Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) RI Edward Omar Sharif Hieriej menerima gelar adat "Matua Matakau Amano Lopurisa Uritalai” dari Raja Negeri Rutong, ... [278] url asal
Ambon (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) RI Edward Omar Sharif Hieriej menerima gelar adat "Matua Matakau Amano Lopurisa Uritalai” dari Raja Negeri Rutong, Raza Valdo Maspaitella.
Pengukuhan gelar adat kepada Wamenkum RI dilakukan di Baileo Somalopu Maririwai Negeri Rutong, di Ambon, Selasa.
“Ini suatu kebanggaan bagi saya hari ini dan tidak akan terlupakan dalam sejarah hidup, diberi gelar yang sangat istimewa oleh Raja Negeri Rutong Matua Matakau Amano Lopurisa Uritalai, yang berarti tokoh yang berwibawa dan pemberani, dalam menjaga hukum adat serta melindungi masyarakat di wilayah hukum adat,” katanya.
Ia mengatakan gelar adat ini menunjukkan seseorang yang memiliki kedudukan penting dalam hukum adat, dihormati karena kebijaksanaannya, serta bertanggung jawab dalam menjaga nilai-nilai adat dan kesejahteraan masyarakat di wilayah Lopurisa Uritalai.
Hal Ini merupakan tanggung jawab besar dan suatu kehormatan yang luar biasa dari masyarakat Negeri Rutong.
“Gelar ini tentu adalah suatu amanah yang harus saya lakukan, khususnya untuk pembangunan masyarakat Negeri Rutong, tetapi lebih umumnya kepada pembangunan bangsa secara keseluruhan,” katanya.
Ia menyatakan gelar adat yang diberikan merupakan tanggung jawab yang besar untuk bersama-sama membangun Indonesia, yang berawal dari Negeri Rutong, negeri kecil yang sederhana tetapi mempunyai prestasi yang luar biasa.
“Banyak penghargaan yang telah diterima Negeri Rutong dan menjadi kebanggaan bagi kita semua untuk tetap mempertahankan kerukunan dalam menunjukkan bahwa kita saling menghargai dan toleransi antarsesama,” katanya.
Raja Rutong Reza Valdo Maspaitella berharap dengan pemberian gelar adat itu Wamenkum dapat menindaklanjuti harapan masyarakat adat untuk mensinkronisasi hukum positif dan hukum adat, sehingga bisa bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat baik di Negeri Rutong maupun seluruh negeri adat di Maluku.
Media sosial digunakan untuk berbagi momen. Saat ini banyak juga yang membagikan momen ibadah ke medsos termasuk siaran langsung salat. Bagaimana hukumnya? [25] url asal
Jakarta - Media sosial digunakan untuk berbagi momen. Saat ini banyak juga yang membagikan momen ibadah ke medsos termasuk siaran langsung salat. Bagaimana hukumnya? (nkm/nkm)
Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak dibolehkan menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi. Apalagi jika kendaraan dinas itu dipakai untuk mudik ke kampung halaman saat lebaran.
Menteri Agama Nasaruddin Umar meminta para pejabat, khususnya di lingkungan Kementerian Agama, agar tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Menurutnya, kalau mau mudik gunakan kendaraan pribadi.
"Menjelang momentum Lebaran, saya mengimbau kepada pejabat untuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Kalau pulang kampung, gunakan kendaraan pribadi saja," ujarnya seperti dikutip Antara.
"Selama 12 tahun menjadi pejabat di Kementerian Agama, termasuk sebagai Dirjen dan Wamen, saya selalu berhati-hati dalam menggunakan fasilitas negara, seperti tidak menggunakan mobil dinas untuk keperluan pribadi, termasuk membawa keluarga atau saudara," ujarnya.
Menag mencontohkan kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mematikan lampu di kantornya ketika anaknya datang ke kantor membawa urusan pribadi. Karena menurut Umar bin Abdul Aziz, lampu itu dibiayai oleh negara dan ia tidak ingin menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Sementara itu, penggunaan kendaraan dinas diatur dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor: PER/87/M.PAN/8/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Peningkatan Efisiensi, Penghematan, dan Disiplin Kerja.
Peraturan itu menentukan penggunaan kendaraan dinas operasional dalam tiga ketentuan. Berikut ketentuan penggunaan kendaraan dinas aparatur negara:
a. Kendaraan Dinas Operasional hanya digunakan untuk kepentingan dinas yang menunjang tugas pokok dan fungsi, b. Kendaraan Dinas Operasional dibatasi penggunaannya pada hari kerja kantor, c. Kendaraan Dinas Operasional hanya digunakan di dalam kota, dan pengecualian penggunaan ke luar kota atas izin tertulis pimpinan Instansi Pemerintah atau pejabat yang ditugaskan sesuai kompetensinya.
Artinya, kendaraan dinas tidak bisa digunakan untuk kepentingan pribadi ASN, apalagi untuk digunakan mudik ke kampung halaman.
Gubernur Jakarta Pramono Anung juga melarang ASN Pemprov DKI Jakarta menggunakan kendaraan dinas untuk mudik. Jika melanggar, akan ada sanksi yang menanti.
"Saya dan Pak Wagub (Rano Karno) serta Pak Sekda (Marullah Matali) sudah memutuskan bagi pejabat ataupun aparat yang ada di DKI Jakarta, ASN terutama, yang mudik lebaran maka dilarang menggunakan mobil dinas," kata Pramono dikutip detikNews.
"Tidak diperbolehkan sama sekali. Pokoknya bagi siapa pun ASN tidak boleh menggunakan mobil dinas untuk pulang kampung berlebaran," tambahnya menegaskan.
"Kalau ada yang melakukan pasti akan kami beri sanksi, sanksinya apa nanti kami rumuskan," ujarnya.
Pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang baru mulai menghangat di daerah. Para pakar hingga akademisi bersuara terkait RUU KUHAP tersebut.
