Komnas HAM temukan dugaan pelaku lain dalam kasus pencabulan anak oleh eks Kapolres Ngada. Temuan ini mendukung rekomendasi untuk penegakan hukum lebih lanjut. [641] url asal
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menduga ada pelaku lain dalam kasus pencabulan anak oleh mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Komnas HAM menemukan fakta baru keterlibatan seorang perempuan berinisial V sebagai perantara jasa layanan seksual kepada Fajar.
Fakta tersebut menjadi salah satu dari tujuh temuan Komnas HAM yang mendalami kasus tersebut. Temuan-temuan itu lantas menjadi dasar Komnas HAM untuk merekomendasikan beberapa hal kepada Kapolri, Gubernur NTT, Wali Kota Kupang, dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
"Menemukan dan mengungkap peran Saudari V yang diduga perantara dan penyedia jasa layanan untuk saudara Fajar," ujar Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, dalam siaran pers yang diterima detikBali, Sabtu (29/3/2025).
Menurut Uli, tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak oleh Fajar melibatkan peran serta perantara dan dilakukan melalui aplikasi MiChat. Kemudian, Fajar melibatkan V sebagai perantara untuk mencari anak di bawah umur.
"Saudari V kemudian meminta saudari F (Stefani Doko Rehi atau Fani) untuk mengaku sebagai anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) kepada Fajar," jelas Uli.
Selanjutnya, Uli berujar, Fajar juga meminta Fani untuk dibawakan anak perempuan yang lebih muda dengan alasan suka bermain dengan anak perempuan. Fani kemudian membawa I (6), ke Hotel Kristal Kupang yang kemudian terjadinya pencabulan hingga merekam dan menyebarluaskan videonya ke situs pornografi Australia.
"(Rekaman video asusila dan disebarluaskan) tanpa diketahui Fani saat Fajar mencabuli dan merekam perbuatan asusial tersebut," ungkap Uli.
Uli meminta Mabes Polri dan Polda NTT untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh terhadap Fajar. Terutama pemeriksaan kesehatan terkait penyakit menular seksual. Sebab, hasil pemeriksaan kesehatan terhadap salah satu korban anak, positif terinfeksi penyakit menular seksual.
Temuan lain, Fajar diduga tujuh kali memesan kamar di beberapa hotel di Kota Kupang untuk mencabuli anak di bawah umur.
"Setidaknya terdapat tujuh kali pemesanan kamar di beberapa hotel di Kota Kupang atas nama saudara Fajar," ujar Uli.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan sejumlah temuan tersebut, Komnas HAM menegaskan telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Fajar. Menurut Uli, Fajar selaku aparat penegak hukum saat itu menggunakan relasi kuasa untuk mencabuli korban yang masih berusia 6 tahun.
"Kemudian merekam aktivitas pencabulan tersebut dan menyebarluaskan hasil rekaman tersebut," ujar Uli.
Bentuk perbuatan melanggar HAM lainnya adalah tindakan asusila yang dilakukan oleh Fajar terhadap dua korban remaja, yang masing-masing berusia 13 dan 16 tahun.
"Eksploitasi yang dilakukan oleh Saudara Fajar patut diduga terlaksana secara sistematis dan melibatkan perantara yang harus diungkap keberadaan dan peran sertanya oleh Polda NTT dalam terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak oleh Saudara Fajar," kata Uli.
Berdasarkan hal itu, Komnas HAM menilai Fajar telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak anak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dan eksploitasi.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan bahwa wajar terdapat perbedaan antara tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU), dan vonis dari Majelis Hakim, karena ... [202] url asal
Ada kamar-kamar. Jadi kamar penyidikan, kamar penuntut umum, kamar pengadilan, kemudian ada kamar pemasyarakatan
Jakarta (ANTARA) - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan bahwa wajar terdapat perbedaan antara tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU), dan vonis dari Majelis Hakim, karena perbedaan pendapat dalam hukum itulah hukum.
