Pengadilan Negeri Makassar eksekusi showroom mobil Ricky Tandiawan. Kuasa hukum mengungkap kejanggalan dan dugaan pemalsuan dokumen dalam proses eksekusi. [777] url asal
Pengadilan Negeri (PN) Makassar melakukan eksekusi dan pembongkaran gedung showroom mobil milik Ricky Tandiawan di Jalan AP Pettarani Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kuasa hukum Ricky Tandiawan, Ichsanullah mengungkap kejanggalan eksekusi showroom kliennya yang sempat diwarnai kericuhan.
"Dia (penggugat) beli (lahan) berdasarkan Kecamatan Tamalate sedangkan objek sengketa ini berada di Kecamatan Rappocini itu yang paling prinsip. Intinya kapanpun eksekusi dilakukan harus ditunda karena kenapa non eksekutabel, tidak akan ketemu objek yang mau dieksekusi itu di Kecamatan Tamalate, sedangkan objek yang berada sekarang di Rappocini itu," kata Ichsanullah kepada wartawan, Senin (28/4/2025).
Ichsanullah menilai ada dugaan pemalsuan dokumen oleh pihak pemohon yang telah dilaporkan ke Mabes Polri. Dia menyebutkan adanya proses perdamaian yang seharusnya menjadi dasar untuk menunda eksekusi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Kemudian beliau (pemilik showroom) pernah melapor, ini bukti suratnya dijadikan dasar untuk melakukan proses perdamaian pada waktu itu sehingga secara hukum di dalam ketentuan ini ada pasal yang mengatur bahwa para pihak tidak boleh lagi melanjutkan eksekusi, harusnya ditunda karena ada perdamaian antara pemohon eksekusi dengan termohon eksekusi," jelasnya.
Dia mengatakan pihak pemohon telah melanggar kesepakatan perdamaian dan melakukan perbuatan melawan hukum terhadap kliennya. Dia menegaskan kliennya berencana menempuh upaya hukum lanjutan, termasuk keberatan terkait dugaan pemalsuan data lahan.
"Salah satu pihak tidak menepati janjinya, ingkar janji. Jadi Ricky Tandiawan yang merasa tergugat itu merasa dirugikan nantilah prinsipal bagaimanapun akan melakukan upaya hukum, apakah dia mengajukan keberatan atau apa atau dia melanjutkan proses terkait dugaan pemalsuan rinci (lahan)," bebernya.
Sementara itu, kuasa hukum penggugat, H. Ulil Amri, mengungkapkan perkara ini sudah bergulir sejak 2011 dan baru diputuskan pada 2014. Setelah tiga kali gagal, eksekusi akhirnya dilaksanakan pada upaya keempat kalinya.
"Dalam perkara ini itu sejak tahun 2011 dan baru itu putusan 2014 baru bisa dieksekusi pada hari ini. Ini sempat tertunda, ini yang keempat kalinya. Jadi yang pertama, kedua, ketiga gagal dan hari ini akhirnya alhamdulillah berhasil kita laksanakan," ujarnya.
Ulil menjelaskan bahwa sengketa lahan seluas 3.825 meter persegi itu sudah berlangsung sejak 1996 antara ahli waris Syamsuddin Daeng Sesu melawan Eddy Aliman dan PT Timurama. Dia menambahkan, perkara baru muncul pada 2011 setelah lahan tersebut dijual ke pengusaha Ricky Tandiawan saat proses hukum sebelumnya belum selesai.
"Perkara sementara berjalan yah belum selesai PT Timurama jual ke Ricky Tandiawan. Sehingga perkara antara Eddy Aliman, PT Timurama selesai pada tahun 2010 ingkrah. Tahun 2011 muncul perkara baru karena Ricky Tandiawan sudah masuk makanya digugatlah Ricky Tandiawan bersama PT Timurama dan kawan-kawan. Dengan perkara 175 inilah yang dieksekusi hari ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Ulil mengatakan dalam perkara 175, Edy Aliman telah dinyatakan sebagai pemilik sah lahan tersebut sejak putusan tingkat pertama hingga kasasi dan peninjauan kembali (PK). Dia menuturkan perlawanan terhadap eksekusi baru diputuskan pada 2024.