Di Kabupaten Sumedang para pakar berdiskusi mengenai RUU KUHAP ini. Diskusi dengan tema Aspek Krusial dalam RKUHAP: Perubahan, Dampak dan Implementasi, di Sumedang kali ini dibahas langsung oleh beberapa pakar yang di antaranya Asoc. Prof. Dr. Andika Dutha Bachari, S.Pd., S.H., M.Hum.CCD selaku Pakar Linguistik Hukum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), serta Dr. Somawijaya, SH., MH dari Pakar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad).
Pembahasan sendiri dimulai dari Asoc. Prof. Dr. Andika Dutha Bachari. Andika menyampaikan RKUHAP ini harus dikawal oleh masyarakat. Sebab, ia menilai salah satu isi dalam RKUHAP berkaitan dengan kekuasaan tunggal pada level peradilan di Republik Indonesia.
"Ini sangat penting dan yang harus kita kawal itu kita harus menolak segala bentuk agenda yang ingin memposisikan salah satu sistem peradilan kita itu menjadi superior. Menjadi faktor determinasi yang menentukan di level peradilan," ujar Andika dalam seminar yang digagas Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumedang, pada Kamis (6/3/2025).
Tak hanya itu, Andika pun juga menganggap bahwa jika kekuasaan tunggal ditempatkan secara menonjol dalam sub sistem peradilan dapat mengancam demokrasi di Tanah Air.
"Kalau sampai ada salah satu sub sistem yang ditempatkan menonjol ini selain mengganggu disharmonisasi di antara sub sistem dalam peradilan kita ini akan mengancam demokrasi kita sebagai negara mengklaim negara hukum," ungkapnya.
"Semua masyarakat wajib untuk mengawal RKUHAP ini betul-betul tidak menjadi agenda terselubung bagi pihak-pihak yang ingin menempatkan salah satu subsistem dalam peradilan pidana kita menjadi faktor yang determinasi," sambungnya.
Sementara itu, pemateri kedua dalam pembahasan ini yakni Dr. Somawijaya, SH., MH. Somawijaya juga beranggapan bahwa RKUHAP ini perlu dikawal oleh berbagai elemen masyarakat. Sebab, dalam isi RKUHAP terdapat pembatasan kepentingan seperti kewenangan dari APH.
"Ini salah satu ikhtiar kepedulian dari masyarakat ini sangat penting bahwa rancangan KUHAP ada beberapa hal yang perlu kita kawal, meskipun itu secara norma sudah betul tapi kan dalam ini kan perlu ada beberapa hal yang dibatasi dalam beberapa kepentingan, termasuk kewenangan-kewenangan dari APH baik itu dari kepolisian, kejaksaan, sampai dengan hakim," kata Somawijaya.
"Meskipun ada beberapa hal yang baru tentu harus diimbangi dengan ketat dan harus ada pengawas. Harus ada pengawas itu menjadi kata kunci. Jadi intinya kalau meskipun rancangan KUHAP ini memang memberikan suatu kemajuan terutama perlindungan pada hak asasi," pungkasnya.
Pakar hukum Unhas, Prof Farida, menanggapi eksekusi lahan bersertifikat di Makassar. Dia menyoroti pentingnya verifikasi sertifikat untuk mencegah sengketa. [1,019] url asal
Pakar Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Farida Patittingi merespons viral sejumlah eksekusi lahan yang memiliki sertifikat hak milik (SHM). Salah satunya ruko di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang baru-baru ini dieksekusi usai sengketa berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Secara umum, Farida menjelaskan bahwa rincik memang merupakan salah satu bukti kepemilikan lahan. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
"Dalam penjelasannya diatur beberapa alat bukti atau alas hak pembuktian hak lama yang bisa dijadikan untuk melakukan pendaftaran tanah. Termasuk tadi, rincik, tapi yang sebelum tahun 1960, itu diakui sebagai bukti kepemilikan," kata Farida kepada wartawan usai menghadiri forum group discussion (FGD) di Jalan Nusantara, Selasa (18/2/2025).
Menurutnya, penggunaan rincik sebagai alas hak adalah hal wajar. Pasalnya, pembuktian kepemilikan lahan masyarakat sejak dahulu menggunakan hukum adat.
"Masyarakat hukum adat yang memang lebih banyak pembuktian atas hak tanah itu pada penguasaan fisik, bukti dia ada di situ terus menerus, turun temurun dan masyarakat mengakui kepemilikannya satu sama lain," katanya.
"Dulu kan sistem hukum kita berdasarkan hukum adat, hak ulayat. Jadi hak ulayat itu hak bersama dalam hukum adat kemudian bertumbuh atau lahir hak-hak bersifat individual. Biasanya disebut tanah bekas milik adat," sambung Farida.
Belakangan, kata dia, sengketa juga disebabkan karena adanya sertifikat lebih dari satu dalam satu bidang tanah. Dia menduga hal ini disebabkan karena pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki sistem publikasi negatif.
"Sistem pendaftaran tanah kita menganut sistem publikasi negatif. Sistem publikasi negatif itu, kantor pertanahan dia bersifat pasif, jadi tidak melakukan verifikasi secara materiil atau keyakinan data yang diajukan pemohon. (Jika) Itu adalah data yang benar sepanjang secara administratif bukti-bukti itu bisa menunjukkan bahwa itu benar secara administratif. Hukum administrasinya benar," katanya.
Menurutnya, BPN harus memiliki sistem yang dapat mendeteksi sertifikat ganda atau lebih dari satu. Namun, kenyataannya saat ini celah ini dimanfaatkan pihak tertentu untuk menguasai suatu lahan.
"Seharusnya BPN memiliki sistem yang terbangun untuk dapat memverifikasi bukti yang diajukan karena kadang-kadang double tapi biasa hasil penelitian menunjukkan kadang satu bidang tanah muncul lebih dari satu sertifikat karena lain lagi yang mengajukan, beda dengan yang pertama. Kalau ada yang merasa berhak dia lagi diberikan," kata Farida.
