Pengadilan Negeri Makassar eksekusi showroom mobil Ricky Tandiawan. Kuasa hukum mengungkap kejanggalan dan dugaan pemalsuan dokumen dalam proses eksekusi. [777] url asal
Pengadilan Negeri (PN) Makassar melakukan eksekusi dan pembongkaran gedung showroom mobil milik Ricky Tandiawan di Jalan AP Pettarani Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kuasa hukum Ricky Tandiawan, Ichsanullah mengungkap kejanggalan eksekusi showroom kliennya yang sempat diwarnai kericuhan.
"Dia (penggugat) beli (lahan) berdasarkan Kecamatan Tamalate sedangkan objek sengketa ini berada di Kecamatan Rappocini itu yang paling prinsip. Intinya kapanpun eksekusi dilakukan harus ditunda karena kenapa non eksekutabel, tidak akan ketemu objek yang mau dieksekusi itu di Kecamatan Tamalate, sedangkan objek yang berada sekarang di Rappocini itu," kata Ichsanullah kepada wartawan, Senin (28/4/2025).
Ichsanullah menilai ada dugaan pemalsuan dokumen oleh pihak pemohon yang telah dilaporkan ke Mabes Polri. Dia menyebutkan adanya proses perdamaian yang seharusnya menjadi dasar untuk menunda eksekusi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Kemudian beliau (pemilik showroom) pernah melapor, ini bukti suratnya dijadikan dasar untuk melakukan proses perdamaian pada waktu itu sehingga secara hukum di dalam ketentuan ini ada pasal yang mengatur bahwa para pihak tidak boleh lagi melanjutkan eksekusi, harusnya ditunda karena ada perdamaian antara pemohon eksekusi dengan termohon eksekusi," jelasnya.
Dia mengatakan pihak pemohon telah melanggar kesepakatan perdamaian dan melakukan perbuatan melawan hukum terhadap kliennya. Dia menegaskan kliennya berencana menempuh upaya hukum lanjutan, termasuk keberatan terkait dugaan pemalsuan data lahan.
"Salah satu pihak tidak menepati janjinya, ingkar janji. Jadi Ricky Tandiawan yang merasa tergugat itu merasa dirugikan nantilah prinsipal bagaimanapun akan melakukan upaya hukum, apakah dia mengajukan keberatan atau apa atau dia melanjutkan proses terkait dugaan pemalsuan rinci (lahan)," bebernya.
Sementara itu, kuasa hukum penggugat, H. Ulil Amri, mengungkapkan perkara ini sudah bergulir sejak 2011 dan baru diputuskan pada 2014. Setelah tiga kali gagal, eksekusi akhirnya dilaksanakan pada upaya keempat kalinya.
"Dalam perkara ini itu sejak tahun 2011 dan baru itu putusan 2014 baru bisa dieksekusi pada hari ini. Ini sempat tertunda, ini yang keempat kalinya. Jadi yang pertama, kedua, ketiga gagal dan hari ini akhirnya alhamdulillah berhasil kita laksanakan," ujarnya.
Ulil menjelaskan bahwa sengketa lahan seluas 3.825 meter persegi itu sudah berlangsung sejak 1996 antara ahli waris Syamsuddin Daeng Sesu melawan Eddy Aliman dan PT Timurama. Dia menambahkan, perkara baru muncul pada 2011 setelah lahan tersebut dijual ke pengusaha Ricky Tandiawan saat proses hukum sebelumnya belum selesai.
"Perkara sementara berjalan yah belum selesai PT Timurama jual ke Ricky Tandiawan. Sehingga perkara antara Eddy Aliman, PT Timurama selesai pada tahun 2010 ingkrah. Tahun 2011 muncul perkara baru karena Ricky Tandiawan sudah masuk makanya digugatlah Ricky Tandiawan bersama PT Timurama dan kawan-kawan. Dengan perkara 175 inilah yang dieksekusi hari ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Ulil mengatakan dalam perkara 175, Edy Aliman telah dinyatakan sebagai pemilik sah lahan tersebut sejak putusan tingkat pertama hingga kasasi dan peninjauan kembali (PK). Dia menuturkan perlawanan terhadap eksekusi baru diputuskan pada 2024.
