
Ketua Komisi III DPR Sepakat Usul Kementerian HAM Hapus SKCK
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman sepakat dengan usul Kementerian HAM untuk menghapus SKCK. Demi mempermudah warga cari kerja. [330] url asal
#surat-keterangan-catatan-kepolisian #hapus-skck #usul-kementerian-ham #listyo-sigit-prabowo #pnbp #penghapusan-skck #kapolri #gerindra #pemilu #kepolisiannya #penguatan-ham #kapolri-jenderal #dpr-sepa
(CNN Indonesia) 27/03/25 18:38
v/106758/

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman sepakat dengan usul Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menghapus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
"Kalau saya pribadi (setuju), tapi kan saya Ketua Komisi III, tentu pendapat pribadi saya ngaruh banget ya kan. Menurut saya sih sepakat, enggak usah (ada) SKCK," kata Habiburokhman kepada wartawan, Kamis (27/3).
Habiburokhman mengatakan penghapusan SKCK ini bisa diberlakukan pada semua pihak, termasuk para mantan narapidana.
"Untuk semua, kan tinggal berlaku saja ini. Kalau ketentuan apa namanya orang enggak pernah dipidana dalam pemilu segala macam, kan orang sudah tahu semua yang pernah dipidana," ujarnya.
Menurut Habiburokhman, SKCK sebagai sebuah persyaratan terkadang justru menyulitkan masyarakat. Misalnya, saat sedang mencari pekerjaan.
"Saya mau cari kerja misalnya, perlu SKCK, itu benar-benar, satu ongkos ke kepolisiannya, ngantrenya," ucap dia.
Lebih lanjut, politisi Gerindra itu mengklaim Komisi III juga sudah beberapa kali membahas soal SKCK ini dalam rapat bersama Polri. Ia berpendapat tak ada jaminan bahwa orang yang dapat SKCK tidak bermasalah.
"Saya kan sering mempertanyakan kan ya. SKCK ini dari PNBP-nya gimana? Seinget saya tuh engak signifikan. Sudah buat apa juga. Capek-capek polisi ngurus SKCK," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian HAM mengusulkan penghapusan SKCK kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Salah satu tujuan dari usulan itu adalah untuk memudahkan mantan narapidana mendapat pekerjaan usai kembali ke masyarakat.
"Kita meminta kepada pihak yang berwenang dalam hal ini Kepolisian RI untuk meninjau kembali bahkan mungkin menghapuskan SKCK," ujar Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Nicholay Aprilindo di Kantornya, Jakarta, Jumat (21/3.
Nicholay mengungkapkan Kementerian HAM telah mengirimkan surat ke Kapolri yang ditandatangani langsung Menteri HAM Natalius Pigai.
Adapun usulan tersebut diperoleh setelah Kementerian HAM mengunjungi beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas) dan mendapat keluhan dari para narapidana.
Ada salah seorang narapidana yang melakukan kejahatan berulang karena saat bebas dari penjara tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonominya. Narapidana tersebut mengaku sulit mendapat kerja lantaran ada syarat SKCK yang diminta oleh perusahaan-perusahaan.
Nicholay menegaskan usulan tersebut tak khusus untuk mantan narapidana saja, tapi juga untuk semua masyarakat.

Silang Pendapat Pengaruh Hukum Syariah di Indonesia
Beberapa hukum positif Indonesia mendapat pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dari hukum syariah Islam. [2,144] url asal
#lipi #reformasi #pemilu #sumatera-selatan #dprd-bali #dprd-papua-barat #hukum-syariah-islam #mahkamah-konstitusi #politik #pdip #sby #sulawesi-utara #fraksi-golongan-karya #provinsi-riau #uu-21-2001
(CNN Indonesia) 24/03/25 11:36
v/103902/

Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie mengatakan penerapan hukum dan peraturan yang dipengaruhi oleh hukum Islam di Indonesia mengalami perkembangan pesat setelah reformasi.
Sejak tahun 1999 hingga 2023, ia mencatat setidaknya ada 17 Undang-undang di Indonesia yang dapat dikualifikasikan sebagai hukum islam.
"Hukum islam di Indonesia pasca-reformasi mengalami surplus dari sisi kuantitas dibanding periode sebelumnya di masa orde baru," kata dia saat dihubungi melalui pesan tertulis.
Indonesia memang tidak menerapkan hukum islam secara menyeluruh, tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam Islam diterapkan dalam hukum positif, baik di tataran Undang-undang hingga tingkat Peraturan Daerah (Perda).
Di lapangan, hukum positif Indonesia yang dipengaruhi hukum syariah Islam ada di tataran produk UU hingga peraturan daerah. Berikut beberapa produk tersebut.
Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pornografi (RUU Pornografi) di Indonesia memakan waktu lebih dari lima tahun. Pembahasan RUU Pornografi baru memantik perhatian publik setelah berubah nama menjadi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP), 23 Juni 2005.
Pendukung RUUAPP secara umum mencakup kelompok berbasis agama Islam, kelompok perempuan berbasis agama Islam maupun nonagama, hingga organisasi perlindungan anak.
Secara umum, kelompok pendukung RUUAPP memandang pornografi telah meluas dengan kemudahan akses informasi. Mereka berpendapat ada hubungan kausalitas antara keterpaparan terhadap pornografi dengan perilaku seksual yang dianggap menyimpang dari batasan moralitas bangsa dan agama.
Sementara itu, penentang RUUAPP terdiri dari kelompok perempuan berbasis agama maupun non agama, organisasi agama Kristen, Katolik dan Hindu, kelompok seni, akademisi, aktivis HAM dan pluralisme, hingga kelompok transgender. Kelompok penentang ini menilai RUUAPP bukan solusi tepat untuk mengatasi masalah pornografi.
Salah satu aspek yang sangat krusial adalah pihak penentang memandang ada agenda tersembunyi dari kelompok islam politis untuk secara bertahap memasukkan hukum islam ke dalam hukum nasional.
Pandangan tersebut juga mendorong beberapa wilayah yang mayoritas penduduknya tidak beragama islam- seperti Bali, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua- menolak pengesahan UU Pornografi.
Bahkan, pemerintah daerah maupun masyarakat di wilayah tersebut tak segan mengancam akan memisahkan diri dari NKRI jika aspirasi mereka diabaikan.
Perdebatan yang terjadi tidak hanya di forum resmi DPR dan media massa, tetapi juga di jalanan dengan aksi demonstrasi. Puncak dari demonstrasi tersebut, DPR terpaksa menunda pembahasan RUUAPP yang rencananya dilakukan pada tahun 2006.
DPR selanjutnya merevisi RUUAPP dan mengubahnya menjadi RUU Pornografi dengan jumlah semula 11 Bab dan 93 Pasal, menyusut menjadi 10 Bab dan 52 Pasal. Pada September 2007, Presiden SBY melayangkan surat ke DPR yang menunjukkan persetujuan pembahasan RUU Pornografi dan mengutus empat menteri ke DPR.
Pembahasan tersebut kembali menyulut perdebatan publik. Wacana mengenai seksualitas perempuan terangkat menjadi wacana nasional, dibicarakan secara terbuka dalam forum diskusi ilmiah, demonstrasi dan media massa.
RUU Pornografi akhirnya disahkan menjadi Undang-undang dalam suasana kontroversial, berdasarkan persetujuan delapan fraksi.
Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) dan Fraksi Damai Sejahtera (PDS) melakukan perlawanan dengan melayangkan interupsi dan walk out. Satu hal yang paling disoroti mengenai kewenangan masyarakat berperan serta dalam penanggulangan pornografi (Pasal 21).
Aturan itu dianggap menjadi pembenaran bagi kelompok tak bertanggung jawab melakukan penghakiman terhadap hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Aksi walk out juga dilakukan oleh dua anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) asal Bali.
Usai disahkan jadi UU 30 Oktober 2008, kelompok masyarakat sipil termasuk aktivis perempuan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Ketua DPRD Bali Ida Bagus Putu Wesnawa menandatangani kesepakatan bersama untuk tidak melaksanakan UU tersebut dan memberikan perlindungan kepada masyarakat Bali yang terkena pasal-pasal dalam UU Pornografi.
Selain Bali, Papua dan Papua Barat juga akan menggunakan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua untuk menolak berlakunya UU Pornografi.
Respons sangat keras dilayangkan oleh Ketua DPRD Papua Barat bersama 40 pimpinan umat gereja se-Papua Barat. Mereka menyatakan tidak akan mengikuti Pemilu dan akan melepaskan diri dari NKRI.
Nilai-nilai yang terkandung dalam islam juga diterapkan dalam tataran Peraturan Daerah (Perda). Dalam batas tertentu, Perda syariah dijadikan modal politik bagi politikus untuk mendapat simpati dan kepercayaan politik yang berbuah pada dukungan publik.
Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)- sekarang BRIN-Syafuan Rozi dan Nina Andriana dalam kajiannya 'Politik Kebangsaan dan Potret Perda di Indonesia' menyatakan dalam kurun waktu lima tahun, kecenderungan implementasi Perda bernuansa syariah islam meningkat dan semakin merata.
Mulai dari Bulukumba, Padang, Solok, Pasaman Barat, Depok, Cianjur, Kota Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Pamekasan, Banjar Baru, Enrekang, Gowa hingga Maros.
Untuk level provinsi, Perda syariah ditemukan di Provinsi Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Banten, Gorontalo ataupun Sulawesi Selatan.
Sejumlah perda dan aturan berbau syariah memicu kontroversi. Seperti Perda Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah atau Perda Gerbang Marhamah di Cianjur. Atau, yang terbaru, penerapan tilang syariah oleh Polres Kabupaten Lombok Tengah.
Dalam penelitiannya, Syafuan Rozi dan Nina Andriana menyoroti salah satu Perda yang memiliki nama sangat kental dengan nuansa islami yakni Perda Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah atau Perda Gerbang Marhamah.
Mereka memandang Perda tersebut penting dimasukkan ke dalam penelitian karena pada umumnya beberapa Perda yang ada tetap menggunakan bahasa yang bersifat umum.
Selain itu, substansi Perda-nya pun umumnya hanya mengatur satu per satu bagian kehidupan di dalam masyarakat.
Seperti Perda pekat (penyakit masyarakat), SK Bupati tentang penggunaan jilbab bagi kaum muslimah, lalu Perda tentang larangan atau ketentuan jam malam bagi kaum perempuan di luar rumah seperti yang terjadi di Padang dan Tangerang.
Namun, semua peraturan tersebut tidak berada dalam 'satu payung' Perda yang utuh seperti yang terjadi di Kabupaten Cianjur.
Perda Gerbang Marhamah lahir karena peristiwa pelanggaran moral kesusilaan. Politikus DPRD maupun kepala daerah merespons peristiwa tersebut dengan membentuk peraturan di tingkat daerah.
"Perda Syariah dalam batas tertentu merupakan kendaraan politik, dengan memanfaatkan Perda Syariah sebagai instrumen memperoleh dukungan politik lewat visi dan cara dalam mengendalikan kriminalitas akibat lemahnya regulasi peredaran minuman keras yang memicu pelanggaran moral dan kejahatan pembunuhan, perkelahian, pencurian, perzinahan, prostitusi dan pemerkosaan," kata mereka dalam penelitiannya.
Di Kabupaten Cianjur juga ada Perda Pemberdayaan Pendidikan Diniyah Takmiliyah dan Pendidikan Alquran (2014) dan Perda Gerakan Penghafalan dan Pengkajian Alquran atau GP2Q (2015).
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menilai Perda syariah yang kian marak terkesan memberi pengistimewaan kepada kelompok warga negara di atas sekelompok warga negara yang lain.
Padahal, tegas dia, pada dasarnya setiap perseorangan warga negara mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya tak peduli jumlah mereka di dalam komunitas.
"Jadi, begitu kita berkelompok, berapa pun kuantitas kita, itu tidak terlalu problematik karena sesungguhnya setiap warga negara itu per orangan memiliki hak atau kesetaraan di dalam hak untuk diperlakukan sama oleh negara," kata Halili.
