JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak tujuh kendaraan terlibat kecelakaan beruntun di lampu merah Slipi, Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (26/11/2024) pagi.
Sebuah truk bermuatan kardus yang dikendarai Ade Zakarsih (44) menabrak enam kendaraan di depannya, yakni lima sepeda motor dan satu mobil.
Pengendara sepeda motor bernama Aliyanto (33) tutup usia di tempat kejadian perkara (TKP). Sedangkan, pengendara sepeda motor bernama Ariyadi (36) tewas saat mendapatkan perawatan intensif di Rumah Sakit Pelni Petamburan.
Usai peristiwa, polisi langsung mengamankan Ade Zakarsih lalu dibawa ke Subdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan. Pelaku menjalani tes urine dan dinyatakan negatif narkoba.
Menurut olah TKP, fungsi pengereman pada truk Ade Zakarsih berfungsi normal. Tabrakan beruntun itu pun diduga disebabkan Ade mengantuk atau microsleep.
Kronologi
Ade Zakarsih mengaku terbangun dari tidur lelapnya sekitar pukul 03.00 WIB. Setelah itu, dia bersiap mengantarkan kardus dari Cikarang, Kabupaten Bekas, ke wilayah Tangerang. Perjalanan pun dimulai sekitar pukul 04.30 WIB.
Saat melintas di Jalan Letjen S Parman, Ade Zakarsih mulai merasakan kantuk. Ketika mendekati lampu merah Slipi dengan kondisi jalan agak menurun, Ade Zakarsih mengalami microsleep.
Padahal, saat itu lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna merah. Alhasil, kecelakaan beruntun tak terhindarkan.
Truk yang dikendarai Ade Zakarsih menabrak sepeda motor yang ada di depannya dan satu mobil yang tengah melaju dari arah Jalan Palmerah Utara hendak berbelok kanan menuju Jalan Gatot Subroto.
Sebanyak dua pengendara sepeda motor yang sedang menunggu lampu merah akhirnya masuk ke kolong truk dan terlindas.
“(Truk berhenti) kurang lebih 20 meter-an. Paling jauh (korban) ada yang terlempar,” kata Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Ojo Ruslani saat dikonfirmasi, Selasa.
Tidak periksa perusahaan
Sejauh ini, polisi belum menentukan status Ade Zakarsih. Hanya saja, status perkara masih dalam tahap penyelidikan.
Dalam penanganan kasus ini, polisi tidak akan memeriksa perusahaan yang mempekerjakan Ade Zakarsih. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Merujuk pasal tersebut, pengemudi yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, maka akan dipidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp 12 juta.
“Enggak (periksa pihak perusahaan). Jadi, kami lebih fokus kepada orang yang menyebabkan (meninggal dunia), bukan kepada pemiliknya,” ujar Ojo.
Kambing hitam
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang menilai, posisi sopir truk yang terlibat di dalam sebuah kecelakaan seringkali tak diuntungkan secara peraturan perundangan.
Sebab, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hanya menyasar sopir sebagai subyek hukum, tetapi tidak termasuk dengan perusahaan yang mempekerjakan sopir.
Padahal, kesalahan sopir yang mengakibatkan kecelakaan seringkali disebabkan oleh abainya perusahaan terhadap keselamatan berkendara.
"Kenapa hanya sopir yang jadi korban? Sopir itu sebenarnya korban undang-undang. Karena dia dijadikan kambing hitam terus. Kalau ada kecelakaan, pasti sopir salah terus," kata Deddy kepada Kompas.com, Selasa (26/11/2024).
"Di UU Nomor 22/2009 memang tidak ada klausul yang menyalahkan atau menitikberatkan ke perusahaan. Kalau ada kesalahan, ya kesalahan sopir terus, enggak pernah perusahaan," lanjut dia.
Oleh karena itu, UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dinilai tidak adil bagi para sopir yang bekerja di bawah naungan perusahaan.
Salah satu contohnya ketika truk atau bus pariwisata mengalami rem blong atau belum uji KIR. Bila merujuk pada UU itu, sanksi hanya menyasar pada sopir, bukan perusahaan yang bertanggung jawab atas kendaraan.
Deddy sekaligus heran tentang siapa pihak yang meloloskan UU Nomor 22 Tahun 2009 karena sangat tidak adil bagi para sopir truk..
"Lobi-lobinya siapa, lobi-lobi pengusaha-pengusaha? Kenapa kok tidak ada kesalahan satu pengusaha pun di situ? Tidak ada kesalahan. Coba dicek. Silakan diunduh, dan cek. Ada tidak yang menyalahkan pengusaha? Tidak ada," tegas dia.
Sebelum hadirnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau biasa disebut Omnibus Law, Dinas Perhubungan mempunyai kewenangan untuk menilang angkutan umum, truk, atau bus. Dulu, mereka biasa disebut Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Namun, setelah hadirnya Omnibus Law hadir, Dishub sudah tidak bisa menilang truk, bus, atau angkutan umum. Semua diserahkan kepada pihak kepolisian.
"Nah, polisi kan juga terbatas, jumlah personelnya, sistemnya juga terbatas. Sekarang dia kalau mau mantau bus, mantau sopir, mantau angkot, mantau angkutan pribadi, terbatas juga polisi," ujar Deddy.
"Jadi kan sebenarnya, predator di jalan raya, itu pengemudi-pengemudi itu. Mati di jalan setiap hari kan, seratus orang kurang lebih, secara nasional ya. Tapi dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja ini, itu melemahkan fungsi keselamatan," tambah dia.