Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Scott Bessent menyampaikan usulan perombakan besar-besaran terhadap Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan juga Bank Dunia (World Bank).
Namun, Bessent menegaskan AS tetap berkomitmen untuk mempertahankan peran kepemimpinannya di lembaga-lembaga tersebut.
Dilansir dari New York Times, Jumat (25/4/2025), komentar tersebut diungkapkan Bessent dalam pidatonya di sela-sela pertemuan musim semi IMF dan World Bank. Komentar ini juga muncul pada saat para pembuat kebijakan khawatir AS akan menarik diri sepenuhnya dari dua lembaga tersebut.
Amerika Serikat seperti diketahui telah mengubah sistem perdagangan global dalam beberapa bulan terakhir, dan pandangan pemerintahan AS tentang perubahan iklim, pembangunan internasional, dan ekuitas ekonomi sering kali bertentangan dengan pandangan negara-negara lain yang menjadi pemegang saham di IMF maupun World Bank.
Pada hari Selasa, IMF juga menurunkan prospek pertumbuhannya secara global dan di Amerika Serikat sebagai akibat dari tarif tinggi yang ditetapkan Presiden Donald Trump.
Laporan ini nampaknya dilihat AS sebagai langkah yang kurang mengesankan, apalagi mengingat Negeri Paman Sam merupakan salah satu 'pemegang saham' besar di sana.
Seperti diketahui, kebijakan tarif impor itu memicu ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, dua negara dengan kapasitas ekonomi terbesar di dunia, mengancam akan membebani produksi tahun ini dan tahun depan.
Bessent sendiri membela tindakan perdagangan pemerintahan Trump dan meminta China untuk mengekang praktik ekonomi yang menurutnya mengganggu stabilitas perdagangan internasional. Dia mencatat Amerika Serikat terlibat dalam pembicaraan perdagangan dengan puluhan negara dan menyatakan optimisme bahwa negosiasi ini akan membantu menyeimbangkan kembali ekonomi dunia dan membuat sistem perdagangan global lebih adil.
Simak juga Video: Trump Setelah Naikkan Tarif Impor: Negara-negara Mulai Menjilat Saya
Diaspora Indonesia dan WNI di AS mengungkap "kecemasan dan kekhawatiran", usai Presiden Trump memasukkan 4.276 WNI ke dalam daftar untuk segera dideportasi. [1,569] url asal
Diaspora Indonesia dan warga negara Indonesia di Amerika Serikat (AS) mengungkap "kecemasan dan kekhawatiran" mereka, usai Presiden AS Donald Trump memasukkan 4.276 WNI ke dalam daftar untuk segera dideportasi dari negara itu.
Ginokkon Aseando, WNI yang bermukim di Queens, New York, AS, mengatakan perintah deportasi ini paling utama untuk mereka yang "tidak bersurat" dan memiliki "catatan kriminal".
Sementara itu, Sinta Penyami Storms, pendiri komunitas diaspora Indonesia, Gapura Philadelphia yang mengedukasi warga negara Indonesia (WNI) mengenai hak-hak mereka di mata regulasi AS mengaku sudah lama mendengar kabar perintah deportasi kepada sejumlah WNI.
Lebih dari 4.000 WNI tersebut menerima final order removal atau perintah akhir pemindahan.
Mereka dilaporkan tidak memiliki izin legal untuk tinggal sehingga harus angkat kaki dari negara tersebut.
Final order removal ini umumnya diberikan kepada mereka yang memiliki catatan kriminal, pelanggaran imigrasi, serta status legal yang kadaluarsa.
'Saat inagurasi, langsung terjadi kepanikan, orang-orang histeris'
Sinta Penyami Storms, 47, diaspora Indonesia di Philadelphia yang sudah menjadi warga negara AS mengaku setelah Trump resmi kembali menjabat presiden AS, "terjadi kepanikan" di kalangan WNI di AS.
"Pada saat inaugurasi [Trump] itu langsung terjadi kepanikan, orang-orang histeris gitu," kata Sinta, kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (07/02).
"Kepanikan" dan "histeria" ini cukup beralasan, menurut Sinta, sebab saat itu makin banyak polisi imigrasi berkeliaran di Philadelphia Selatan.
Ini kontras dengan apa yang terjadi sebelum inaugurasi Trump pada awal Januari silam.
"Jadi situasinya memang banyak kecemasan dan kekhawatiran," kata dia.