Sementara soal adanya dugaan rincik palsu, dia mengaku hal itu merupakan ranah hukum yang berbeda. Sehingga harus pula dibuktikan secara hukum yang lain.
"Kalau palsu kan proses atau ranah hukum yang berbeda lagi kan. Jadi harus dibuktikan dulu kepalsuannya," jelasnya.
Meski demikian, dia mengaku tak bisa berkomentar lebih jauh soal klaim pihak bersengketa di ruko Jalan AP Pettarani yang menyebut rincik diduga palsu. Pasalnya, hal itu butuh pembuktian lebih lanjut.
"Kalau itu saya tidak bisa komentari karena masalah pembuktian karena masalah palsu dan tidak palsu harus dibuktikan," jelasnya.
Pakar Hukum UMI, Prof Laode Husein juga menanggapi penggusuran Gedung Hamrawati itu merupakan langkah untuk mengakhiri proses sengketa. Pasalnya, sengketa itu telah memiliki kekuatan hukum tetap.
"Dasarnya adalah keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Semua bukti-bukti dan alas hak sudah diuji di pengadilan sampai pada tingkat kasasi. Putusan kasasi bahkan sampai pada upaya hukum luar biasa peninjauan kembali, itu sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Ketika sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yah harus dilaksanakan untuk mengakhiri sengketa ini," ujarnya.
Meski demikian, kata Husein, pihak yang kalah tetap masih bisa mengajukan langkah hukum Peninjauan Kembali (PK) jika ada bukti baru. Jika berhasil maka pengadilan akan melakukan pemulihan.
"Gunakanlah sarana hukum yang ada, kalau memang ada bukti hukum yang baru silakan gunakan untuk upaya hukum luar biasa yang kedua. Saya kira (eksekusi tidak terburu-buru) karena sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kalau toh nanti upaya hukum luar biasa berikutnya digunakan, ada pemulihan," pungkasnya.
PN Klaim Sudah Sesuai Prosedur
Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri (PN) Makassar Nawir mengklaim proses eksekusi ruko tersebut sudah sesuai prosedur. Sebelum digusur, kata Nawir, pihak yang menguasai lahan tersebut telah disurati untuk melakukan pengosongan.
"Semua pelaksanaan proses eksekusi itu sudah sesuai SOP. Mulai dari awal, itu berperkara, kemudian dilakukan aanmaning atau peneguran, sesuai SOP yang ada di pengadilan sampai pelaksanaan eksekusi," katanya.
Soal klaim pihak ahli waris yang kalah sengketa memiliki SHM, Nawir enggan menanggapinya.
"Itu bukan kewenangan kami untuk memberikan jawaban karena itu sudah masuk teknisnya. Kami hanya bagian administrasi mohon maaf yah," singkatnya.
Sebelumnya diberitakan, ahli waris buka suara usai ricuh eksekusi rumah toko (ruko) dan bangunan di Jalan AP Pettarani, Makassar. Ahli waris mengklaim memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas nama Hamat Yusuf.
Kuasa hukum ahli waris Saladin Hamat Yusuf, Arif Hamat Yusuf mengatakan pihaknya telah menyurat ke kepolisian, pengadilan negeri, hingga Badan Pertanahan Negara (BPN) sebelum eksekusi dilakukan. Pihaknya kini akan menyurat ke Presiden Prabowo Subianto untuk meminta keadilan.
"Namun pelaksanaan eksekusi tetap dijalankan, sehingga kami akan sampaikan keberatan kami kepada bapak Presiden Republik Indonesia," kata Arif Hamat Yusuf kepada wartawan, Minggu (16/2).
KY usul muatan aturan tentang pemberian bantuan hukum untuk terpidana di RUU KUHAP. KY menyebut sejauh ini bantuan hukum hanya ada buat tersangka atau terdakwa. [413] url asal
Komisi Yudisial (KY) mengusulkan adanya muatan aturan tentang pemberian bantuan hukum untuk terpidana di Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). KY mengatakan KUHAP saat ini baru mengatur adanya bantuan hukum untuk tersangka atau terdakwa.
"Penyediaan bantuan hukum di dalam persidangan sejauh ini peruntukannya masih sebatas untuk pendampingan dalam perkara di tingkat pertama, banding, dan kasasi. Dalam KUHAP disebutkan dalam pasal 54," kata anggota sekaligus Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Joko Sasmito dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (10/2/2025).
Joko menyebut terpidana masih memiliki hak untuk memperjuangkan keadilan lewat peninjauan kembali (PK). Ia menilai tak semua terpidana memiliki kemampuan untuk menghadirkan penasehat hukum sendiri.
"Sedangkan untuk terpidana tidak diatur. Padahal, terpidana masih memiliki hak untuk memperjuangkan keadilan melalui mekanismenya peninjauan kembali atau PK. jika pada tahap penyidikan, penyelidikan, atau penuntutan atau persidangan sampai pada tingkat kasasi telah dijamin adanya bantuan hukum berdasarkan KUHAP, hendaknya pada saat pengajuan PK juga perlu diberi jaminan tersebut," ujar Joko.
Joko lantas mencontohkan kasus upaya perlawanan dari para terpidana kasus Vina Cirebon. Ia menyebut negara perlu hadir untuk memberi bantuan bagi pihak yang tidak mampu.
"Kasus yang pernah viral pada tahun lalu di Cirebon menjadi salah satu contoh para terpidana merasa putusan pengadilan telah salah sehingga ia mengajukan PK untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Jika tidak ada penasihat hukumnya yang bersedia membantu, maka sebaiknya negara juga bisa menyediakan bantuan hukum bagi terpidana seperti mereka," imbuhnya.
Ketika Polres Buru Selatan belum berdiri, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan lebih sering diselesaikan melalui pendekatan restorative justice atau ... [1,436] url asal
Kita akan terus berjuang untuk menurunkan angka kasus tersebut ke nol
Ambon (ANTARA) - Ketika Polres Buru Selatan belum berdiri, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan lebih sering diselesaikan melalui pendekatan restorative justice atau penyelesaian secara kekeluargaan.
