JAKARTA - Pemberedelan karya seni lagu Bayar Bayar Bayar milik
band Sukatani dinilai melanggar hukum. Khususnya kebebasan berekspresi yang merupakan hak dasar setiap individu dalam negara demokrasi.
?Klarifikasi, permintaan maaf, membuka anonimitas, dan menurunkan karya seni dari seluruh platform seharusnya tidak terjadi di negara demokrasi,? tulis AMAR Law Firm & Public Interest Law Office dalam keterangan resminya, Jumat (21/2/2025).
Sebelumnya, pada 20 Februari 2025, di tengah aksi Indonesia Gelap yang masih berlangsung, unggahan klarifikasi dan permintaan maaf dari personel Band Sukatani muncul di berbagai media sosial.
Dalam video berdurasi 1:49 menit tersebut, para musisi yang dikenal dengan lirik lagu kritis dan tajam serta aksi panggung dengan topeng, tampil dengan wajah terbuka dan ekspresi tertekan.
Klarifikasi dan permintaan maaf tersebut merupakan dampak dari lagu mereka yang berjudul ?Bayar, Bayar, Bayar?, yang mengkritik keras praktik dugaan korupsi di kepolisian.
Dalam video itu, mereka mengumumkan bahwa lagu tersebut telah dicabut dari berbagai platform musik dan meminta masyarakat untuk menghapus lagu serta video terkait, serta menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas segala risiko yang muncul di kemudian hari.
AMAR Law Firm & Public Interest Law Office menilai peristiwa ini jelas merupakan pemberedelan karya seni yang melanggar hak atas kebebasan berekspresi. Ekspresi dalam bentuk seni musik merupakan hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu.
Hak ini dijamin dan dilindungi oleh berbagai aturan hukum, termasuk dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbagai instrumen internasional seperti Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights.
Menurut prinsip yang diatur dalam Prinsip Siracusa, pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan jika memenuhi kriteria ketat, seperti diatur oleh hukum, untuk melindungi ketertiban umum, moral publik, keamanan nasional, atau hak orang lain. Namun, tidak ada alasan hukum yang sah untuk membatasi karya band Sukatani.
?Kasus pemberedelan band Sukatani ini juga tidak bisa dipisahkan dari kasus pelanggaran kebebasan ekspresi seni yang lain, seperti pelarangan pameran, pelarangan buku, larangan pemutaran film, dan larangan pertunjukan musik yang belakangan kerap terjadi,? tulisnya.
AMAR Law Firm & Public Interest Law Office juga menilai negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan berekspresi sehingga institusi seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kementerian HAM, dan Kementerian Kebudayaan harus pro aktif untuk mengusut peristiwa pemberedelan ini.
Komisi Kepolisian Nasional juga harus proaktif dalam hal adanya dugaan ancaman dari kepolisian. AMAR Law Firm & Public Interest Law Office menegaskan jika terdapat ancaman atas karya seni, seniman dapat mempertimbangkan beberapa langkah untuk mengantisipasi.
Pertama mengidentifikasi pihak yang mengancam dan mendokumentasikannya. Kedua, sedapat mungkin menunda pertemuan dengan pengancam. Jika terdapat panggilan atau diperiksa oleh aparat, pastikan terdapat surat panggilan dan pemeriksaan dilakukan secara resmi.
?Ketiga, berkonsultasi atau mencari bantuan hukum ke lembaga bantuan hukum atau pengacara publik. Terdapat berbagai lembaga yang menyediakan jasa pro bono untuk seniman dan korban pelanggaran kebebasan berekspresi. Keempat, melaporkan ancaman kepada lembaga terkait,? pungkasnya.
(rca)