"Jadi perkara 175 kita Edy Aliman dinyatakan sebagai pemilik sejak dari putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat pengadilan tinggi, kasasi kemudian PK lalu kemudian belakangan diajukan lagi perlawanan permohonan eksekusi tetap tanah ini dinyatakan Edy Aliman. Jadi putusan terakhir adalah perlawanan itu di tahun 2024," sebutnya.
Ulil menegaskan eksekusi hari ini dapat dilaksanakan tanpa hambatan karena seluruh bukti sudah diuji di persidangan. Dia memastikan bahwa tanah tersebut sah milik Edy Aliman.
"Oleh karena itu pada hari ini alhamdulillah eksekusi dilaksanakan dengan tidak ada lagi alasan apapun karena semuanya sudah diuji. Semua bukti-bukti sebagainya sudah diuji di persidangan dan dinyatakan bahwa tanah ini adalah milik Edy Aliman," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, PN Makassar melakukan eksekusi dan pembongkaran gedung showroom mobil di Jalan AP Pettarani Makassar, Senin (28/4) pagi. Eksekusi sempat diwarnai kericuhan karena massa yang menolak mencoba menghalangi aparat yang melakukan pengamanan.
"Jadi dia (massa aksi) mendahului melakukan tutup jalan dan pembakaran sehingga tidak ada cara lain kecuali melakukan pendorongan terhadap masyarakat yang menghalangi pada saat eksekusi," ujar Kabag Ops Polrestabes Makassar AKBP Darwis kepada detikSulsel, Senin (28/4).
Komedian sekaligus pesinetron yang tampil di Bajaj Bajuri, Mat Solar meninggal dunia pada Senin (17/3/2025) lalu. Perkara tanah sengketa yang tengah ia perjuangkan akan dilanjutkan oleh keluarganya.
Menurut kuasa hukum Mat Solar, Khairul Imam, pihaknya telah memegang bukti atas kepemilikan tanah yang kini telah dijadikan Jalan Tol Serpong-Cinere. Bukti tersebut di antaranya bukti transaksi jual beli tanah antara Haji Idris dan almarhum Mat Solar, seperti kwitansi dan Akta Jual Beli (AJB) dari notaris. Imam menyatakan alat bukti tersebut akan disertakan dalam persidangan berikutnya.
Tanah tersebut menjadi sengketa karena ada 2 orang yang mengklaim kepemilikannya yakni Haji Nasrullah (Mat Solar) dan Haji Muhammad Idris. Kemudian, terdapat masalah administrasi di BPN dan pejabat terkait.
"Kalau dia (Idris) bilang bahwa mengklaim itu punya dia, sedangkan dimediasi yang pernah diadakan di pengadilan juga loh, tapi belum masuk tahap gugatan ya, dia jelas menyatakan bahwa itu sudah dijual sepenuhnya kepada Bapak Haji Nasrullah (Mat Solar) dan dokumen-dokumennya itu sudah diberikan," kata Imam seusai pemakaman kliennya di TPU Wakaf Haji Daiman, Ciputat, Tangerang Selatan, seperti yang dikutip dari detikHot, Rabu (19/3/2025).
Sebelumnya disebutkan bahwa terdapat 2 cara untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah ini yakni melalui gugatan ke pengadilan dan mediasi. Imam mengungkapkan pihaknya sudah melakukan mediasi dengan Haji Muhammad Idris sebelumnya di luar persidangan.
Pihak Haji Muhammad Idris pada kesempatan tersebut menawarkan agar uang ganti rugi tanah dibagi rata, masing-masing mendapat 50 persen.
"Mediasi sudah dilakukan sebelumnya di luar persidangan, namun Pak Haji Idris tetap mempertahankan keinginannya untuk membagi 50 persen," kata Khairul Imam.
Imam menilai tindakan klaim Haji Muhammad Idris ini sudah termasuk unsur pidana. Namun, ia menegaskan hal ini tidak dapat terjadi apabila dari pihak BPN dan pihak terkait melakukan administrasi kepemilikan tanah dengan benar.
"Kalau memang dia klaim itu punya dari pihak lawan, Bapak Haji Muhammad Idris, jelas itu sudah pidana. Ini karena memang kesalahan administrasi yang melibatkan BPN, PUPR, dan pejabat pembuat komitmen," jelasnya.
