ala."
Adapun untuk puasa Ayyamul Bidh, begini lafal niatnya:
Arab latin: Nawaitu shauma ayyâmil bîdl lillâhi ta'âlâ. Artinya: "Saya niat puasa Ayyamul Bidh karena Allah ta'âlâ."
Jadwal Puasa Nisfu Syaban dan Ayyamul Bidh Bulan Syaban 1446 Hijriah
Berdasar Kalender Hijriah Indonesia Tahun 2025 dari Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, 1 Syaban 1446 H jatuh pada 31 Januari 2025. Oleh karena itu, maka 15 Syaban atau Nisfu Syaban jatuh pada Jumat, 14 Februari 2025.
Di sisi lain, waktu paling afdhal untuk puasa Ayyamul Bidh adalah pada pertengahan bulan Qamariah, yakni tanggal 13, 14, dan 15. Untuk Syaban 1446 H, berikut ini konversi tanggalnya guna memudahkan detikers:
13 Syaban 1446 H: Rabu, 12 Februari 2025
14 Syaban 1446 H: Kamis, 13 Februari 2025
15 Syaban 1446 H: Jumat, 14 Februari 2025
Alhasil, waktu pengerjaan puasa Nisfu Syaban dan Ayyamul Bidh jatuh bersamaan pada Jumat, 14 Februari 2025. Pada tanggal tersebut, dengan seizin Allah, jika detikers berpuasa, pahala puasa sunnah Syaban dan Ayyamul Bidh akan diraih. Wallahu a'lam bish-shawab.
Demikian pembahasan lengkap mengenai hukum menggabungkan puasa Nisfu Syaban dan Ayyamul Bidh.