"Jadi perkara 175 kita Edy Aliman dinyatakan sebagai pemilik sejak dari putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat pengadilan tinggi, kasasi kemudian PK lalu kemudian belakangan diajukan lagi perlawanan permohonan eksekusi tetap tanah ini dinyatakan Edy Aliman. Jadi putusan terakhir adalah perlawanan itu di tahun 2024," sebutnya.
Ulil menegaskan eksekusi hari ini dapat dilaksanakan tanpa hambatan karena seluruh bukti sudah diuji di persidangan. Dia memastikan bahwa tanah tersebut sah milik Edy Aliman.
"Oleh karena itu pada hari ini alhamdulillah eksekusi dilaksanakan dengan tidak ada lagi alasan apapun karena semuanya sudah diuji. Semua bukti-bukti sebagainya sudah diuji di persidangan dan dinyatakan bahwa tanah ini adalah milik Edy Aliman," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, PN Makassar melakukan eksekusi dan pembongkaran gedung showroom mobil di Jalan AP Pettarani Makassar, Senin (28/4) pagi. Eksekusi sempat diwarnai kericuhan karena massa yang menolak mencoba menghalangi aparat yang melakukan pengamanan.
"Jadi dia (massa aksi) mendahului melakukan tutup jalan dan pembakaran sehingga tidak ada cara lain kecuali melakukan pendorongan terhadap masyarakat yang menghalangi pada saat eksekusi," ujar Kabag Ops Polrestabes Makassar AKBP Darwis kepada detikSulsel, Senin (28/4).
Pakar hukum Unhas, Prof Farida, menanggapi eksekusi lahan bersertifikat di Makassar. Dia menyoroti pentingnya verifikasi sertifikat untuk mencegah sengketa. [1,019] url asal
Pakar Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Farida Patittingi merespons viral sejumlah eksekusi lahan yang memiliki sertifikat hak milik (SHM). Salah satunya ruko di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang baru-baru ini dieksekusi usai sengketa berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Secara umum, Farida menjelaskan bahwa rincik memang merupakan salah satu bukti kepemilikan lahan. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
"Dalam penjelasannya diatur beberapa alat bukti atau alas hak pembuktian hak lama yang bisa dijadikan untuk melakukan pendaftaran tanah. Termasuk tadi, rincik, tapi yang sebelum tahun 1960, itu diakui sebagai bukti kepemilikan," kata Farida kepada wartawan usai menghadiri forum group discussion (FGD) di Jalan Nusantara, Selasa (18/2/2025).
Menurutnya, penggunaan rincik sebagai alas hak adalah hal wajar. Pasalnya, pembuktian kepemilikan lahan masyarakat sejak dahulu menggunakan hukum adat.
"Masyarakat hukum adat yang memang lebih banyak pembuktian atas hak tanah itu pada penguasaan fisik, bukti dia ada di situ terus menerus, turun temurun dan masyarakat mengakui kepemilikannya satu sama lain," katanya.
"Dulu kan sistem hukum kita berdasarkan hukum adat, hak ulayat. Jadi hak ulayat itu hak bersama dalam hukum adat kemudian bertumbuh atau lahir hak-hak bersifat individual. Biasanya disebut tanah bekas milik adat," sambung Farida.
Belakangan, kata dia, sengketa juga disebabkan karena adanya sertifikat lebih dari satu dalam satu bidang tanah. Dia menduga hal ini disebabkan karena pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki sistem publikasi negatif.