Imbas sengketa tanah tersebut, kerugian yang dialami keluarga Mat Solar ditaksir mencapai Rp 3,3 miliar. Nilai ini mencakup uang pengganti atau konsesi yang harus diterima setelah tanah tersebut digunakan untuk pembangunan jalan tol.
"Yang di mana sudah dari tahun 2022 kalau nggak salah ya, sebelumnya juga sudah pernah 2019," ujarnya.
Dilansir detikPop, sidang lanjutan sengketa tanah Mat Solar seharusnya digelar pada Rabu (19/3/2025) di Pengadilan Negeri Tangerang. Namun, Mat Solar kini sudah berpulang, maka gugatan tersebut harus dibatalkan.
Keluarga Mat Solar akan mengajukan gugatan kembali tetapi wakilnya adalah pihak keluarga selaku ahli waris.
"Berarti gugatan yang sedang berjalan ini harus dibatalkan dulu. Tapi keluarga sudah siap, tadi setelah pemakaman saya sudah bertemu dengan mereka. Insyaallah gugatan baru dari ahli waris akan segera diajukan," jelasnya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat telah menyiapkan tim hukum untuk mendampingi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Bandung yang tengah digugat oleh ... [556] url asal
Bandung (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat telah menyiapkan tim hukum untuk mendampingi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Bandung yang tengah digugat oleh Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) soal tanah yang digunakan oleh sekolah itu.
"SMA 1 Bandung kita siapkan tim hukumnya untuk mendampingi," kata Dedi di Lanud Husein Sastranegara Bandung, Selasa.
Diketahui, lahan SMA Negeri 1 Bandung (Smansa) di Jalan Ir H Juanda atau Jalan Dago Nomor 93, Kota Bandung digugat oleh Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) yang mengklaim sebagai pemilik tanah sekolah itu.
PLK mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Efeknya psikologis siswa pun terkena dampaknya karena masa depan sekitar 1.200 siswa di sana kini tengah terancam.
PLK mendaftarkan gugatannya dengan nomor 164/G/2024/PTUN.BDG sejak 4 November 2024. PLK menggugat Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung selaku tergugat pertama, serta intervensi Dinas Pendidikan Jawa Barat (Jabar).
Dilihat di laman SIPP PTUN Bandung, sengketa ini sudah 12 kali bergulir di persidangan. Sidang dilanjutkan pada 20 Maret 2025 dengan agenda pembacaan kesimpulan secara e-court.
Pihak sekolah mengaku tidak pernah mendapatkan informasi apapun tentang sengketa itu semenjak berdiri pada 1950 dan menduduki lahan saat ini pada 1958. Mereka baru mengetahui kabar tersebut setelah ada gugatan di pengadilan.
"Awal dapat informasi ya kagetlah. Saya dapat informasi itu dari surat yang disampaikan ke Disdik Jabar. Kemudian saya dipanggil dan diberitahu tentang gugatan untuk SMAN 1 Bandung," kata Kepsek SMAN 1 Bandung Tuti Kurniawati beberapa waktu lalu.
Saat pertama kali mendapatkan informasi ini, Tuti dan pihak sekolah awalnya masih menutupi kabar tersebut supaya tidak terdengar sampai ke kalangan siswa. Pihak sekolah terus berupaya memberikan sejumlah dokumen yang dibutuhkan Biro Hukum Pemprov Jabar untuk kepentingan persidangan.
Namun kemudian, kabar gugatan sengketa lahan itu akhirnya sampai juga ke telinga para siswa SMAN 1 Bandung. Ini terjadi pada Kamis (6/3) kemarin, saat pihak sekolah mengadakan doa bersama, bertepatan dengan agenda sidang keterangan saksi ahli dari Pemprov Jabar di PTUN Bandung.
"Jadi tadinya kami diam dulu, hanya kami manajemen dan beberapa guru yang tahu, siswa mah belum dikasih tahu. Tapi akhirnya ramai pas sidang kemarin, pas kami juga mengadakan doa bersama. Yang mimpin doa waktu itu terucap soal proses hukum di SMAN 1 Bandung. Nah anak-anak kaget, dari situ akhirnya informasinya tersebar," ungkap Tuti.
Sengketa ini rencananya akan berlanjut pada 20 Maret 2025 di PTUN Bandung dengan agenda pembacaan kesimpulan secara e-court. Meski belum mengganggu proses pembelajaran, tapi Tuti tidak menampik psikologi 1.200-an siswa di sekolahnya saat ini terkena imbasnya.