Menurut dia, kehadiran Perda syariah di sejumlah daerah menjadi penanda gejala kebangkitan politik identitas.
Hanya saja, secara umum, sejak dua dekade lalu kehadiran Perda syariah menandakan kecenderungan munculnya populisme politik bagi sejumlah elite untuk menghimpun dukungan dari kelompok mayoritas di masyarakat setempat.
Ia menyatakan hal itu merupakan sesuatu yang pragmatis dan bersifat jangka pendek.
"Ini bagian dari menguatnya apa yang kita cemaskan sebagai mayoritarianisme karena kalau kita lihat Perda syariah tentu saja merupakan sesuatu yang seperti kecenderungan di dalam masyarakat yang mayoritas muslim," katanya.
Namun menurut Halili, hal serupa juga terjadi di wilayah yang mayoritas beragama Kristen atau Hindu.
"Tetapi kalau kita lihat, cek di tempat yang lain di mana mayoritas bukan muslim, taruhlah misalnya hindu atau katolik, itu ada kecenderungan yang kurang lebih sama untuk mengistimewakan kelompok itu di atas kelompok warga negara yang lain," ungkap dia.
Dalam konteks itu, kata Halili, terjadi semacam pengentalan identitas. Di tingkat elite akan menjadi biasa saja, tetapi berbeda di ranah warga atau publik.
"Dan itu menurut saya berbahaya bagi tata kelola kebhinekaan di republik ini," imbuhnya.
Pada akhirnya, menurut Halili, ketika pengentalan identitas terjadi secara kultural, maka akan menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat secara horizontal.
Apabila berbicara hukum yang hidup di tengah masyarakat atau living law, Perda syariah seolah merupakan sesuatu yang normal ketika satu masyarakat dengan kecenderungan kuat keislamannya menjadikan syariah sebagai kehidupan dari sisi hukum dan norma.
Kata Halili, yang menjadi masalah adalah ketika nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat dijadikan alasan pembenar bagi pengistimewaan atas satu kelompok tertentu.
"Padahal, kalau kita bicara demokrasi, demokrasi itu kan mengenai dua hal: pertama apa yang sering kita sebut sebagai majority rule atau pemerintahan oleh mereka yang banyak dan minority rights yaitu pelindungan hak-hak minoritas," tutur Halili.
"Maka, dalam tata kelola demokrasi itu yang pertama kali dipertanyakan adalah soal bagaimana hak-hak yang sedikit itu diafirmasi untuk dilindungi sehingga prinsip pemerintahan demokratis adalah prinsip inklusif, sehingga tidak ada satu pun yang tertinggal atau no one left behind," tambah dia.
Dalam konteks tersebut, Halili menyimpulkan "Perda syariah menjadi problematik kalau Perda itu dijadikan alasan untuk mengistimewakan satu kelompok masyarakat di satu locus tertentu atas kelompok yang lain dalam konteks itu minoritas."
Alih-alih Perda Syariah, Andreas Harsono yang bekerja untuk Human Rights Watch lebih memilih memakai istilah 'peraturan yang diskriminatif'. Sebab, menurut dia, tak semua Perda syariah diskriminatif.
Terlebih lagi, istilah syariah islam mempunyai banyak tafsir. Sebagai contoh, jilbab. Ada yang bilang wajib dan ada juga yang mengatakan tidak.
"Saya cenderung memakai istilah peraturan yang diskriminatif," ucap Andreas saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Menurut Andreas, akar permasalahan peraturan diskriminatif dimulai sejak tahun 1952 saat Kementerian Agama memberikan batasan agama yang memiliki tiga aspek, yakni Nabi, kitab suci dan pengakuan internasional.
"Jadi, peraturan diskriminatif tidak muncul sejak zaman Soeharto tapi sejak tahun 1952. Ini bukan kebangkitan. Ini inheren dengan Indonesia minimal tahun 1952," imbuhnya.
Satu yang paling buruk, kata Andreas, yakni Pasal penodaan agama yang diatur dalam Undang-undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal yang berkaitan dengan penodaan agama juga diatur dalam KUHP (Pasal 156a).
Kata Andreas, Pasal tersebut jarang digunakan pada zaman Soeharto. Ada 10 kasus mengenai hal itu.
"Zaman Soeharto jarang dipakai, dia mulai bangkit terutama setelah SBY tahun 2004. Di zaman Soeharto hanya dipakai maksimal 10 kali, delapan vonis, dua tidak jelas. Jadi, selama 30 tahun hanya dipakai 10 kali. Sementara zaman SBY, selama 10 tahun itu 125 orang sudah divonis bersalah. Jokowi dan Prabowo melanjutkan," kata Andreas.
Dari data yang ia punya, secara umum yang disebut dengan peraturan diskriminatif ada 700-an. Terbagi dalam empat kategori yakni minoritas agama, perempuan (paling banyak dari 700-an itu dan berkenaan dengan wajib jilbab), LGBT dan pemakai alkohol.
Peraturan diskriminatif itu paling banyak ada di 24 provinsi yang mayoritas islam.
"Menurut kami, Human Rights Watch, kami puluhan tahun, bukan hanya kami, ada Setara, Gus Dur, Alissa Wahid, sudah puluhan tahun kami meminta ini dibatalkan termasuk penodaan agama. Ironisnya, penodaan agama diperbesar oleh DPR terakhir tahun 2022. KUHP baru Pasalnya dinaikkan dari 1 jadi 6," ungkap Andreas.
Di sisi lain, berdasarkan hasil survei, 64 persen masyarakat muslim di Indonesia menyatakan kesetujuannya pada syariat Islam sebagai hukum negara. Survei ini didapat dari lembaga survei Pew Research Center di kawasan Asia Tenggara.
Survei ini dikumpulkan Pew Research Center mulai Juni hingga September 2022 dengan melibatkan 13.122 responden dari enam negara Asia yang dipilih dengan desain sampling berbasis probabilitas. Khusus untuk responden Indonesia salah satunya, ada pengambilan data melalui wawancara langsung bersama responden.
Pengambilan data juga dilakukan di bawah supervisi dan konsultasi dari berbagai pihak seperti pakar akademis hingga dilakukan wawancara mendalam maupun membentuk kelompok diskusi di beberapa negara Asia.
Berdasarkan publikasi yang dirilis 2023 lalu, salah satu survei yang dilakukan terkait pandangan masyarakat Indonesia pada agama Islam. Termasuk menjadikan syariat Islam sebagai dasar hukum negara.
Survei terbaru menunjukkan angka 64 persen masyarakat muslim Indonesia setuju dengan syariat Islam sebagai hukum negara. Mayoritas muslim Indonesia juga menyatakan hal serupa pada survei yang pernah dilakukan pada 2011-2012 lalu.
Usulan syariat Islam menjadi dasar negara ini sempat termaktub dalam rumusan salah satu sila Pancasila. Rumusan tersebut tertuang dalam Piagam Jakarta yang kemudian diganti menjadi, "Ketuhanan yang Maha Esa," oleh PPKI.
Secara umum, masyarakat muslim di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam memandang Islam sebagai lebih dari sekadar agama. Pew Research Center merinci sebanyak 82 persen respon menyebut Islam sebagai budaya yang menjadi bagian diri dari seseorang.
Kemudian, 81 persen muslim Indonesia juga menyebut Islam sebagai tradisi keluarga yang harus seseorang ikuti. Ditambah lagi, 77 persen responden muslim Indonesia juga mengaku Islam sebagai etnis tempat seseorang dilahirkan.
Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta Tholabi menilai perubahan pandangan masyarakat terhadap hukum Islam itu juga tak terlepas dari maraknya kajian hukum Islam di perguruan tinggi. Terlebih, kata dia, kajian itu dilakukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Jadi, tidak ada lagi kecurigaan atas eksistensi hukum Islam. Keberadaan hukum Islam murni untuk mengatur masyarakat muslim dalam sektor tertentu seperti ekonomi syariah, haji, zakat, wakaf, peradilan agama, termasuk hukum keluarga," jelas dia.
Di sisi lain, Tholabi berharap keberadaan hukum Islam dapat semakin digunakan untuk membangun Indonesia.
Tak hanya itu, Tholabi menjelaskan terdapat 3 cara agar hukum Islam bersama dengan hukum adat, hingga hukum barat dapat bersandingan dalam sistem hukum nasional. Salah satunya, mengakui keberadaan masing-masing pilar hukum tanpa mempertentangkan pilar lainnya agar dapat berjalan berdampingan.
Kemudian, para pembentuk undang-undang harus memiliki kesadaran bersama terkait pentingnya koeksistensi hukum nasional.
"Melalui proses pembentukan, pengawasan, penafsiran, dan pelaksanaan sebuah norma peraturan perundang-undangan," katanya.

