Muhammad Makmun Rasyid Pengurus Badan Penanggulangan Ekstremisme dan TerorismeMUI Pusat
SETIAP tahun, Ramadan menjadi bulan suci yang penuh berkah bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun, bagi kelompok teroris, bulan ini justru dipandang sebagai momen strategis untuk melancarkan serangan. Momentum Syaban-Ramadan sering kali dianggap sebagai waktu ideal untuk berjihad karena diyakini membawa pahala berlipat ganda.
Kasus terbaru di Bannu, Pakistan, pada 5 Maret 2025, adalah bukti nyata. Serangan bom bunuh diri menewaskan 18 orang, mempertegas pola serupa yang berulang di tahun-tahun sebelumnya. Mengapa aksi terorisme selalu meningkat setiap Ramadan?
Rasionalitas Palsu Fenomena ini bukanlah kebetulan. Abdullah Azzam, ideolog yang menjadi inspirasi kelompok seperti Al-Qaeda dan ISIS, dalam magnum opus-nya, Al-Tarbiyah Al-Jihadiyah fi Al-Bina (1990), menegaskan bahwa amal baik di bulan Ramadan diyakini bernilai lebih tinggi. Dengan logika yang menyimpang, kelompok teroris meyakini bahwa aksi kekerasan merupakan ibadah utama. Bahkan, Azzam pernah menyatakan bahwa satu jam di medan perang lebih baik daripada 60 tahun ibadah.
Keyakinan ini tidak hanya berlaku di bulan Ramadan, tetapi juga di Syaban?periode yang mereka anggap sebagai waktu persiapan jihad. Pandangan ini semakin mengukuhkan alasan mengapa serangan teroris kerap terjadi dalam rentang waktu ini.
Di Indonesia, pola serupa juga terlihat. Propaganda jihad Syaban-Ramadan terus menjadi ancaman. Kelompok teroris memanfaatkan momentum ini untuk merekrut anggota baru dan mencuci otak mereka dengan janji pahala besar. Padahal, tindakan mereka justru melanggar ajaran Islam yang mengutamakan kedamaian.
Ancaman terorisme pun tidak selalu hadir dalam bentuk bom atau aksi kelompok radikal. Di Makassar, Sulawesi Selatan, dalam empat hari pertama Ramadan 2025, terjadi tiga serangan dengan busur panah di beberapa lokasi, termasuk Panakkukang dan Tamalanrea. Seorang anggota kepolisian turut menjadi korban.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekerasan yang menciptakan ketakutan di masyarakat tidak selalu bermotif ideologis. Bisa jadi, ini adalah bentuk kejahatan jalanan yang semakin brutal. Jika tidak dicegah, tren ini dapat berkembang menjadi ancaman yang lebih luas. Tanpa strategi pencegahan yang efektif, Ramadan, yang seharusnya menjadi bulan penuh kedamaian, justru berubah menjadi bulan ketakutan.
Generalisasi Musuh Pola pikir ekstremis tidak hanya terlihat dalam aksi-aksi terorisme saat Ramadan, tetapi juga dalam cara mereka menggeneralisasi musuh. Mahmud Al-Harabi dalam kitabnya
Maus�?ah al-Firaq wa al-Maz�hib wa al-Ady�n al-Mu?�shirah memuat cuplikan seruan Al-Qaeda pada 1998 yang menyatakan bahwa
"setiap kaum Muslimin hukumnya wajib untuk membunuh orang Amerika Serikat, termasuk sipil, militer, hingga sekutunya di mana pun mereka berada." Pernyataan ini mencerminkan logika yang tidak hanya hitam-putih, tetapi juga menciptakan kewajiban mutlak bagi para pengikutnya untuk melakukan kekerasan tanpa batas waktu dan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Fenomena ini juga terlihat dalam perkembangan Islamisme politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Kemunculan kelompok yang mengusung ?Islam Syariat? dengan pendekatan yang serba halal-haram menunjukkan bagaimana Islam dikonstruksikan hanya sebagai hukum positif yang harus diwujudkan dalam institusi negara.
Dalam konteks ini, negara tidak lagi dipandang sebagai ruang keberagaman, tetapi sebagai instrumen untuk menegakkan hukum syariat secara paksa. Konsekuensinya, model negara yang mereka usung cenderung bersifat teokratis dan otoriter, sebagaimana yang terlihat dalam pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Dengan pola pikir seperti ini, ekstremisme tidak hanya melahirkan kekerasan fisik, tetapi juga pemaksaan tafsir tertentu atas Islam yang menutup ruang bagi perbedaan pandangan. Ini mengingatkan kita pada logika ?menepuk semua nyamuk?, di mana siapa pun yang tidak sepaham dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Paradigma yang Menyimpang Pandangan jihad yang dikembangkan kelompok teroris berseberangan dengan perjalanan hidup Nabi Muhammad. Dalam periode awal di Makkah, hubungan antara Muslim dan komunitas Yahudi serta Nasrani tidak selalu bersifat konfrontatif. Bahkan, sebagian orang Yahudi mengakui kenabian Muhammad, sementara yang lain memilih hidup berdampingan.
Ketika hijrah ke Madinah, Nabi tidak serta-merta memerangi komunitas Yahudi dan Nasrani, melainkan membangun kerja sama dalam politik, hukum, dan ekonomi. Piagam Madinah menjadi bukti bahwa Islam tidak mengajarkan permusuhan tanpa sebab, tetapi justru menekankan prinsip hidup berdampingan.
Dalam aspek teologis, Islam juga menegaskan kebebasan beragama, sebagaimana termaktub dalam firman Allah:
?Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu.? Sejarah mencatat bahwa pertentangan antara Muslim dan komunitas Yahudi-Nasrani lebih banyak dipicu oleh faktor politik dan ekonomi, bukan semata-mata persoalan agama.
Dengan demikian, klaim jihad yang diusung kelompok teroris tidak hanya bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi juga dengan sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Jihad bukan sekadar perang, tetapi perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Jika narasi jihad terus dipelintir untuk membenarkan kekerasan, maka kita perlu bertanya: apakah kita masih membiarkan logika generalisasi musuh merajalela?
(poe)