"Karena yang saya khawatirkan gimana anak-anak. Saya mikirnya yang terburuk, kalau seandainya gugatan itu dimenangkan penggugat, nanti proses layanan pendidikan pasti terganggu. Anak-anak pride-nya berbeda, kosentrasinya, psikologinya dalam pembelajaran pasti akan terganggu. Saya juga khawatir alumni kehilangan almamaternya," ucap Tuti.
Tuti pun berharap sengketa ini bisa segera selesai. Kemudian hasilnya, SMAN 1 Bandung masih bisa tetap menempati lahan sekarang supaya proses pembelajaran terus berjalan tanpa gangguan.
"Kami besar harapan agar proses hukum SMAN 1 ini segera selesai, kemudian bisa selesai dengan hasil yang kami harapkan. Agar proses layanan di SMAN 1 ini tidak terganggu. Kami tidak mau hal-hal yang tidak diinginkan ini terjadi. Kebayang nanti anak-anak seperti apa, karena kami sudah merasa ini adalah rumah kedua kami," ujarnya.
Pakar hukum Unhas, Prof Farida, menanggapi eksekusi lahan bersertifikat di Makassar. Dia menyoroti pentingnya verifikasi sertifikat untuk mencegah sengketa. [1,019] url asal
Pakar Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Farida Patittingi merespons viral sejumlah eksekusi lahan yang memiliki sertifikat hak milik (SHM). Salah satunya ruko di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang baru-baru ini dieksekusi usai sengketa berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Secara umum, Farida menjelaskan bahwa rincik memang merupakan salah satu bukti kepemilikan lahan. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
"Dalam penjelasannya diatur beberapa alat bukti atau alas hak pembuktian hak lama yang bisa dijadikan untuk melakukan pendaftaran tanah. Termasuk tadi, rincik, tapi yang sebelum tahun 1960, itu diakui sebagai bukti kepemilikan," kata Farida kepada wartawan usai menghadiri forum group discussion (FGD) di Jalan Nusantara, Selasa (18/2/2025).
Menurutnya, penggunaan rincik sebagai alas hak adalah hal wajar. Pasalnya, pembuktian kepemilikan lahan masyarakat sejak dahulu menggunakan hukum adat.
"Masyarakat hukum adat yang memang lebih banyak pembuktian atas hak tanah itu pada penguasaan fisik, bukti dia ada di situ terus menerus, turun temurun dan masyarakat mengakui kepemilikannya satu sama lain," katanya.
"Dulu kan sistem hukum kita berdasarkan hukum adat, hak ulayat. Jadi hak ulayat itu hak bersama dalam hukum adat kemudian bertumbuh atau lahir hak-hak bersifat individual. Biasanya disebut tanah bekas milik adat," sambung Farida.
Belakangan, kata dia, sengketa juga disebabkan karena adanya sertifikat lebih dari satu dalam satu bidang tanah. Dia menduga hal ini disebabkan karena pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki sistem publikasi negatif.
"Sistem pendaftaran tanah kita menganut sistem publikasi negatif. Sistem publikasi negatif itu, kantor pertanahan dia bersifat pasif, jadi tidak melakukan verifikasi secara materiil atau keyakinan data yang diajukan pemohon. (Jika) Itu adalah data yang benar sepanjang secara administratif bukti-bukti itu bisa menunjukkan bahwa itu benar secara administratif. Hukum administrasinya benar," katanya.
Menurutnya, BPN harus memiliki sistem yang dapat mendeteksi sertifikat ganda atau lebih dari satu. Namun, kenyataannya saat ini celah ini dimanfaatkan pihak tertentu untuk menguasai suatu lahan.
"Seharusnya BPN memiliki sistem yang terbangun untuk dapat memverifikasi bukti yang diajukan karena kadang-kadang double tapi biasa hasil penelitian menunjukkan kadang satu bidang tanah muncul lebih dari satu sertifikat karena lain lagi yang mengajukan, beda dengan yang pertama. Kalau ada yang merasa berhak dia lagi diberikan," kata Farida.
Sementara soal adanya dugaan rincik palsu, dia mengaku hal itu merupakan ranah hukum yang berbeda. Sehingga harus pula dibuktikan secara hukum yang lain.