Komnas HAM segera komunikasi dengan DPR untuk beri masukan RUU Pemilu
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera berkomunikasi dengan DPR RI untuk memberikan masukan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ... [253] url asal

Agar kebijakan yang dibuat DPR itu selaras dengan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya Undang-Undang Pemilu.
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera berkomunikasi dengan DPR RI untuk memberikan masukan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).
"Kami akan melakukan komunikasi dengan DPR untuk memberikan masukan juga terkait dengan beberapa undang-undang yang kami nilai memang penting," kata anggota Komnas HAM Anis Hidayah di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis.
Anis menyampaikan pernyataan tersebut ketika ditanya kemungkinan Komnas HAM akan memberikan masukan terhadap RUU Pemilu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI, terlebih komisi yang membidangi pemerintah dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur ini telah mengadakan RDPU untuk menerima masukan pada tanggal 26 Februari 2025 dan 5 Maret 2025.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa Komnas HAM dalam memberikan masukan terhadap RUU Pemilu akan mengutamakan perspektif HAM.
"Agar kebijakan yang dibuat DPR itu selaras dengan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya Undang-Undang Pemilu," ujarnya.
Apabila nanti Komnas HAM memberikan masukan, menurut dia, tidak sebatas pada RUU Pemilu. Akan tetapi, turut memberikan masukan pada UU lainnya yang berkaitan dengan pemilihan umum.
Sebelumnya, Komnas HAM di Jakarta, Rabu (15/1), telah meluncurkan kertas kebijakan perlindungan dan pemenuhan HAM petugas pemilu yang berisi lima rekomendasi bagi pemangku kepentingan terkait.
Salah satu rekomendasinya adalah mendorong adanya desain ulang keserentakan pemilu dan pilkada serta menambah jumlah petugas pemilu.
Pewarta: Rio Feisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025

Ahli Hukum Usul Pemilu Nasional dan Pilkada Dijeda 2 Tahun
Ahli hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, mengusulkan Pilpres-Pileg dan Pilkada tidak digelar di tahun yang sama. [328] url asal
#pemilu #pilkada #titi-anggraini #komisi-ii-dpr #ahli-hukum-usul-pemilu-nasional #ahli-hukum-pemilu-fakultas-hukum-universitas-indonesia #pulau-jawa #jakarta-pusat #rapat-dengar-pendapat-umum #zipper-system #sis

Ahli hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, mengusulkan Pilpres-Pileg dan Pilkada tidak digelar di tahun yang sama. Titi mengusulkan ada jeda 2 tahun untuk pelaksanaan Pilpres-Pileg dan Pilkada.
"Pelaksanaan Pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD dan presiden dimulai tahun 2029, dan pemilu serentak lokal memilih DPRD dan kepala daerah dimulai tahun 2031, jeda 2 tahun," kata Titi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi II DPR RI, di gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2025).
"Baru kemudian 2032 seleksi serentak penyelenggara Pemilu dilakukan," sambung dia.
Titi mengatakan pelaksanaan Pilpres-Pileg dan Pilkada di tahun yang sama menjadi beban berat penyelenggara pemilu. Selain itu, menurutnya, keserentakan itu juga mengganggu fokus dan konsentrasi peserta pemilu.
"Pilkada di tahun yang sama dengan Pileg dan Pilpres, beban berat akibat himpitan tahapan Pemilu dan Pilkada. Mengganggu profesionalitas penyelenggara, fokus peserta, serta konsentrasi dan orientasi masyarakat atas proses Pemilu dan Pilkada," ujarnya.
Kemudian, Titi juga mengusulkan agar sistem Pemilu menjadi campuran. Di mana, kata dia, pemilih tetap dapat langsung calonnya, serta peran partai politik sebagai peserta Pemilu tetap terjaga.
"Sistem Pemilu yang bisa menjadi opsi adalah sejatinya sistem Pemilu campuran, supaya kita tidak lagi berdebat terkait proporsional terbuka, proporsional tertutup, padahal variasi sistem Pemilu dunia itu ada 400 lebih," ujarnya.
"Kenapa kemudian opsinya adalah sistem Pemilu campuran, karena dalam sistem Pemilu campuran ada dua karakter yang dimaknai oleh MK, bagaimana memberi porsi kedaulatan rakyat untuk memilih langsung calonnya dan juga menjaga peran partai politik sebagai peserta Pemilu untuk mempromosikan kader-kadernya," imbuh dia.
Selain itu, dia juga mengusulkan agar alokasi kursi sesuai dengan putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 yakni 50% untuk Pulau Jawa dan 50% untuk luar Pulau Jawa. Selanjutnya, keterwakilan perempuan juga diusulkan diberlakukan zipper system.
"Penguatan kuota minimal 30% pencalonan keterwakilan perempuan pemberlakuan zipper system, silang-seling antara caleg laki-laki dan perempuan dalam daftar calon partai," tuturnya.
(amw/gbr)
Rompi Tahanan KPK dan Borgol untuk Hasto Kristiyanto
Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, resmi ditahan KPK terkait dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. Ia akan menjalani penahanan 20 hari. [664] url asal
#hasto-kristiyanto #kpk #harun-masiku #kuningan #kpu-ri #kpu #harun #detiknews #pdip #rutan #gedung-merah-putih-kpk #jakarta-selatan #pemilu-2019 #kpk-setyo #agustiani-tio #wahyu-setiawan #borgol #dpr #ketua-kpk-setyo-b

Rompi oranye khas tahanan KPK 'membalut' tubuh Hasto Kristiyanto usai dirinya menjalani pemeriksaan. Borgol pun mengalungi erat tangan Sekretaris Jenderal PDIP itu.
Hasto resmi menjadi tahanan KPK pada Rabu (18/10/2023). Penahanan ini terkait dengan dugaan suap dan upaya perintangan penyidikan dalam kasus buronan Harun Masiku.
Sebagaimana dilansir detikNews (baca selengkapnya di sini), Hasto digiring oleh petugas KPK didampingi tim pengacaranya. Dia tersenyum sambil mengepalkan tangan saat melangkah menuju ruang konferensi pers.
"Saya sudah siap lahir batin (jika langsung ditahan)," jawab Hasto saat ditanyai kesiapannya jika langsung ditahan KPK oleh wartawan di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (20/2) siang.
Hasto ditahan setelah menjalani pemeriksaan kedua sebagai tersangka. Dia akan menjalani penahanan di Rutan KPK untuk 20 hari pertama.
"Sejak awal saya katakan bahwa sebagai Sekjen PDIP saya dengan kepala tegak siap menerima konsekuensi apa pun bagi Indonesia Raya kita," ucap Hasto saat akan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.
![]() |
Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan duduk perkara kasus Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait perintangan penyidikan suap buron Harun Masiku. Hasto disebut memerintahkan Harun Masiku melarikan diri.
"Bahwa pada tanggal 8 Januari 2020 pada saat proses tangkap tangan KPK kepada para pihak, Saudara HK memerintahkan Nur Hasan, penjaga rumah aspirasi Jl. Sutan Syahrir No 12 A yang biasa digunakan sebagai kantor oleh Saudara HK untuk menelpon Harun Masiku supaya merendam HP-nya dalam air dan segera melarikan diri. Atas perbuatan tersebut, menyebabkan Harun Masiku tidak dapat ditangkap dan melarikan diri sampai dengan saat ini," tutur Setyo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (20/2/20215), mengutip dari detikNews (baca selengkapnya di sini).
Selain itu, Hasto juga diduga meminta salah satu ajudan untuk merendam ponselnya sebelum diperiksa oleh KPK pada Juni 2024. Dalam telepon genggam tersebut diduga ada hal berkaitan dengan kasus Harun Masiku.
"Bahwa pada tanggal 6 Juni 2024, sebelum Saudara HK diperiksa sebagai saksi oleh KPK, saudara HK memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan HP (handphone) yang dalam penguasaan saudara Kusnadi agar tidak ditemukan oleh KPK. Di mana terdapat substansi yang berkaitan dengan pelarian tersangka HM yang perkaranya saat ini sedang ditangani KPK," ujarnya.
![]() |
Sekadar diketahui, kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada tahun 2020. Saat itu, KPK menetapkan beberapa tersangka, termasuk Wahyu Setiawan, mantan Komisioner KPU RI, Agustiani Tio, orang kepercayaan Wahyu, dan Saeful, seorang pihak swasta. Harun Masiku, calon legislatif PDIP pada Pemilu 2019, juga ditetapkan sebagai tersangka.
Wahyu, Agustiani, dan Saeful telah menjalani proses hukum dan divonis bersalah. Wahyu terbukti menerima suap sekitar Rp 600 juta untuk mengupayakan Harun Masiku menjadi anggota DPR melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Ketiganya kini telah bebas, sementara Harun Masiku masih buron.
Pada akhir tahun 2024, KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka. Selain Hasto, KPK juga menetapkan seorang pengacara bernama Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka dalam kasus ini.
(gbr/bbn)

Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU TNI, RUU Polri dan RUU Kejaksaan
Koalisi sipil menilai reformasi lembaga hukum dan militer dilakukan bukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan memperkuat lembaga pengawas independen. [593] url asal
#koalisi-sipil #koalisi-masyarakat-sipil #politik #penindakan #ruu-polri #pemilu #koalisi-perempuan-indonesia #bem-si-kerakyatan #walhi #polri #tni #draf-ruu-polri #world-justice-project #uu-polri #alasan-koalisi-ma

Koalisi masyarakat sipil menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan. Koalisi sipil menilai reformasi lembaga hukum dan militer dilakukan bukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan memperkuat lembaga pengawas independen.
Hal itu disampaikan koalisi sipil yang terdiri atas PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute, dan BEM SI Kerakyatan. Pernyataan bersama koalisi sipil itu diawali dengan pemaparan data dari World Justice Project (WJP) yang meletakkan Indonesia pada urutan ke-68 untuk Indeks Rule of Law tahun 2024.
"Urutan ini menurun 2 poin dari tahun 2023 yang ada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin. Laporan ini menunjukkan, dari 8 dimensi rule of law, 6 di antaranya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, termasuk pada dimensi criminal justice," demikian pernyataan bersama koalisi sipil yang dikutip, Senin (17/2/2025).
Koalisi sipil menilai situasi tersebut tidak luput dari kondisi penegakan hukum di Indonesia. Mereka menyoroti beragam kasus belakangan ini yang menunjukkan kecenderungan kuat seharusnya lembaga penegak hukum memperbaiki diri.
Dari berbagai kasus yang meliputi sejumlah lembaga penegak hukum itu, koalisi sipil melihat tak ada indikasi perbaikan institusi. Sejumlah lembaga penegak hukum itu dinilai malah berlomba-lomba menambah kewenangannya yang dapat dilihat dari sejumlah draf RUU yang bergulir di DPR, yaitu RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan.
Draf RUU Polri sebelumnya mendapatkan kritik saat pembahasan di DPR lantaran mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Begitu pula draf RUU TNI yang beredar pada tahun lalu, kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum menuai kritik.
Selain itu, RUU Kejaksaan yang masuk Prolegnas dikritik oleh koalisi sipil. Revisi aturan tersebut justru dinilai diarahkan untuk memperluas kewenangan kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya.
Koalisi sipil meminta berbagai kondisi tersebut diperhatikan DPR dan para pengambil kebijakan. Mereka mempertanyakan keinginan lembaga tersebut untuk memperluas kewenangan di tengah situasi penegakan hukum yang membutuhkan perbaikan.
"Lembaga penegak hukum maupun militer dengan kewenangan yang ada sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan (RUU Polri, RUU Kejaksaan, RUU TNI), maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya," demikian pernyataan bersama koalisi sipil.
"Apalagi jika mereka disalahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia," sambung pernyataan tersebut.
Koalisi sipil menilai salah satu cara untuk memperbaiki kondisi penegakan hukum itu dengan memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi lembaga penegak hukum. Sebab, selama ini lembaga independen, seperti Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, hingga KPK, hanya memiliki kewenangan terbatas.
Atas dasar tersebut, koalisi sipil mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal, yaitu:
1. Mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.
2. Memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran. Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas eksternal ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumber daya yang cukup.
(knv/fjp)
Koalisi Sipil Kritik Wacana Penambahan Kewenangan TNI-Kejaksaan
Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik adanya penambahan kewenangan penegakn hukum dan TNI. [776] url asal
#koalisi-masyarakat-sipil #tni #polri #kejaksaan #draft-ruu-tni #kominfo #koalisi-perempuan-indonesia #walhi #ruu-kejaksaan #ruu #draft-ruu #pemilu #imparsial #prolegnas-2025 #pembahasan-ruu-polri #komisi-kejaksaan

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan penegak hukum dan TNI berdasarkan sejumlah draf RUU yang sudah dibahas di DPR. Koalisi sipil menilai perlunya ada pembenahan penegak hukum dan TNI, bukan penambahan kewenangan.
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan. Mereka menilai RUU tersebut mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Penegak hukum yang dimaksud adalah Polri dan Kejaksaan Agung.
"Dalam draf RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional. Kewenangan dan tugas ini sebenarnya telah ada di kementerian terkait (Kominfo), dan dilakukan ketika ada keputusan hukum atau permintaan penyidik bahwa sebuah situs telah melanggar hukum," kata Sekjen PBHI Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Minggu (9/2/2025).
Dalam draf RUU TNI yang beredar tahun lalu, katanya terdapat usulan pasal yang memperluas kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum. Pasal 8 huruf b dalam DIM RUU tersebut menyebutkan bahwa 'Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional'.
"Hal ini tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi dan raison de'etre TNI, tetapi dapat merusak sistem penegakan hukum (criminal justice system) di Indonesia. Draft RUU TNI itu juga ingin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan dalam draft tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI dan mengembalikan Dwifungsi ABRI," katanya.
Kemudian, mereka mencatat bahwa DPR juga memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025, dengan salah satu alasannya untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menganulir kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK. Bila mengacu pada RUU yang beredar saat ini, katanya, revisi tersebut justru diarahkan untuk memperluas kewenangan Kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya.
"Serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Salah satu yang sangat riskan, RUU Kejaksaan memperkuat imunitas jaksa yang dijustifikasi UU dengan dalih perlindungan kepada jaksa," katanya.
"Situasi-situasi sebagaimana disebutkan di atas, tentu seharusnya menjadi perhatian DPR dan para pengambil kebijakan. Harus diakui bahwa situasi penegakan hukum saat ini perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan. Namun, pertanyaannya di tengah kondisi yang demikian apakah pantas lembaga-lembaga tersebut meminta penambahan atau perluasan kewenangan?" tambahnya.
Lebih lanjut, mereka menilai lembaga penegak hukum sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi, katanya, jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya.
"Apalagi jika mereka di salahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi (good governance) dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi mereka. Selama ini lembaga independen yang ada (Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, dan lain-lain) hanya memiliki kewenangan terbatas, sehingga fungsi pengawasan tidak efektif dan akuntabilitas publik lemah," katanya.
Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal, yaitu:
1. Mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.
2. Memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran. Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup.
"Kami memandang bahwa Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat system pengawasan yang telah ada saat ini untuk menjadi fokus pembenahan penegakan hukum di Indonesia, baik pengawasan internal maupun eksternal," ujarnya.
"Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian RI, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan dll untuk membantu memastikan penegakan hukum menjadi lebih baik dibandingkan lembaga penegak hukum dan militer berlomba-lomba memperluas kewenangan. Reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen. Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUu Kejaksaan dan RUU TNI," tambahnya.
(azh/knv)
Koalisi Sipil: Penegak Hukum dan TNI Perlu Dibenahi, Bukan Ditambah Kewenangannya
Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik adanya penambahan kewenangan penegakn hukum dan TNI. [776] url asal
#koalisi-masyarakat-sipil #tni #polri #kejaksaan #draft-ruu-tni #kominfo #koalisi-perempuan-indonesia #walhi #ruu-kejaksaan #ruu #draft-ruu #pemilu #imparsial #prolegnas-2025 #pembahasan-ruu-polri #komisi-kejaksaan