Dalam praktiknya, penyelesaian ini sering kali mengabaikan hak-hak korban. Tentunya pendekatan semacam ini bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
Dalam sistem hukum di Indonesia, kejahatan terhadap anak dan perempuan dikategorikan sebagai krisis kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Oleh karena itu, kasus-kasus ini tidak boleh diselesaikan hanya melalui mediasi atau kesepakatan antar-keluarga.
Sebagai daerah yang masih dalam tahap perkembangan sumber daya manusia, masyarakat Buru Selatan sempat menganggap kasus kekerasan seksual sebagai hal “biasa”.
Banyak yang berasumsi bahwa jika terjadi pelanggaran, akan ada jalan damai di antara pihak keluarga. Akibatnya, banyak pelaku yang tidak mendapatkan hukuman setimpal, dan korban tidak mendapat keadilan.
Namun, sejak Polres Buru Selatan diresmikan pada 29 Agustus 2022, paradigma ini perlahan mulai berubah. Polres melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tingginya angka kasus kekerasan seksual di daerah itu.
Dalam kurun waktu Januari hingga Oktober 2022, ada 27 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Bursel. Pelaku dari kejahatan tersebut rata-rata adalah orang dekat hingga kepala sekolah.
Angka ini mencerminkan kondisi yang memprihatinkan, bukan hanya bagi korban secara individu tetapi juga bagi pembangunan daerah secara keseluruhan.
Selain berdampak pada korban, tingginya angka kekerasan seksual juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi di Buru Selatan. Investor dan pendatang yang ingin berkontribusi dalam pembangunan daerah merasa khawatir dengan kondisi keamanan di wilayah itu.
Menyadari hal tersebut, Polres Buru Selatan dengan segala keterbatasannya menjadikan penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai prioritas utama.
Dengan jumlah personel yang terbatas, sebanyak 321 anggota, dan minimnya sarana prasarana, mereka tetap berkomitmen untuk menegakkan hukum dengan tegas dan tanpa pandang bulu.
“Kita menghargai proses perdamaian adat. Namun proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual kepada anak dan perempuan harus tetap berjalan," kata Kapolres Buru Selatan AKBP M Agung Gumilar.
Tegas tanpa pandang bulu
Salah satu langkah awal yang dilakukan oleh Polres Buru Selatan adalah menggandeng tokoh agama, tokoh adat, dan pemuka masyarakat untuk memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat.
Kapolres Buru Selatan AKBP M Agung Gumilar. (ANTARA/Winda Herman)
Sosialisasi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir bahwa kekerasan seksual bukanlah perkara yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan, melainkan harus diproses secara hukum.
Selain itu, Polres juga menerapkan pendekatan hukum yang lebih tegas. Kini, siapa pun pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan, tanpa memandang latar belakangnya, akan diproses secara hukum. Tidak ada lagi negosiasi atau kesepakatan di luar jalur peradilan.
Dampak dari kebijakan itu cukup signifikan. Pada 2023, angka kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan turun menjadi 15. Di 2024, pada periode Januari hingga Desember kasus serupa sebanyak 21. Dari jumlah itu, 12 di antaranya sudah ke tahap penyelesaian tindak pidana.
“Kita akan terus berjuang untuk menurunkan angka kasus tersebut ke nol. Meskipun banyak kendala, kita mampu melewatinya,” Agung Gumilar.
Kendala di Lapangan
Meskipun sudah ada penegakan hukum yang lebih tegas, masih ada beberapa kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satunya adalah minimnya fasilitas pendukung bagi korban.
Hingga kini, di Buru Selatan belum tersedia rumah aman atau pusat trauma healing bagi korban kekerasan seksual. Akibatnya, banyak korban yang tidak mendapatkan pendampingan psikologis yang memadai.
Selain itu, belum ada kerja sama antara kepolisian dengan psikolog atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pendampingan korban.
Dalam banyak kasus, korban hanya didampingi oleh pihak kepolisian dan Bhabinkamtibmas, yang tentu memiliki keterbatasan dalam memberikan dukungan psikososial.
“Kita masih terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya, agar dapat mendukung fasilitas demi bagaimana hak-hak korban bisa kembali pulih 100 persen,” kata Gumilar.
Peran Hukum Adat
Di tengah perubahan yang terjadi di Buru Selatan dalam penanganan kekerasan seksual, hukum adat masih memiliki tempat di hati masyarakat. Sebagai pedoman yang diwariskan turun-temurun, hukum adat selama ini menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial, termasuk kasus perselingkuhan hingga kekerasan seksual.
Hukum adat di Buru Selatan mengenal sistem sanksi sosial yang cukup keras bagi pelaku kekerasan seksual. Jika seseorang terbukti melakukan tindakan asusila atau kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka ia bisa dikenai sanksi adat, seperti, pengucilan dari komunitas – pelaku dan keluarganya bisa dijauhi oleh masyarakat, sehingga kehilangan hak-hak sosialnya.
Untuk kasus kekerasan seksual, hukum adat memiliki mekanisme yang lebih kompleks. Pelaku biasanya dikenai denda dalam bentuk barang atau harta. Jika masih dalam tahap dugaan atau belum ada bukti kuat, maka dilakukan sumpah adat, dengan cara membakar besi kemudian dipegang para pelaku yang dicurigai untuk mengetahui kebenaran.
Sumpah adat menjadi cara tradisional untuk mengungkap kebenaran. Dalam praktiknya, seorang tersangka dihadapkan pada ritual adat yang diyakini dapat memaksa seseorang untuk mengakui perbuatannya jika memang bersalah. Tak jarang, setelah menjalani sumpah adat, seseorang akhirnya mengakui perbuatannya secara sukarela.
Ada satu praktik dalam hukum adat yang hingga kini masih menuai perdebatan, yaitu tukar ganti anak. Dalam beberapa kasus, jika pelaku terbukti bersalah, keluarganya dapat menyerahkan anak perempuannya sebagai ganti bagi korban.