Getty ImagesPetugas ICE Philadelphia melakukan operasi penegakan hukum di tempat pencucian mobil dan menangkap tujuh orang pada 28 Januari 2025 di Philadelphia, Pennsylvania.
"Kalau dibilang ketakutan ya mungkin ada juga, tapi lebih banyak cemas," tutur Sinta.
"Apakah saya aman kalau saya berangkat kerja, apakah saya aman kalau saya mengantarkan anak saya sekolah, atau mungkin pergi berbelanja," ujarnya kemudian.
Sita bilang hal serupa juga dialami WNI yang tinggal di wilayah lain, seperti Chicago di wilayah Barat Tengah, hingga California di pesisir Barat.
Umumnya, kata Sinta, kecemasan dan ketakutan dirasakan mereka yang masa tinggalnya sudah kadaluarsa.
Salah satu dari tujuh imigran yang ditangkap oleh petugas ICE Philadelphia dalam operasi penegakan hukum di tempat pencucian mobil pada 28 Januari 2025. (Getty Images)
Lebih lanjut, Sinta mengungkapkan kabar perintah deportasi kepada sejumlah WNI sudah lama tersiar, utamanya terhadap mereka yang mencari suaka akibat Peristiwa 1998.
"Perintah deportasi itu ada yang sudah lama sekali."
"Mereka datang dengan asylum karena kerusuhan dan turunnya Suharto dan lain-lain. Jadi yang dijadikan target adalah orang-orang yang seperti itu," jelas Sinta.
"Kalau perintah deportasi yang akhir-akhir ini mungkin enggak terlalu banyak."
Getty ImagesPenindakan petugas ICE Philadelphia terhadap imigran pada 28 Januari 2025 silam. Sebanyak delapan imigran gelap ditangkap.
Sinta mengatakan para petugas Immigration and Customs Enforcement (ICE) sejauh ini cenderung melakukan penindakan kepada para imigran asal negara-negara Amerika Latin.
Menurut Sinta, wilayah yang paling rentan bagi para imigran adalah di negara bagian Floridayang baru-baru ini mengeluarkan beleid menyasar para imigran.
Aturan yang diteken Gubernur Ron DeSantis pada Februari 2025 ini mengatur peningkatan hukuman dan penolakan pembayaran jaminan bagi imigran yang ditindak dan kedapatan tak memegang dokumen resmi.
Kebijakan ini juga mengatur hukuman mati bagi imigran yang tak memiliki dokumen valid dan tertangkap melakukan tindak pidana pembunuhan tingkat pertama dan pemerkosaan anak.
"Jadi saat ini, untuk orang-orang yang sebetulnya sangat berbahaya untuk tinggal di Florida," kata Sinta.
Dua WNI ditahan otoritas AS
Ginokkon Aseando, WNI yang bermukim di Queens, New York, AS, mengatakan kewaspadaan WNI yang bermukim dan bekerja di AS memang hal yang umum dirasakan.
Ia mencontohkan seorang temannya yang baru pindah ke AS selama satu tahun begitu sigap dalam mengurus izin perizinan tinggalnya, karena takut bermasalah di kemudian hari.
Meski begitu, ia berpendapat para WNI yang tinggal di kota New York seperti dirinya, tak perlu merasa cemas. Sebab, New York adalah salah satu kota "sanctuary".
Status sanctuary ini memungkinkan administrasi kota bisa mengambil kebijakan yang tak tegak lurus dengan aturan pemerintah federal AS, salah satunya dalam hak keimigrasian.
"Seharusnya sih aman kalau tidak melakukan kriminal," kata Nando.
Protes di New York terhadap kebijakan Presiden Donald Trump terkait imigran. (Getty Images)
Kendati begitu, dia mengaku mendengar kabar dua WNI ditindak otoritas AS. Salah dari mereka bermukim di wilayah tempat dia tinggal di New York.
"Setahu saya itu orang katanya sudah sempat daftar buat apply pergantian status imigrasi, tapi ditolak," ujar pria yang akrab disapa Nando ini.
"Pas laporan tahunan katanya ditangkap. Nah, kalau misalkan karena laporan tahunan ditangkap, seharusnya dia enggak akan dideportasi, cuma akan dirilis," jelas Nando.
Meski begitu, Nando mengaku tak tahu kondisi terkini warga yang ia ceritakan ditindak aparat setempat.
Siapa saja yang masuk dalam daftar deportasi?