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan penegak hukum dan TNI berdasarkan sejumlah draf RUU yang sudah dibahas di DPR. Koalisi sipil menilai perlunya ada pembenahan penegak hukum dan TNI, bukan penambahan kewenangan.
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan. Mereka menilai RUU tersebut mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Penegak hukum yang dimaksud adalah Polri dan Kejaksaan Agung.
"Dalam draf RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional. Kewenangan dan tugas ini sebenarnya telah ada di kementerian terkait (Kominfo), dan dilakukan ketika ada keputusan hukum atau permintaan penyidik bahwa sebuah situs telah melanggar hukum," kata Sekjen PBHI Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Minggu (9/2/2025).
Dalam draf RUU TNI yang beredar tahun lalu, katanya terdapat usulan pasal yang memperluas kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum. Pasal 8 huruf b dalam DIM RUU tersebut menyebutkan bahwa 'Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional'.
"Hal ini tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi dan raison de'etre TNI, tetapi dapat merusak sistem penegakan hukum (criminal justice system) di Indonesia. Draft RUU TNI itu juga ingin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan dalam draft tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI dan mengembalikan Dwifungsi ABRI," katanya.
Kemudian, mereka mencatat bahwa DPR juga memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025, dengan salah satu alasannya untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menganulir kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK. Bila mengacu pada RUU yang beredar saat ini, katanya, revisi tersebut justru diarahkan untuk memperluas kewenangan Kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya.
"Serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Salah satu yang sangat riskan, RUU Kejaksaan memperkuat imunitas jaksa yang dijustifikasi UU dengan dalih perlindungan kepada jaksa," katanya.
"Situasi-situasi sebagaimana disebutkan di atas, tentu seharusnya menjadi perhatian DPR dan para pengambil kebijakan. Harus diakui bahwa situasi penegakan hukum saat ini perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan. Namun, pertanyaannya di tengah kondisi yang demikian apakah pantas lembaga-lembaga tersebut meminta penambahan atau perluasan kewenangan?" tambahnya.
Lebih lanjut, mereka menilai lembaga penegak hukum sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi, katanya, jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya.
"Apalagi jika mereka di salahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi (good governance) dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi mereka. Selama ini lembaga independen yang ada (Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, dan lain-lain) hanya memiliki kewenangan terbatas, sehingga fungsi pengawasan tidak efektif dan akuntabilitas publik lemah," katanya.
Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal, yaitu:
1. Mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.
2. Memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran. Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup.
"Kami memandang bahwa Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat system pengawasan yang telah ada saat ini untuk menjadi fokus pembenahan penegakan hukum di Indonesia, baik pengawasan internal maupun eksternal," ujarnya.
"Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian RI, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan dll untuk membantu memastikan penegakan hukum menjadi lebih baik dibandingkan lembaga penegak hukum dan militer berlomba-lomba memperluas kewenangan. Reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen. Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUu Kejaksaan dan RUU TNI," tambahnya.
(azh/knv)
Perludem Usul Pemerintah-DPR Bikin Kitab UU Hukum Pemilu
Perludem mengusulkan agar pemerintah dan DPR membuat kodifikasi atau himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang mengenai pemilu. [272] url asal
#pemangku #hukum-pemilu #politik #dewan-pembina-perkumpulan-untuk-pemilu-dan-demokrasi #aturan-pemilu #pemilihan #hubungan #uu-pilkada #dpr #pilpres #partai #pemerintah-dpr #titi-anggraini #indonesia
(CNN Indonesia) 26/01/25 17:40
v/61824/

Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengusulkan agar pemerintah dan DPR membuat kodifikasi atau himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang mengenai pemilu.
Menurut Titi, kodifikasi itu bisa mencakup sejumlah aturan tentang pemilu dan pilkada yang saat ini terpisah dalam sejumlah undang-undang.
"Saya mendorong kodifikasi, yaitu materi muatan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang yang sama," kata Titi dalam diskusi daring, Minggu (26/1).
Menurut dia, usulan itu perlu dipertimbangkan agar Indonesia memiliki dasar hukum yang sederhana dan terintegrasi terkait penyelenggaraan demokrasi yang efektif.
Nantinya, kata Titi, kodifikasi itu bisa berbentuk UU Kitab Hukum Pemilu yang diatur secara sistematis, seperti buku, bab, bagian, dan paragraf, sehingga lebih mudah dipahami dan diterapkan para pemangku kepentingan. Termasuk penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat.
"Namanya bisa saja misalnya Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pemilihan Umum atau seperti Undang-Undang 7 2017, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang materi muatannya dikelompokkan menjadi buku bab bagian dan paragraf," katanya.
Selama ini, aturan mengenai pemilu terpisah dalam sejumlah undang-undang. Ada Pileg dan Pilpres yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Lalu ada UU Pilkada yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, hingga UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Saat ini, DPR saat ini tengah membuka rumusan untuk menyatukan sejumlah UU tersebut dalam omnibus law UU Politik Pembahasan itu belum secara resmi dimulai, tapi DPR mulai serius untuk memulai pembahasan usulan tersebut.
Omnibus law politik yang tengah dirumuskan DPR memiliki cakupan lebih luas, mencakup aturan pemilu, pilkada, partai politik, dan hubungan eksekutif-legislatif.
Sedangkan usulan kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada ala Perludem hanya fokus pada aturan teknis pemilu.