"Sistem pendaftaran tanah kita menganut sistem publikasi negatif. Sistem publikasi negatif itu, kantor pertanahan dia bersifat pasif, jadi tidak melakukan verifikasi secara materiil atau keyakinan data yang diajukan pemohon. (Jika) Itu adalah data yang benar sepanjang secara administratif bukti-bukti itu bisa menunjukkan bahwa itu benar secara administratif. Hukum administrasinya benar," katanya.
Menurutnya, BPN harus memiliki sistem yang dapat mendeteksi sertifikat ganda atau lebih dari satu. Namun, kenyataannya saat ini celah ini dimanfaatkan pihak tertentu untuk menguasai suatu lahan.
"Seharusnya BPN memiliki sistem yang terbangun untuk dapat memverifikasi bukti yang diajukan karena kadang-kadang double tapi biasa hasil penelitian menunjukkan kadang satu bidang tanah muncul lebih dari satu sertifikat karena lain lagi yang mengajukan, beda dengan yang pertama. Kalau ada yang merasa berhak dia lagi diberikan," kata Farida.
Sementara soal adanya dugaan rincik palsu, dia mengaku hal itu merupakan ranah hukum yang berbeda. Sehingga harus pula dibuktikan secara hukum yang lain.
"Kalau palsu kan proses atau ranah hukum yang berbeda lagi kan. Jadi harus dibuktikan dulu kepalsuannya," jelasnya.
Meski demikian, dia mengaku tak bisa berkomentar lebih jauh soal klaim pihak bersengketa di ruko Jalan AP Pettarani yang menyebut rincik diduga palsu. Pasalnya, hal itu butuh pembuktian lebih lanjut.
"Kalau itu saya tidak bisa komentari karena masalah pembuktian karena masalah palsu dan tidak palsu harus dibuktikan," jelasnya.
Pakar Hukum UMI, Prof Laode Husein juga menanggapi penggusuran Gedung Hamrawati itu merupakan langkah untuk mengakhiri proses sengketa. Pasalnya, sengketa itu telah memiliki kekuatan hukum tetap.
"Dasarnya adalah keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Semua bukti-bukti dan alas hak sudah diuji di pengadilan sampai pada tingkat kasasi. Putusan kasasi bahkan sampai pada upaya hukum luar biasa peninjauan kembali, itu sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Ketika sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yah harus dilaksanakan untuk mengakhiri sengketa ini," ujarnya.
Meski demikian, kata Husein, pihak yang kalah tetap masih bisa mengajukan langkah hukum Peninjauan Kembali (PK) jika ada bukti baru. Jika berhasil maka pengadilan akan melakukan pemulihan.
"Gunakanlah sarana hukum yang ada, kalau memang ada bukti hukum yang baru silakan gunakan untuk upaya hukum luar biasa yang kedua. Saya kira (eksekusi tidak terburu-buru) karena sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kalau toh nanti upaya hukum luar biasa berikutnya digunakan, ada pemulihan," pungkasnya.
PN Klaim Sudah Sesuai Prosedur
Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri (PN) Makassar Nawir mengklaim proses eksekusi ruko tersebut sudah sesuai prosedur. Sebelum digusur, kata Nawir, pihak yang menguasai lahan tersebut telah disurati untuk melakukan pengosongan.
"Semua pelaksanaan proses eksekusi itu sudah sesuai SOP. Mulai dari awal, itu berperkara, kemudian dilakukan aanmaning atau peneguran, sesuai SOP yang ada di pengadilan sampai pelaksanaan eksekusi," katanya.
Soal klaim pihak ahli waris yang kalah sengketa memiliki SHM, Nawir enggan menanggapinya.
"Itu bukan kewenangan kami untuk memberikan jawaban karena itu sudah masuk teknisnya. Kami hanya bagian administrasi mohon maaf yah," singkatnya.
Sebelumnya diberitakan, ahli waris buka suara usai ricuh eksekusi rumah toko (ruko) dan bangunan di Jalan AP Pettarani, Makassar. Ahli waris mengklaim memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas nama Hamat Yusuf.