"Kalau palsu kan proses atau ranah hukum yang berbeda lagi kan. Jadi harus dibuktikan dulu kepalsuannya," jelasnya.
Meski demikian, dia mengaku tak bisa berkomentar lebih jauh soal klaim pihak bersengketa di ruko Jalan AP Pettarani yang menyebut rincik diduga palsu. Pasalnya, hal itu butuh pembuktian lebih lanjut.
"Kalau itu saya tidak bisa komentari karena masalah pembuktian karena masalah palsu dan tidak palsu harus dibuktikan," jelasnya.
Pakar Hukum UMI, Prof Laode Husein juga menanggapi penggusuran Gedung Hamrawati itu merupakan langkah untuk mengakhiri proses sengketa. Pasalnya, sengketa itu telah memiliki kekuatan hukum tetap.
"Dasarnya adalah keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Semua bukti-bukti dan alas hak sudah diuji di pengadilan sampai pada tingkat kasasi. Putusan kasasi bahkan sampai pada upaya hukum luar biasa peninjauan kembali, itu sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Ketika sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yah harus dilaksanakan untuk mengakhiri sengketa ini," ujarnya.
Meski demikian, kata Husein, pihak yang kalah tetap masih bisa mengajukan langkah hukum Peninjauan Kembali (PK) jika ada bukti baru. Jika berhasil maka pengadilan akan melakukan pemulihan.
"Gunakanlah sarana hukum yang ada, kalau memang ada bukti hukum yang baru silakan gunakan untuk upaya hukum luar biasa yang kedua. Saya kira (eksekusi tidak terburu-buru) karena sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kalau toh nanti upaya hukum luar biasa berikutnya digunakan, ada pemulihan," pungkasnya.
PN Klaim Sudah Sesuai Prosedur
Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri (PN) Makassar Nawir mengklaim proses eksekusi ruko tersebut sudah sesuai prosedur. Sebelum digusur, kata Nawir, pihak yang menguasai lahan tersebut telah disurati untuk melakukan pengosongan.
"Semua pelaksanaan proses eksekusi itu sudah sesuai SOP. Mulai dari awal, itu berperkara, kemudian dilakukan aanmaning atau peneguran, sesuai SOP yang ada di pengadilan sampai pelaksanaan eksekusi," katanya.
Soal klaim pihak ahli waris yang kalah sengketa memiliki SHM, Nawir enggan menanggapinya.
"Itu bukan kewenangan kami untuk memberikan jawaban karena itu sudah masuk teknisnya. Kami hanya bagian administrasi mohon maaf yah," singkatnya.
Sebelumnya diberitakan, ahli waris buka suara usai ricuh eksekusi rumah toko (ruko) dan bangunan di Jalan AP Pettarani, Makassar. Ahli waris mengklaim memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas nama Hamat Yusuf.
Kuasa hukum ahli waris Saladin Hamat Yusuf, Arif Hamat Yusuf mengatakan pihaknya telah menyurat ke kepolisian, pengadilan negeri, hingga Badan Pertanahan Negara (BPN) sebelum eksekusi dilakukan. Pihaknya kini akan menyurat ke Presiden Prabowo Subianto untuk meminta keadilan.
"Namun pelaksanaan eksekusi tetap dijalankan, sehingga kami akan sampaikan keberatan kami kepada bapak Presiden Republik Indonesia," kata Arif Hamat Yusuf kepada wartawan, Minggu (16/2).
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menekankan agar penataan administrasi tanah tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Mulai dari sertifikasi tanah, hak penguasaan lahan, hingga penyelesaian sengketa tanah perlu memerhatikan aspek tersebut.
"Nanti akan kita kembangkan dalam bentuk desk-to-desk terutama dalam mengawal pendaftaran tanah hak komunal tadi yang memang ini masih sangat sedikit sekali di Indonesia. Kita masih di bawah target tentang pendaftaran tanah hak komunal atau hak adat serta hak ulayat dan itu bisa menghambat berbagai program pemerintah," ujar Nusron di Gedung Kementerian ATR/BPN, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2025).
Salah satunya program yang terdampak adalah Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Menurutnya pendaftaran tersebut selalu terhambat pada pengakuan dan pernyataan dari hak adat.