Jika pelaku sudah menikah dan memiliki anak perempuan, maka anak tersebut diberikan kepada keluarga korban sebagai bentuk pertanggungjawaban. Jika keluarga korban menolak, maka mereka dapat meminta tebusan dalam bentuk harta atau uang sebagai ganti.
Namun, praktik ini semakin jarang dilakukan. Banyak keluarga korban yang tidak setuju dan akhirnya meminta agar kasus diselesaikan melalui jalur hukum negara.
"Kalau misalkan keluarga korban mau hukum pemerintah yang menangani, saya tetap sepakat, karena ini menyangkut masa depan anak-anak kita, terutama generasi yang masih di bawah usia,” kata tokoh adat Rehensap Waesama Jafar Wael.
Tokoh adat hendak melakukan upacara adat berkaitan sanksi adat kasus perselingkuhan di Desa Waesama, Buru Selatan, Maluku. (ANTARA/Winda Herman)
Kesadaran ini muncul seiring dengan pemahaman bahwa kekerasan seksual bukan sekadar persoalan individu, tetapi menyangkut masa depan korban. Jika dulu kasus sering kali berakhir di meja perundingan adat, kini semakin banyak masyarakat yang berani melapor ke kepolisian demi mendapatkan keadilan yang sesungguhnya.
Tetapi, di beberapa kasus, hukum adat masih tetap dipraktikkan. Misalnya, jika ada korban masih di bawah umur, keluarga pelaku bisa membayar sejumlah uang kepada keluarga korban hingga korban cukup umur untuk dinikahkan dengan pelaku. Praktik ini masih terjadi, meskipun mulai berkurang seiring dengan kesadaran hukum yang meningkat.
Meskipun hukum adat memiliki peran dalam menjaga norma sosial, kepolisian tetap menekankan bahwa penegakan hukum formal harus menjadi prioritas. Sanksi adat hanya bisa menjadi pelengkap, tetapi tidak boleh menggantikan proses hukum yang berlaku.
"Kami sebagai tokoh adat, masyarakat, dan agama, harus bersama-sama menaruh perhatian kepada generasi kita ini," kata tokoh adat itu.
Perubahan Pola Pikir
Salah satu perubahan yang paling terasa sejak Polres Buru Selatan berdiri adalah meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual.
Jika sebelumnya korban dan keluarga cenderung diam karena takut intimidasi atau tekanan sosial, kini mereka lebih berani untuk melapor ke pihak berwenang. Bahkan, dalam beberapa kasus, meskipun korban tidak melapor, kepolisian tetap mengambil tindakan berdasarkan bukti yang ditemukan di lapangan.
Selain itu, kesadaran terhadap modus-modus kejahatan seksual juga semakin meningkat. Banyak kasus pencabulan yang terjadi dengan cara bujuk rayu atau pemaksaan, dan masyarakat kini lebih waspada terhadap ancaman tersebut.
Meskipun angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di Buru Selatan telah turun, perjuangan masih jauh dari selesai.
Polres Buru Selatan terus berupaya menekan angka kasus hingga titik nol. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengusulkan pendirian rumah aman sejak 2022, yang hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah daerah.
Pembangunan rumah aman dan layanan trauma healing adalah langkah yang mendesak. Tanpa fasilitas ini, banyak korban yang tetap berada dalam situasi yang tidak mendukung pemulihan mereka.
Selain itu, perlu ada kerja sama yang lebih kuat dengan pihak-pihak terkait, termasuk psikolog, LSM, dan lembaga agama, untuk memastikan bahwa korban mendapatkan pemulihan yang maksimal.
Perubahan pola pikir masyarakat juga harus terus dijaga. Polres, tokoh adat, dan pemuka agama harus tetap aktif dalam memberikan edukasi hukum, sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa kekerasan seksual adalah hal yang bisa didamaikan.
Perjalanan panjang Polres Buru Selatan dalam menangani kasus kekerasan seksual adalah bukti bahwa ketegasan hukum bisa mengubah kebiasaan masyarakat. Kini, korban berani melapor, pelaku dihukum sesuai aturan, dan masyarakat mulai sadar bahwa kekerasan seksual bukan sekadar urusan keluarga, tetapi kejahatan yang harus ditindak tegas.
Namun, perjuangan ini belum selesai. Diperlukan dukungan dari berbagai pihak agar penanganan kasus kekerasan seksual semakin efektif dan hak-hak korban dapat benar-benar dipulihkan.
Dengan komitmen bersama, Buru Selatan dapat menjadi daerah yang lebih aman bagi perempuan dan anak-anak, di mana keadilan bukan hanya janji, tetapi benar-benar ditegakkan. Bahwa keadilan bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga memastikan bahwa korban mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem, Rudianto Lallo, mendorong RUU KUHAP segera dibahas. Rudianto menilai KUHAP seharusnya disesuaikan dengan kondisi saat ini. [363] url asal
Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem, Rudianto Lallo, mendorong rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana (KUHAP) segera dibahas untuk dituntaskan. Rudianto menilai KUHAP saat ini sudah 44 tahun seharusnya disesuaikan dengan kondisi saat ini.
"Kita ketahui hukum acara kita sudah 44 tahun sejak tahun 1981 dan normanya sudah ada 12 norma yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Yang kedua, KUHP kita, hukum materil kita yang baru akan berlaku 2026 Januari. Sementara hukum acara kita belum berubah," kata Rudianto di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (31/1/2025).
Rudianto mendorong rancangan UU ini untuk segera dibahas oleh Komisi III DPR. Ia menyebut saat ini Fraksi NasDem sudah mulai menampung aspirasi dari sejumlah pihak terkait penyusunan RUU KUHAP.
"Inilah yang kemudian menjadi concern Fraksi NasDem agar pembahasan RUU hukum acara ini bisa dituntaskan tahun ini yang kebetulan menjadi concern kami di Komisi III," ujar Rudianto.