Dipecat DKPP, 3 Komisioner KPU Palopo Kini Tunggu SK untuk Kaji Upaya Hukum
Tiga komisioner KPU Palopo menunggu SK pemberhentian setelah dipecat DKPP terkait kasus ijazah palsu cawalkot Trisal Tahir. Upaya hukum akan dikaji. [422] url asal
#kpu-palopo #komisioner-kpu-palopo-dipecat #dkpp #ijazah-palsu #trisal-tahir #pilkada-palopo #politik-sulsel #kode-etik-penyelenggaraan-pemilu #pelanggaran #anggota-kpu-palopo-abbas #komisioner-kpu-palopo #imbas

Tiga komisioner KPU Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel), kini menunggu SK pemberhentian dari KPU RI setelah dipecat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) imbas kasus ijazah palsu cawalkot Trisal Tahir. Mereka akan mengkaji upaya hukum lebih lanjut setelah menerima SK pemecatan tersebut.
"Kami menunggu SK pemberhentian dari KPU RI," kata Ketua KPU Palopo Irwandi Djumadin kepada detikSulsel, Minggu (26/1/2025).
Irwandi mengatakan pihaknya sejauh ini belum mengetahui upaya hukum apa yang akan dilakukan. Namun, dia memastikan pihaknya akan melakukan kajian setelah SK pemberhentian resmi diterima dari KPU RI.
"Itu yang akan kami diskusikan setelah SK pemberhentian dari KPU RI kami terima, apakah ada upaya hukum lain atau tidak," bebernya.
Di sisi lain, Irwandi mengatakan bahwa keputusan DKPP sebenarnya bersifat final. KPU RI wajib menindaklanjuti keputusan tersebut.
"Setahu saya keputusan DKPP bersifat final dan mengikat. Artinya KPU RI harus menindaklanjuti keputusan tersebut," imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, DKPP menjatuhkan putusan memecat 3 komisioner KPU Palopo. Ketiga komisioner tersebut dinilai terbukti melakukan pelanggaran kode etik dalam pemberian status memenuhi syarat (MS) calon wali kota Trisal Tahir.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo pada Jumat (24/1). Pembacaan keputusan dilakukan dalam Sidang Pembacaan Putusan Perkara Dugaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu (KEPP) yang disiarkan langsung di YouTube DKPP RI.
"Teradu 1, teradu 2, teradu 3 dalam perkara nomor 287-PKE-DKPP/XII/2024 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu," ujar Ratna Dewi Pettalolo.
Putusan tersebut merupakan hasil dari rapat pleno internal DKPP dengan menimbang semua bukti yang ada. Adapun 3 komisioner KPU Palopo yang diberhentikan yakni Ketua KPU Palopo Irwandi Djumadin serta dua Anggota KPU Palopo Abbas dan Muhatzir Muhammad Hamid.
(asm/hmw)
Perludem minta UU Pemilu-Pilkada diganti dengan UU Kitab Hukum Pemilu
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta agar Undang-Undang (UU) tentang Pemilu dan UU tentang Pilkada diintegrasikan ... [337] url asal
#perludem #uu-pemilu #uu-pilkada #kitab-hukum-pemilu #ruu-pemilu
"Saya mendorong kodifikasi, yaitu materi muatan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang yang sama,"
Jakarta (ANTARA) - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta agar Undang-Undang (UU) tentang Pemilu dan UU tentang Pilkada diintegrasikan dan diusulkan menjadi UU tentang Kitab Hukum Pemilu.
Secara filosofis dan yuridis, menurutnya, kemendesakan untuk mencabut dan mengganti UU Pemilu dan Pilkada itu sudah terpenuhi. Pasalnya, kata dia, ada berbagai hal aturan yang tumpang tindih dan berbeda antara kedua UU tersebut walaupun diselenggarakan oleh penyelenggara yang sama.
"Saya mendorong kodifikasi, yaitu materi muatan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang yang sama," kata Titi dalam diskusi secara daring yang disaksikan di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, kedua UU yang tak diubah dalam jangka waktu yang lama tersebut perlu segera direvisi karena masyarakat akhirnya memindahkan advokasi dari ruang sidang di parlemen menjadi advokasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia pun mengatakan bahwa UU tersebut sudah ratusan kali dilakukan uji materi di MK, karena kondisi tersebut menyebabkan ada kebuntuan hukum yang terjadi.
Dia menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan signifikan yang diatur di dalam dua UU tersebut. Di antaranya soal penegakan hukum politik uang, dan soal dasar hukum Sentra Gakkumdu yang berbeda.
Contohnya, dia menjelaskan bahwa di UU Pilkada, pihak yang memberi dan menerima sama-sama merupakan sebuah tindak pidana. Sedangkan di UU Pemilu, hanya pihak yang memberi saja yang bisa diproses hukum.
"Dan tahapannya terbatas hanya pada tahap kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan masa tenang. Sementara di UU Pilkada, setiap tahapan bisa dijerat dengan politik uang dalam Pasal 187A UU 10/2016," kata dia.
Di sisi lain, dia mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah masuk ke dalam kondisi pasca periode elektoral. Dalam studi tata kelola pemilu, menurutnya kondisi tersebut adalah waktu yang tepat untuk melakukan kajian, audit, hingga evaluasi atas penyelenggaraan pemilu yang sudah selesai.
"RUU Pemilu kerap disebut sebagai arena pertarungan soal hidup dan matinya partai politik sebagai peserta pemilu," katanya.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025

Trump Presiden AS yang Paling Banyak Dijerat Kasus Hukum, Apa Saja?
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi kepala negara AS yang paling banyak dijerat skandal hukum. [1,105] url asal
#status-trump #hasil-pemilu #aileen-cannon #departemen-kehakiman #trump #tanya-chutkan #serikat #presiden-amerika-serikat-donald-trump #walt-nauta #cnn #jack-smith #pemilu #pemilu-2020 #pengesahan #dew
(CNN Indonesia) 21/01/25 09:40
v/57311/