Kuasa hukum ahli waris Saladin Hamat Yusuf, Arif Hamat Yusuf mengatakan pihaknya telah menyurat ke kepolisian, pengadilan negeri, hingga Badan Pertanahan Negara (BPN) sebelum eksekusi dilakukan. Pihaknya kini akan menyurat ke Presiden Prabowo Subianto untuk meminta keadilan.
"Namun pelaksanaan eksekusi tetap dijalankan, sehingga kami akan sampaikan keberatan kami kepada bapak Presiden Republik Indonesia," kata Arif Hamat Yusuf kepada wartawan, Minggu (16/2).
Eksekusi lahan di Kampung Cangehgar, Sukabumi, dilaksanakan sesuai putusan hukum. PN Cibadak menegaskan tidak ada keberatan resmi dari PUPR. [634] url asal
Pelaksanaan eksekusi lahan di Kampung Cangehgar, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, menjadi sorotan. Pengadilan Negeri (PN) Cibadak memastikan eksekusi lahan sesuai putusan hukum berkekuatan tetap atau inkracht.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua PN Cibadak Maruli Tumpal Sirait. Menurut Maruli, lahan yang dieksekusi memiliki luas sekitar satu hektare, namun terdiri dari beberapa bidang karena sebelumnya telah dijual kepada pihak-pihak tertentu.
"Luas lahan itu lebih kurang satu hektare dalam satu hamparan. Namun, karena pembeliannya dilakukan oleh beberapa pihak dengan ukuran berbeda-beda, akhirnya menjadi beberapa bidang," jelasnya, Rabu (22/1/2025).
Ia juga menegaskan bahwa pengadilan tetap melaksanakan eksekusi karena hingga putusan inkracht, tidak ada keberatan resmi dari pihak-pihak terkait, termasuk dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), meskipun ada klaim bahwa sebagian lahan merupakan tanah PUPR. Diikeahui ada pemilik warung bernama Baden yang memprotes ekskusi warungnya.
"Jika benar ada tanah milik PUPR, seharusnya pihak PUPR yang mengajukan keberatan sebelum eksekusi dilaksanakan. Sampai hari ini, kami tidak menerima surat keberatan atau dokumen lain dari PUPR, baik dari tingkat kabupaten maupun provinsi," tambah Maruli.
Pelaksanaan eksekusi tidak lepas dari dinamika lapangan. Sebagian warga memilih sukarela mengosongkan lahan, namun ada juga yang bertahan. Maruli mengungkapkan bahwa teknis eksekusi diatur oleh Panitera yang memimpin proses tersebut, termasuk penggunaan alat berat jika diperlukan.
"Kami memahami bahwa ada tiga kelompok warga, yakni yang sukarela mengosongkan, yang berdialog dengan pemohon, dan yang masih bertahan. Untuk yang sukarela, kami pastikan akan dibantu, termasuk penyimpanan barang-barang mereka. Namun, bagi yang bertahan, proses eksekusi tetap akan berjalan sesuai aturan," ujarnya.
Maruli kembali menjelaskan bahwa klaim tanah milik PUPR menjadi salah satu perdebatan di lapangan. Salah satu bangunan berupa warung nasi milik warga disebut berada di atas tanah PUPR, tetapi hal ini tidak dapat dihentikan tanpa dokumen resmi yang menyatakan keberatan.
"Jika memang itu tanah PUPR, mereka seharusnya mengajukan keberatan sebelum pelaksanaan eksekusi. Sampai hari ini, tidak ada satu pun keberatan resmi dari PUPR," jelasnya.
Dalam pelaksanaan eksekusi, Maruli juga menegaskan bahwa proses perdata tidak dapat terhambat oleh laporan pidana yang belum memiliki kepastian hukum.