"Saya selaku Kapoksi Fraksi NasDem Komisi III saat ini juga Komisi III telah menjadwalkan untuk kemudian mengagendakan pemanggilan para ahli-ahli hukum, para akademisi kita, para profesor hukum kita untuk kita juga dengar keterangan, berkaitan dengan masukan-masukannya terhadap revisi RUU KUHAP ini," ujar Rudianto.
Rudianto menyoroti sejumlah hal dalam RUU KUHAP, di antaranya soal restorative justice setiap institusi yang berbeda pengertian. Rudianto juga menekankan kontrol penyidikan sampai penuntutan suatu kasus supaya tak semena-mena.
"Bagaimana konsep restorative justice ini lagi marak kita dengar, polisi punya konsep restorative justice, jaksa juga punya, hakim juga punya. Masing-masing saling mengkritisi kewenangan ini, nah ini tidak diatur dalam hukum acara kita ini yang penting," ujar Rudianto.
"Yang kedua, bagaimana alat bukti, bagaimana konsep peradilan, bagaimana mekanisme kontrol penyidikan, ke penuntutan. Ini semua yang menurut saya concern kita supaya hak-hak warga negara, apakah dia terperiksa, terlapor, bisa dilindungi tidak semena-mena," tambahnya.
Selain itu, Rudianto juga menyoroti soal posisi advokat dalam suatu kasus. Rudianto mempertanyakan apakah seseorang yang berstatus sebagai saksi bisa didampingi oleh penasihat hukum.
"Bagaimana posisi advokat. Orang kalau dipanggil jadi saksi, apakah sudah bisa didampingi oleh kuasa hukum, penasihat hukum atau tidak. Ini semua yang menjadi poin-poin penting dalam revisi RUU hukum acara kita," imbuhnya.
Tumpang tindih kewenangan dalam RUU KUHAP menjadi sorotan banyak pihak. Integritas sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai dapat terganggu. [701] url asal
Tumpang tindih kewenangan dalam RUU KUHAP menjadi sorotan banyak pihak. Integritas sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai dapat terganggu.
Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) Dr. Arfan Kaimuddin. Arfan menyampaikan kritik tajam terhadap beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Menurut Arfan salah satu pasal yang disoroti adalah Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP, yang mengatur bahwa jika dalam waktu 14 hari laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, masyarakat dapat langsung mengajukan laporan kepada kejaksaan.
Arfan menilai ketentuan tersebut berisiko menimbulkan dualisme kewenangan antara penyidik kepolisian dan kejaksaan.
"Kewenangan penyidikan adalah bagian integral dari sistem peradilan pidana yang diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP. Jika kejaksaan diperbolehkan untuk langsung memproses laporan tanpa melalui mekanisme penyidikan polisi, ini dapat menciptakan ketidakharmonisan dalam proses hukum," kata Arfan kepada wartawan, Senin (27/1/2025).
Sebagai lulusan doktoral hukum dengan konsentrasi hukum pidana, Dr. Arfan juga menegaskan bahwa pembagian kewenangan antara penyidik dan jaksa penuntut umum didasarkan pada asas specialty dan separation of powers.
Setiap lembaga memiliki peran dan fungsi yang spesifik untuk menjaga akuntabilitas serta mencegah intervensi yang tidak semestinya.
Arfan juga menyoroti dampak negatif Pasal 12 Ayat 11 terhadap asas due process of law. Dalam sistem hukum pidana, penyidikan merupakan tahap awal yang sangat sensitif dan harus dijalankan dengan prosedur ketat.
"Jika penuntut umum langsung terlibat dalam proses penyidikan, hak-hak tersangka bisa terancam karena proses hukum yang ideal mengharuskan adanya pembagian kewenangan yang jelas," tambah pria Kelahiran Kota Ambon ini.
Selain itu, Arfan mengungkapkan bahwa ketentuan ini dapat membebani kejaksaan dengan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab penyidik.
Fungsi utama kejaksaan adalah memproses perkara berdasarkan hasil penyidikan, bukan melakukan investigasi awal.
Dalam analisisnya, Arfan juga mengkritik Pasal 111 Ayat 2 RUU KUHAP yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum dapat mengajukan permohonan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang seharusnya hal demikian merupakan kewenangan kepolisian.
Hal ini akan melemahkan sistem peradilan pidana yang sudah terintegrasi dengan baik selama ini. Menurutnya, hal itu melanggar prinsip peradilan yang adil dan imparsial (fair trial).
"Jaksa dan polisi adalah bagian dari rantai penegakan hukum yang harus bekerja secara kolaboratif, bukan saling menilai atau mengintervensi. Ketentuan ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang serius," tegas Arfan.
Arfan yang meraih gelar Doktor di Universitas Brawijaya Tahun 2018 ini, juga menyoroti dampak perluasan kewenangan kejaksaan yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 dan UU Nomor 11 Tahun 2021.
Salah satu kewenangan yang dianggap bermasalah adalah fungsi intelijen kejaksaan, seperti pengawasan multimedia dan menciptakan kondisi yang mendukung pembangunan.
"Kejaksaan didesain untuk menegakkan hukum, bukan untuk melaksanakan tugas pembangunan atau pengawasan multimedia yang sifatnya abstrak," ujarnya.
Arfan menambahkan bahwa perluasan kewenangan kejaksaan ini dapat menimbulkan tumpang tindih dengan institusi lain seperti Kepolisian, TNI, dan BIN, serta mengaburkan fungsi utama kejaksaan sebagai penegak hukum.
Sebagai akademisi, Arfan mengusulkan agar legislator mempertimbangkan kembali ketentuan-ketentuan yang berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dalam RUU KUHAP.
"Pendekatan dalam sistem peradilan pidana dititik beratkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, bukan justru memberikan ruang yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara aparat penegak hukum," tutupnya.
Pandangan kritis Arfan diharapkan menjadi masukan bagi legislator untuk menyusun regulasi yang lebih matang dan adil bagi semua pihak dalam sistem peradilan pidana.