“Bahwa ada perbedaan pandangan, perbedaan pendapat, ya itulah hukum,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar di Kantor Kejagung, Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan bahwa perbedaan tersebut bisa terjadi karena terdapat kompartementasi dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
“Ada kamar-kamar. Jadi kamar penyidikan, kamar penuntut umum, kamar pengadilan, kemudian ada kamar pemasyarakatan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa ke depannya semua kompartemen tersebut harus berkolaborasi dalam rangka komitmen memberantas tindak pidana korupsi, baik dari sisi pencegahan maupun penindakan.
Selain itu, kata dia, kolaborasi diperlukan untuk mendukung misi Astacita Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Jadi, saya kira pertanyaan-pertanyaan ini juga harus disampaikan kepada kompartemen yang lain. Ya supaya kalaupun kami berada dalam kamar-kamar, tetapi kalau kamar-kamar itu berkolaborasi dan bersinergi, saya kira apa yang menjadi komitmen bersama bisa tercapai,” jelasnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Eddy Hartono mengapresiasi SMAN 13 Semarang yang dianggap berhasil menjadi model dalam menerapkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian di sekolah.
Ia mengaku bahagia melihat SMAN 13 mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip sekolah damai dengan baik.
"Sekolah ini menjadi role model yang diharapkan dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah lain di seluruh Indonesia," kata Komjen Eddy, dalam keterangan tertulis, Jumat (13/12/2024).
Hal tersebut ia ungkapkan saat melakukan kunjungan kerja ke SMAN 13 Semarang, Jawa Tengah pada Rabu (12/12). Lebih lanjut, Komjen Eddy menyampaikan jika program Sekolah Damai merupakan inisiasi BNPT bersama Wahid Foundation sejak tahun 2017 yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian di lingkungan sekolah.
Dalam kunjungannya, Komjen Eddy turut menegaskan Sekolah Damai merupakan implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
"Pelaksanaan program ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan upaya pencegahan," ujar Komjen Eddy.
Komjen Eddy mengingatkan pentingnya keberlanjutan program ini, mengingat kontribusinya yang strategis dalam membentuk generasi penerus bangsa. Ia menegaskan program sekolah damai perlu diperkuat secara berkesinambungan.
"Supaya kolaborasi kita ini bisa menciptakan generasi-generasi muda yang ke depan menjadi generasi yang bisa diandalkan, karena Indonesia Emas, ya ditentukan hari ini," tegas Komjen Eddy.
BNPT bersama mitra seperti Wahid Foundation dan AIPJ2 terus berupaya mendorong keberlanjutan program ini. Eddy menegaskan prinsip pencegahan tindak pidana terorisme harus dilaksanakan secara sistematis, terpadu, dan berkesinambungan.
Senada, Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi menyampaikan pentingnya pengembangan program Sekolah Damai agar dapat direplikasi secara luas. Lebih lanjut, Sekolah Damai tengah dipersiapkan agar bisa direplikasi sebanyak mungkin sekolah di berbagai wilayah.
"Nah saat ini yang sedang kami kembangkan adalah sistem digitalnya. Kita sebut sebagai learning management system. Ketika itu sudah final nanti akan bisa digunakan oleh makin banyak Sekolah Damai di Jawa Tengah, Pulau Jawa, maupun di luar Pulau Jawa," ujar Mujtaba.
Mujtaba menambahkan sekolah tidak hanya berperan sebagai tempat untuk memperkuat aspek kognitif, tetapi juga memiliki fungsi penting dalam membentuk budi pekerti dan karakter yang sejalan dengan cita-cita Indonesia Emas 2045. Melalui kunjungan ini, BNPT berharap program Sekolah Damai dapat terus berkembang dan menginspirasi seluruh sekolah di Indonesia untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, damai, dan inklusif.
Simak juga Video 'Mulai 2025 Guru Cukup Isi e-Kinerja Setahun Sekali':