Tujuh temuan Komnas HAM terkait kasus tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi anak oleh mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. [604] url asal
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) melakukan empat langkah penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi anak oleh mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Hasilnya ada tujuh temuan Komnas HAM terkait kasus tersebut.
Dilansir detikBali, langkah-langkah tersebut yakni melakukan koordinasi dan permintaan keterangan kepada Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri serta Ditreskrimum Polda NTT terkait penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut.
"Meminta keterangan dua korban anak (13 tahun dan 16 tahun), orang tua korban anak (6 tahun), dan satu tersangka yang membantu Saudara Fajar dalam melakukan tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak," ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing dalam siaran pers yang diterima detikBali, Sabtu (29/3/2025).
Komnas HAM juga melakukan koordinasi dengan jajaran Pemerintah Kota Kupang terkait pelindungan dan pendampingan korban anak. Selanjutnya, melakukan peninjauan lokasi dan permintaan keterangan saksi-saksi di tempat kejadian.
Dari temuan-temuan tersebut Fajar diketahui memanfaatkan aplikasi MiChat untuk mencari korban. Selain itu, diduga ada peran pelaku lain dalam kasus tersebut, selain dua tersangka yang telah ditetapkan.
"Fajar menggunakan perantara Saudari V untuk mencari anak di bawah umur. Saudari V kemudian meminta Saudari F (tersangka, usia 20 tahun) untuk mengaku sebagai anak Sekolah Menengah Pertama kepada Saudari Fajar," ungkap Uli.
Komnas HAM menegaskan berdasarkan sejumlah temuan tersebut telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Fajar. Menurut Uli, Fajar selaku aparat penegak hukum saat itu menggunakan relasi kuasa untuk mencabuli korban yang masih berusia 6 tahun.
"Kemudian merekam aktivitas pencabulan tersebut dan menyebarluaskan hasil rekaman tersebut," ujar Uli.
Selain itu, bentuk perbuatan melanggar HAM lainnya adalah tindakan asusila yang dilakukan oleh Fajar terhadap dua korban remaja, yang masing-masing berusia 13 dan 16 tahun.
"Eksploitasi yang dilakukan oleh Saudara Fajar patut diduga terlaksana secara sistematis dan melibatkan perantara yang harus diungkap keberadaan dan peran sertanya oleh Polda NTT dalam terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak oleh Saudara Fajar," kata Uli.
Sehingga berdasarkan hal itu, Komnas HAM menilai Fajar telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak anak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dan eksploitasi.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Maka dari itu, Komnas HAM memberikan sejumlah rekomendasi tindak lanjut kasus kepada Kapolri, Gubernur NTT, Wali Kota Kupang, serta Kementerian Komunikasi dan Digital.
Temuan-temuan tersebut dan rekomendasi Komnas HAM tersebut dibenarkan oleh Koordinator Sub Komisi Pemajuan Komnas HAM, Anis Hidayah. "Ya (kami yang mengeluarkan temuan dan rekomendasi), maaf saya masih buka puasa," kata Anis singkat saat dikonfirmasi detikBali, Sabtu malam.
LPSK menyebutkan ada 1.063 permohonan perlindungan yang diajukan oleh masyarakat kepada LPSK terkait kasus kekerasan seksual sepanjang 2024. [281] url asal
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggelar diskusi terkait hasil implementasi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). LPSK mengatakan peningkatan permintaan perlindungan terkait kasus TPKS.
Wakil Ketua LPSK Antonius Wibowo mengatakan ada 1.063 permohonan perlindungan yang diajukan oleh masyarakat kepada LPSK terkait kasus kekerasan seksual sepanjang 2024. Dia mengungkap jumlah ini meningkat sejak lahirnya UU TPKS pada 2022.
"Pada tahun 2022, yaitu tahun pertama diberlakukannya Undang-Undang TPKS, terdapat 672 permohonan perlindungan dari korban kekerasan seksual. Jumlah ini kemudian meningkat signifikan pada tahun 2024, yaitu mencapai total 1.063 permohonan," ujar Antonius Wibowo dalam acara diskusi yang digelar di auditorium gedung LPSK, Jakarta Timur, Rabu (11/12/2024).
Dia mengatakan peningkatan terjadi secara signifikan terhadap penanganan hingga pemulihan korban. Menurut dia, peningkatan terjadi selama 3 tahun belakangan atau setelah kehadiran UU TPKS.
"Begitu pula dengan harapan masyarakat terhadap penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir juga semakin meningkat," kata Antonius.
Dia mengatakan diskusi implementasi UU TPKS kali ini digelar untuk membahas penguatan layanan bagi korban kekerasan seksual. Dia mengatakan LPSK berkomitmen memberi perlindungan bagi saksi dan korban.
"Kajian ini diharapkan bermanfaat dalam mendorong strategi, penguatan, dan optimalisasi penyelenggaraan pelayanan terpadu bagi korban TPKS sehingga mendukung pelindung LPSK memperoleh pemenuhan saksi dan korban dalam proses peradilan," tutur Antonius.
"Harapan dari kajian ini adalah dapat menjadi langkah strategis dalam membangun sinergi para pemangku kepentingan dalam memberikan perlindungan yang optimal bagi saksi dan korban. Di samping itu, LPSK juga optimis dapat pula terus mengembangkan role model dalam implementasi UU TPKS di internal LPSK," imbuhnya.
Simak juga Video '5 Poin Rekomendasi Komnas HAM ke Jokowi terkait Kasus Ferdy Sambo':