Ahli Hukum UB, Prija Djatmika, menilai RUU KUHAP berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan jaksa dan polisi. Ia juga menyebut sebagai langkah mundur. [556] url asal
Ahli Hukum Univerista Brawijaya (UB), Prija Djatmika turut buka suara soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya ada beberapa pasal yang dinilai menjadi langkah mundur hukum hingga adanya tumpang tindih kewenangan dari kejaksaan dan kepolisian.
Beberapa pasal yang dinilai bakal menimbulkan persoalan baru dalam penegakan hukum dan perlu mendapat perhatian antara lain pasal 111 ayat 2, pasal 12 ayat 11, pasal 6 hingga pasal 30b.
Prija mencontohkan, pada pasal 12 ayat 11 RUU KUHAP dijelaskan, apabila masyarakat melapor polisi tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi, maka bisa melapor ke kejaksaan. Hal ini diperkuat dengan pasal 6 yang berbunyi, penyidik adalah pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut UU tertentu yang diberi wewenang melakukan penyidikan. Bahwa, penyidikan bisa dilakukan di luar institusi Polri.
"Jika ini disahkan, menurut saya ini langkah mundur. UU KUHAP sudah bagus mengatur distribusi kewenangan penegak hukum, sekarang mau dikembalikan lagi ke zaman belanda dan orde baru. Dimana jaksa bisa melakukan penyidik seperti dulu," terang Prija Jumat (24/1/2025).
Ia menegaskan bahwa jaksa saat ini memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan pada kasus tertentu, yakni pelanggaran HAM berat dan korupsi. Ketika pasal tersebut disahkan, maka jaksa diperbolehkan untuk melakukan penyidikan terhadap seluruh laporan atau bisa disebut tidak lagi hanya kasus tertentu.
"Ini akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian, jadi penyidik (jaksa) bisa menyidik sendiri, menuntut sekaligus menyidik. Ini semacam ada satu gawang itu kipernya ada dua. Itu saya bayangkan akan amburadul, malah justru berpotensi tidak bisa menjamin kepastian hukum," tegas Prija.
Kemudian, terkait pasal 111 ayat 2 RUU KUHAP dianggap akan mengakibatkan kerancuan karena dalam pasal tersebut memberikan kewenangan jaksa untuk mempertanyakan sah tidaknya penangkapan dan penahanan oleh kepolisian. Ditambah, pasal 30b mengatur kewenangan jaksa melakukan penyadapan.
Ketika pasal tersebut lolos maka dikhawatirkan akan menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu.
Prija melihat bahwa RUU KUHAP ini dirancang karena menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri lewat tagar #PercumaLporPoisi. Kendati demikian, dalam RUU KUHAP tidak harus ada tumpang tindih kewenangan yang berpotensi kerancuan.
Menurutnya, daripada menambah kewenangan kejaksaan, lebih baik jika dalam RUU KUHAP memberikan regulasi baru untuk menempatkan jaksa di kantor polisi atau jaksa wilayah. Ini juga merupakan solusi untuk mempersingkat penanganan perkara yang selama ini dinilai memakan waktu karena proses birokrasi.
"Kalau salah satu pertimbangan penambahan kewenangan jaksa karena proses pengembalian berkas perkara, itu bisa ditangani dengan menempatkan jaksa wilayah. Jadi yang terpenting itu adalah sinergitas sejak awal penanganan," tandasnya.
RUU KUHAP yang sedang dibahas menuai kritik karena pasal-pasalnya dinilai tumpang tindih dengan kewenangan penegak hukum. Ini tanggapan pakar. [779] url asal
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas, mendapat sorotan sejumlah pihak. Sebab, ada beberapa pasal di dalamnya yang dinilai tumpang tindih dengan kewenangan lembaga penegak hukum.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof Dr I Nyoman Nurjana.
"Bicara penegakan hukum adalah bicara tentang sistem yang sudah diatur dalam KUHAP. Dalam hukum acara pidana di Indonesia, kita mengenal sistem peradilan pidana terpadu," kata I Nyoman kepada wartawan, Jumat (24/1/2025).
Menurut I Nyoman, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP tersebut dinilai ada tumpang tindih dengan kewenangan lembaga penegak hukum, khususnya antara kepolisian dan kejaksaan.
Hal itu dikhawatirkan akan merusak Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).
Nyoman menjelaskan, sistem peradilan pidana di Indonesia sudah memiliki mekanisme yang jelas berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
"Sistem peradilan kita, memiliki beberapa subsistem, yakni tahapan, prosedur, mekanisme, dan kewenangan dalam penegakan hukum," jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa kewenangan kepolisian yang dimulai dari tahapan penyelidikan dan penyidikan, sudah diatur dalam KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
"Kita ketahui bahwa kewenangan Polri dalam penegakan hukum sudah sangat jelas, termasuk penyerahan berita acara penyelidikan (BAP) kepada Kejaksaan untuk menjadi dakwaan atau tuntutan," tegasnya.
"Kepolisian tidak bisa langsung mengajukan hasil penyidikan ke Pengadilan karena itu merupakan tugas Jaksa yang membuat surat dakwaan," sambungnya.
Namun, lanjut Nyoman, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP dinilai dapat menimbulkan kerancuan dalam sistem yang sudah berjalan tersebut.
Salah satunya adalah Pasal 12 Ayat 11 yang mengatur, jika dalam waktu 14 hari polisi tidak menanggapi laporan masyarakat, maka masyarakat dapat langsung melaporkannya kepada pihak kejaksaan.
Selain itu, pasal tersebut juga memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menerima laporan masyarakat secara langsung.
"Ini harus hati-hati. Dalam sistem peradilan pidana kita, kewenangan Polri sebagai penerima laporan sudah selaras, kecuali untuk tindak pidana khusus seperti korupsi di mana Kejaksaan memang memiliki kewenangan khusus dalam penyidikan," ucap Nyoman.
Selain itu, Nyoman juga mengkhawatirkan adanya tumpang tindih dan mencegah terjadinya conflict of norms antara lembaga penegak hukum. Seperti tertuang dalam Pasal 111 Ayat 2 dalam RUU KUHAP.