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi kepala negara AS yang paling banyak dijerat kasus hukum.
Setidaknya ada empat kasus kriminal yang dihadapi Trump, baik di tingkat negara bagian maupun federal.
Berikut ringkasan kasus yang menjerat Trump.
Trump didakwa pada 8 Juni 2023 oleh dewan juri federal di Miami atas tuduhan mengambil dokumen rahasia pertahanan nasional dari Gedung Putih setelah dia lengser dari jabatan pada Januari 2021, dikutip dari CNN.
Trump dan ajudannya Walt Nauta didakwa karena membawa dan menyembunyikan dokumen penting tersebut, serta tak mau menyerahkannya saat diminta oleh pemerintah.
Penasihat khusus Departemen Kehakiman (DoJ) Jack Smith kemudian mendakwa Trump sebulan kemudian dengan sejumlah tuduhan baru, yang salah satunya terkait konspirasi menghalang-halangi proses hukum.
Trump mengaku tak bersalah atas semua tuduhan tersebut.
Pada 15 Juli 2024, Hakim Pengadilan Distrik AS Aileen Cannon menolak melanjutkan kasus ini dengan menyatakan bahwa pengangkatan Smith sebagai penasihat khusus melanggar konstitusi.
Smith mengajukan banding atas keputusan Hakim Cannon pada akhir Agustus dengan menyebut hakim telah melakukan kesalahan dalam menolak kasus karena pengangkatan dirinya sah. Namun, pada 25 November 2024, Smith akhirnya mengumumkan bahwa dirinya membatalkan kasus ini.
"Posisi Departemen Kehakiman adalah bahwa Konstitusi mengharuskan kasus ini dibatalkan sebelum terdakwa dilantik," tulis Smith dalam berkas enam halaman kepada Hakim Pengadilan Distrik AS Tanya Chutkan, dikutip dari CNN.
Trump didakwa pada 1 Agustus 2023 oleh penasihat khusus Jack Smith atas tuduhan berkonspirasi untuk membatalkan kekalahannya dalam pemilu 2020 dari Joe Biden.
Jaksa federal menuduh Trump menekan para pejabat untuk mengubah hasil pemilu, menyebarkan kebohongan mengenai kecurangan pemilu, hingga mengeksploitasi kerusuhan di Capitol pada 6 Januari 2021 guna menunda pengesahan kemenangan Biden.
Sidang awalnya dijadwalkan pada 4 Maret 2024. Namun, ditunda seiring dengan Trump yang mengajukan banding atas keputusan mengenai klaim kekebalannya.
Pada 1 Juli 2024, Mahkamah Agung AS mengeluarkan putusan yang menyatakan Trump memiliki kekebalan hukum atas tindakan yang dia lakukan selama masa jabatannya.
Jaksa pun merevisi tuduhannya pada 27 Agustus 2024 guna menghormati putusan MA. Dakwaan yang direvisi itu menyebut status Trump saat itu ialah kandidat, bukan presiden yang sedang menjabat.
Kendati begitu, pada 25 November 2024, Jack Smith menyatakan dirinya membatalkan kasus subversi pemilu serta kasus dokumen rahasia terhadap Trump.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Pada 30 Maret 2023, Trump didakwa oleh Jaksa Distrik Manhattan Alvin L. Bragg atas tuduhan pemalsuan catatan bisnis. Pemalsuan catatan itu terkait suap yang dilakukan Trump terhadap bintang film dewasa, Stormy Daniels, sebelum pemilihan umum 2016.
Trump diduga menyuap Daniels sebesar 130.000 dolar (sekitar Rp2,1 miliar) untuk tutup mulut mengenai klaim Daniels soal hubungan seksualnya dengan Trump pada 2006.
Uang suap itu sendiri diberikan oleh pengacara Trump, Michael Cohen. Trump kemudian mengganti uang Cohen melalui perusahaannya, Trump Organization, dan membuat pembukuan palsu untuk menutupinya.
Pada 30 Mei 2024, Trump dinyatakan bersalah oleh 12 juri atas 34 tuduhan pemalsuan catatan bisnis tingkat pertama.
Setelah MA memutuskan soal kekebalan Trump pada Juli 2024, pengacara Trump meminta hakim menunda hukuman, yang kemudian dikabulkan, serta mendesak hakim membatalkan putusan juri dan menutup kasus tersebut.
Pada 22 November, Hakim Juan Merchan menunda vonis Trump tanpa batas waktu dan mengabulkan permintaan Trump untuk mengajukan mosi guna membatalkan kasus itu.
Pada 3 Januari 2025, Merchan menolak upaya Trump untuk membatalkan putusan juri karena ia terpilih kembali sebagai Presiden AS pada November. Merchan tetap menyatakan Trump bersalah pada 10 Januari, namun sang Presiden tak perlu menjalani masa penjara, denda, maupun hukuman lainnya.
Trump dijatuhi vonis bebas tanpa syarat karena konstitusi AS melindungi presiden dari tuntutan pidana.
Trump didakwa oleh Jaksa Distrik Fulton County Fani Willis pada 14 Agustus 2023 atas tuduhan berkonspirasi untuk membatalkan kekalahannya yang tipis dalam pemilu 2020 di negara bagian Georgia.
Salah satu dugaan tindakan Trump atas kasus ini yaitu menelepon Menteri Luar Negeri Georgia Brad Raffensperger untuk mencari elektor yang bisa memenangkan suara untuknya.
Trump juga diduga mengirim surat kepada Raffensperger pada September 2021 untuk mendesaknya mencabut pengesahan hasil pemilu di negara bagian tersebut.
Pada Januari 2024, Trump berupaya mendapatkan kekebalan presiden dan meminta pengadilan Georgia membatalkan dakwaan dalam mosi yang dia ajukan.
Di bulan yang sama, Michael Roman, salah satu terdakwa, juga mengajukan mosi yang menuduh Willis memiliki hubungan romantis dengan Nathan Wade, jaksa penuntut utama kasus tersebut.
Pada Februari, Willis mengakui memiliki hubungan pribadi dengan Wade, namun menurutnya tak ada alasan untuk mengeluarkan dia dari kasus tersebut.
Wade pada kesempatannya menanggapi klaim soal konflik kepentingan dengan mengatakan tak ada uang yang ia peroleh dari pekerjaan tersebut yang kemudian dibagikan kepada Willis.
Pada 13 Maret 2024, Hakim Pengadilan Tinggi Fulton County Scott McAfee membatalkan enam dari 41 dakwaan terhadap Trump dan terdakwa lainnya, sehingga dakwaan yang dihadapi Trump berkurang menjadi 10.
McAfee juga menyatakan Willis dan kantornya hanya bisa melanjutkan kasus ini jika Wade mengundurkan diri. Tak lama setelah itu, Wade mundur dari posisi jaksa penuntut.
Trump dan para terdakwa lain kemudian mengajukan banding atas keputusan McAfee sehingga kasus ini diserahkan ke Pengadilan Banding Georgia.
Pada 5 Juni, pengadilan banding Georgia menghentikan kasus Trump dan beberapa terdakwa sampai hakim memutuskan apakah Willis dapat terus melanjutkan kasus terhadap mereka.
Pada 12 September, beberapa tuduhan terhadap Trump dibatalkan oleh hakim.
Seorang kolumnis majalah Elle bernama E. Jean Carroll menggugat Trump atas tuduhan pemerkosaan pada akhir 1995 atau awal tahun 1996.
Pemerkosaan itu terjadi di ruang ganti department store Bergdorf Goodman di Manhattan ketika Carroll secara tak sengaja bertemu Trump. Keduanya kemudian berbelanja bersama dan membeli hadiah pakaian dalam perempuan hingga berujung saling menggoda untuk mencoba pakaian tersebut.
Menurut kesaksian Carroll dalam memoarnya tahun 2019, ia dan Trump berakhir berduaan di ruang ganti toko. Trump kemudian mendorongnya ke dinding dan memperkosanya. Carroll yang tak terima, melawan dan melarikan diri dari Trump.
Trump telah membantah tuduhan perkosaan ini dengan menyatakan Carroll "orang gila" dan "sakit mental". Ia menyebut Carroll mengarang cerita tersebut demi mendongkrak penjualan bukunya.
Gugatan Carroll sendiri berisi dua tuduhan utama. Pertama, tuduhan pemerkosaan. Kedua, tuduhan pencemaran nama baik.
Carroll menggugat Trump atas tuduhan pencemaran nama baik karena pernyataan sang Presiden kala menyangkal tuduhan pemerkosaan tersebut.
Pada 2023, juri New York memberikan Carroll ganti rugi sebesar 5 juta dolar atau sekitar Rp81 miliar setelah memutuskan Trump bertanggung jawab atas pelecehan seksual terhadapnya dan atas pencemaran nama baik terhadap Carroll.
Tahun lalu, juri lain juga memerintahkan Trump membayar ganti rugi tambahan sebesar 83 juta dolar atau sekitar Rp1,3 triliun atas pernyataan Trump yang memfitnah Carroll.
Trump mengajukan banding mengenai putusan juri ini. Pengadilan banding federal pada akhir Desember lalu menguatkan putusan juri yang menyatakan Trump telah melakukan pelecehan seksual terhadap Carroll.
Pada Selasa (14/1), pengacara Trump kembali meminta pengadilan banding federal mempertimbangkan kembali pembatalan putusan juri. Kuasa hukum Trump meminta sidang en banc, di mana ini menjadi pilihan banding terakhir Trump sebelum ia mengajukannya ke Mahkamah Agung.