"Tidak ada aturan yang menyatakan proses pidana dalam tahap penyelidikan dapat menghambat eksekusi. Kami bekerja berdasarkan putusan yang sudah pasti," ujarnya.
Saat dimintai keterangan terkait adanya keterlibatan Ormas dalam proses esekusi tersebut, Maruli membantah adanya keterlibatan ormas dalam proses eksekusi. Maruli menjelaskan bahwa pekerja yang dilibatkan untuk membongkar bangunan hanya merupakan kuli lepas, bukan anggota ormas.
"PN tidak pernah meminta bantuan dari ormas mana pun. Petugas yang terlibat terdiri dari personel PN, Polres, Kodim, Satpol PP, dan kuli untuk membantu angkut barang. Kalau ada pihak lain yang tidak berseragam resmi, itu di luar kendali kami," tegasnya.
Maruli menegaskan bahwa nyawa dalam perkara perdata adalah perdamaian. Jika kedua pihak mencapai kesepakatan, eksekusi dapat dihentikan. Namun, dalam kasus ini, proses perdamaian belum terjadi hingga hari eksekusi dilaksanakan.
"Ketika termohon dan pemohon setuju untuk berdamai, maka semua proses selesai. Namun, jika tidak ada perdamaian, kami akan melanjutkan eksekusi sesuai putusan yang ada," pungkasnya.
Terdakwa Rina Pertiwi selaku panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur periode 2020—2022 meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ... [375] url asal
Jakarta (ANTARA) - Terdakwa Rina Pertiwi selaku panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur periode 2020—2022 meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengubah status tahanannya menjadi tahanan kota.
Tim penasihat hukum Rina mengatakan bahwa permintaan tersebut seiring dengan kondisi kesehatan kliennya yang kurang baik.
"Izin majelis hakim, kami sampaikan surat permohonan terkait dengan pengalihan status tahanan Rina dari tahanan rutan menjadi tahanan kota karena alasan kesehatan," ujar penasihat hukum Rina di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Tahanan kota adalah salah satu jenis penahanan yang dilakukan di kota tempat tinggal tersangka atau terdakwa dengan beberapa ketentuan, antara lain, wajib melapor pada waktu yang ditentukan serta tidak boleh ke luar kota, kecuali dengan izin penyidik, penuntut umum, maupun hakim yang memberikan perintah.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Ketua Eko Aryanto mengatakan bahwa majelis hakim akan melihat terlebih dahulu surat permohonan dan mempertimbangkannya.
"Kami akan pertimbangkan dahulu seluruhnya karena ini perkara extraordinary crime. Untuk saat ini, terdakwa silakan kembali ke rutan," ucap hakim.
Rina didakwa menerima suap senilai Rp1 miliar terkait dengan kasus dugaan korupsi pada pengurusan eksekusi lahan PT Pertamina (Persero) pada tahun 2020—2022.
Suap diduga diterima Rina dari terpidana Ali Sopyan melalui perantara Dede Rahmana untuk mempercepat eksekusi atas putusan permohonan peninjauan kembali (PK) Nomor 795 pada 14 November 2019. Dalam putusan itu, pada pokoknya menghukum Pertamina membayar ganti rugi sebesar Rp244,6 miliar
Meski demikian, dari total uang suap yang diberikan, Rina hanya menerima Rp797,5 juta, sedangkan sisanya Rp202,5 juta diberikan Rina kepada Dede.
Dede disebutkan memberikan uang tersebut secara bertahap sebanyak dua kali, yakni sebesar Rp747,5 juta secara tunai dan Rp50 juta secara transfer kepada Rina.
Dengan demikian, perbuatan Rina diatur dan diancam pidana pada Pasal 12 huruf b atau Pasal 12B atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Atas dakwaan yang dilayangkan jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung, Rina tak mengajukan keberatan atau eksepsi. Dengan begitu, sidang Rina akan langsung dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi pada tanggal 5 Desember 2024.