Menurut Nyoman, hal itu sangat bertentangan dengan KUHAP dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kewenangan jaksa untuk menyatakan sah tidaknya penangkapan dan penahanan ini merusak mekanisme yang sudah selaras. Ini dapat menimbulkan conflict of norms dan ketidakpastian hukum," kritik Nyoman.
Nyoman mengungkapkan, perubahan kewenangan kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diperluas melalui UU Nomor 11 Tahun 2021.
Perubahan ini, termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan dan intelijen, menurutnya sudah cukup luas.
Jika kewenangan kejaksaan diperluas lagi melalui RUU KUHAP, hal ini akan semakin mengacaukan sistem peradilan pidana.
Nyoman menegaskan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia adalah sistem yang terpadu. Setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan masing-masing yang sudah diatur dalam undang-undang.
Mulai dari kepolisian yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, sedangkan untuk kejaksaan diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021, hingga pengadilan yang diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Penegakan hukum kita sudah jelas, namun jika jaksa diberikan kewenangan lebih luas, termasuk mengintervensi tahapan penyelidikan dan penyidikan yang menjadi kewenangan Polri, maka ini akan menimbulkan conflict of interest," tandasnya.
Nyoman juga mempertanyakan apakah RUU KUHAP ini merupakan perubahan dari UU Nomor 8 Tahun 1981 atau rancangan untuk menggantikan undang-undang tersebut secara keseluruhan.
"Jika ini belum jelas, maka perlu kehati-hatian. Jangan sampai perubahan ini merusak sistem yang sudah ada," pesan Nyoman.
Prof I Nyoman juga mengingatkan bahwa meskipun RUU KUHAP ini masih dalam tahap pembahasan. Namun perlu adanya masukan dari akademisi, praktisi hukum, dan pengamat hukum yang harus didengar dan diakomodasi oleh DPR RI.
"RUU ini harus dibahas lebih hati-hati. Jangan sampai adanya perubahan justru merusak sistem peradilan pidana terpadu yang selama ini kita anut," pungkasnya.
Prof. Eddy O.S. Hiariej menyoroti pentingnya reformasi hukum acara pidana di Indonesia, menekankan perlindungan HAM dan transparansi dalam proses hukum. [640] url asal
Pakar Hukum Universitas Gajahmada (UGM) Prof Eddy O.S. Hiariej menyoroti beberapa aspek penting terkait reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Menurutnya, perlindungan hak asasi manusia menjadi hal penting dalam hukum acara pidana.
"Filosofi utama hukum acara pidana harus berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia dan menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum (APH)," ujar Prof Eddy O.S. Hiariej dalam webinar pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), Kamis (23/1/2025).
Menurut Prof Eddy, hukum acara pidana harus bersifat keresmian dengan pengaturan yang ketat. Ia juga menegaskan pentingnya tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi dalam KUHAP.
Pertama tertulis, sehingga aturan hukum tidak multitafsir, kedua jelas, agar tidak menimbulkan kebingungan dalam penerapan.
"Dan ketiga tidak dapat diinterpretasikan selain dari yang tertulis, demi menghindari kerugian bagi pelapor, terlapor, saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana," tuturnya.
Ia juga menyoroti perlunya perubahan paradigma dari Crime Control Model yang mengedepankan asas praduga bersalah, untuk menuju Due Process Model yang lebih melindungi hak asasi manusia.
Di luar itu, Prof Eddy mendukung adanya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana. Dalam hal ini memposisikan polri sebagai penyidik utama.
Selain Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bertindak sebagai penyidik pendukung dan peran jaksa sebagai penuntut umum sekaligus eksekutor dalam penelusuran dan perampasan aset.
Ia juga menekankan pentingnya keberadaan advokat sejak tahap penyelidikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan pengawasan yang lebih baik dalam proses hukum.
Penguatan peran advokat juga diperluas dalam konteks praperadilan guna melindungi kepentingan saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana.
Pengawasan terhadap perolehan barang bukti menjadi poin kritis yang disorot oleh Prof Eddy. Menurutnya, pengumpulan barang bukti harus dilakukan secara transparan dan dapat diawasi oleh pihak-pihak terkait.
Selain itu, ia mengusulkan adanya dua jenis putusan tambahan di pengadilan, yakni putusan pemaafan hakim, untuk kasus yang layak mendapatkan pertimbangan khusus dan putusan tindakan, terkait dengan keadilan restoratif (restorative justice).
Namun, ia menekankan bahwa keputusan terkait restorative justice harus melalui proses penetapan hakim dan terregistrasi, baik oleh polisi, jaksa, maupun hakim.
Sementara dalam pembahasan soal Mahkamah Agung (MA), Prof Eddy menyampaikan kritik terhadap kemungkinan putusan MA yang lebih berat dibandingkan putusan pengadilan sebelumnya.
"Putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan sidang pembuktian sebelumnya, kecuali dalam kondisi tertentu," tegasnya.
Ia juga menyoroti soal peninjauan kembali (PK), yang menurutnya harus diperketat. PK adalah upaya luar biasa, bukan sebagai peradilan tingkat empat'.
Selain juga mengingatkan pentingnya asas hukum pidana yang memberikan kepastian hukum."Proses pidana harus ada akhirnya," ujarnya.
Sebagai penutup, Prof Eddy menekankan peran lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai akhir dari rantai sistem peradilan pidana.
Pihaknya berharap reformasi RKUHAP dapat menguatkan peran lapas, sehingga tidak hanya menjadi tempat penahanan, tetapi juga berfungsi sebagai tempat pembinaan dan reintegrasi sosial.
Sekedar diketahui, webinar digelar untuk memberikan pandangan mendalam tentang kebutuhan mendesak akan reformasi hukum acara pidana di Indonesia.
Dengan berbagai masukan dari para ahli seperti Prof. Eddy O.S. Hiariej, diharapkan RKUHAP yang baru mampu menghadirkan sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan akuntabel.