Hal itu disampaikannya usai bertemu dengan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai. Pada kesempatan itu, Pigai menuturkan konflik tanah di wilayah komunal atau adat dapat diselesaikan asalkan masyarakat bersatu mendaftarkan tanah adat ke Kementerian ATR/BPN.
Pigai mengatakan pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian ATR/BPN untuk mendukung penyelesaiannya berdasarkan perspektif HAM. Ia pun akan melakukan penyelarasan untuk menata dan mengendalikan konflik berdasarkan data.
"Sengketa yang melibatkan urusan kementerian atau eksekutif, kita ikut kerja sama-sama, memfilter, memberi masukan, memberi dukungan. Kalau ada regulasi yang tidak berperspektif HAM, kita ikut memberi masukan. Tapi kalau sengketa yang urusan yudikatif, sudah pasti tidak mungkin," jelasnya.
Akan tetapi, ia menyebut Kementerian HAM akan sulit membantu kalau penyelesaian sengketa sudah masuk proses peradilan. Pigai tak ingin melakukan intervensi proses hukum.
Jika masih urusan kementerian lembaga, khususnya terkait dengan penyelesaian konflik lahan, baik Kementerian ATR/BPN atau kehutanan, pihaknya dapat ikut melakukan pembaharuan atau perbaikan.
Selian itu, Pigai juga membahas bagaimana semakin sempit lahan pertanian di Pulau Jawa dalam pertemuan tersebut. Menurutnya, kondisi ini lantaran adanya industrialisasi, realestat, serta infrastruktur.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
Menteri HAM Natalius Pigai dan dan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid membahas bagaimana persoalan sengketa tanah bisa diselesaikan tanpa melanggar HAM. Halaman all [449] url asal
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai bertemu dengan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid di Kantor ATR/BPN, Jakarta Selatan, pada Rabu (15/1/2025).
Pigai dan Nusron membahas bagaimana persoalan sengketa tanah bisa diselesaikan tanpa melanggar HAM.
"Bagaimana setiap sertifikasi tanah, pemberian hak-hak atas tanah, baik itu hak penguasaan lahan, hak-hak guna usaha, hak guna bangunan, maupun hak pakai serta hak milik, itu tidak mengganggu dan tidak melanggar hak asasi manusia," ujar Nusron.
"Dan turunannya itu banyak sekali. Termasuk di dalamnya topik kedua adalah bagaimana penyelesaian konflik dan sengketa tanah. Juga setiap penyelesaiannya harus mengedepankan dimensi hak asasi manusia. Jadi secara prinsip itu," sambungnya.
Nusron memaparkan, dirinya dan Pigai juga membahas bagaimana mengawal pendaftaran tanah hak komunal atau adat yang masih sangat sedikit di Indonesia.
Menurutnya, pendaftaran tanah hak adat yang masih di bawah target ini bisa menghambat pemerintah.
"Ini harus kita tuntaskan supaya kita makin jelas, mana batas-batas hak adat, mana batas-batas APL (areal penggunaan lain) murni. Dan mana batas-batas hutan. Supaya masing-masing didaftarkan," jelas Nusron.
Dalam kesempatan yang sama, Pigai menyebut penataan tanah di Indonesia harus berbasis HAM.
Dia mencontohkan, di negara ini, konversi lahan menyebabkan penyempitan ketersediaan area pertanian.
Dengan menyempitnya lahan pertanian, maka itu akan mempengaruhi produksi pangan nasional dan swasembada pangan.
"Maka, perlu kami kerja sama agar supaya space untuk produksi pangannya tetap dalam koridor dan kontrol sesuai dengan program prioritas pemerintah. Tapi juga kami tetap mengatur juga memberikan ruang supaya industri juga tetap berkembang," jelas Pigai.
Sementara itu, Pigai menyebut Kementerian HAM menerima aduan mengenai konflik tanah sebanyak 2.000 dalam 1 tahun.
Dia pun menyambut baik Kementerian ATR/BPN yang telah melakukan digitalisasi sertifikasi, meski itu sulit dilakukan.
"Sudah hampir mencapai 20 persen. Lebih dari 20 persen. Itu kan alhamdulillah ya, syukur ya, daripada enggak sama sekali. Bayangkan bagaimana orang mencari keadilan persoalan tanah, persoalan sertifikat yang tumpang tindih. Tidak hanya di perkotaan, tapi juga di daerah-daerah terpencil," imbuhnya.