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, membenarkan dua WNI ditahan oleh otoritas AS imbas dari kebijakan anti-imigran gelap Presiden Donald Trump.
"Satu ditahan di Atlanta, Georgia, dan satu ditahan di New York," kata Judha dalam konferensi pers, Jumat, (07/02).
Kedua WNI ini adalah bagian dari 4.276 WNI yang tidak memiliki dokumen imigrasi yang sah dan berstatus belum dihukum.
Judha menambahkan 4.276 orang ini merupakan bagian dari dari keseluruhan 1,4 juta orang yang masuk daftar final order removal.
Judha menyebutkan contoh kasus WNI berinisial BK di New York yang ditangkap akhir Januari 2025 lalu.
Getty ImagesSejumlah warga El Salvador yang dideportasi dari Amerika Serikat (AS) membawa barang-barang pribadi mereka saat tiba di kantor Imigrasi di San Salvadir, El Salvador, 12 Februari 2025.
Ini terjadi saat BK melakukan pelaporan tahunan di kantor Immigration and Custom Enforcement (ICE).
BK diketahui masuk daftar deportasi sejak 2009 silam.
Selain itu, Judha mengungkap ada WNI lain, berinisial TRN yang ditahan di Atlanta, Georgia pada 29 Januari.
"Saat ini hanya dua WNI yang kami dapat informasi ditahan. Kami akan terus monitor," kata Judha kepada media, Kamis (13/02), di Jakarta
Apa yang harus dilakukan ribuan WNI yang terancam dideportasi dari AS?
Judha mengatakan WNI di AS yang masuk daftar ini bisa melapor ke perwakilan diplomatik Indonesia di negeri tersebut.
Ia mengimbau agar para WNI mengetahui hak mereka sesuai hukum AS.
Judha mengatakan perwakilan diplomatik Indonesia di AS bakal memberikan pendampingan hukum.
Sebelum pengumuman daftar deportasi dari Kemenlu, Menteri Koordinator (Menko) bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Imigrasi Yusril Ihza Mahendra juga sempat menyinggung perihal rencana Presiden AS Donald Trump yang akan melakukan deportasi besar-besaran para imigran.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia mengantisipasi kebijakan presiden baru AS tersebut.
"Oleh karena kita harus bertindak melindungi warga negara kita yang ada di luar negeri. Saya kira itu normalnya kita akan lakukan," kata Yusril, seperti dikutip dari detikcom.
Apa yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia?
Akhir Januari lalu, pemerintah Indonesia juga berencana membentuk tim khusus untuk mengantisipasi isu deportasi WNI dari AS, pasca Trump terpilih.
Menteri HAM Natalius Pigai mengatakan kementeriannya bakal bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri untuk memastikan perlindungan yang bisa diberikan para WNI yang terimbas deportasi.
Ia sempat menyebut bahwa pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden AS, pihaknya mendengar ada sejumlah WNI yang mengaku resah di negara itu.
Salah satu penyebabnya karena mereka mengalami masalah dokumen imigrasi, katanya.
"Misalnya saja ada yang menetap dengan bekal visa turis atau menggunakan modus pencari suaka politik, tetapi ternyata dokumennya palsu. Ini kejadiannya ada yang terkait WNI kita juga," kata Pigai, seperti dikutip dari Antara.
Apakah pemerintah Indonesia perlu mengakomodasi pemulangan ribuan WNI?
Dengan kondisi ini, pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana mengimbau pemerintah Indonesia perlu memastikan akomodasi para WNI sekiranya kebijakan deportasi sudah final dan siap dieksekusi pemerintahan Trump.
"Siapa tahu mereka tidak punya uang. Kalau mereka tidak punya uang, ya kita bisa pick up mereka dalam satu pesawat untuk kembali ke Indonesia," kata Hikmahanto kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (14/02).
Hikmahanto mengatakan kebijakan ini tak terhindarkan karena umumnya mereka yang masuk daftar tersebut "visanya expired ataukah mungkin mereka sudah tidak sesuai dengan izin tinggalnya."
Apa perbedaan kebijakan imigran pemerintahan Trump dan Biden?
Hikmahanto mengatakan isu imigran yang mengalami masalah terkait dokumen keimigrasian ini sudah lama terdengar, namun menurutnya belum ditindak secara masif.
Pergantian rezim di AS ikut mengubah kebijakan terkait imigran, katanya.
Getty ImagesMereka yang masuk daftar deportasi ini adalah yang masa tinggalnya sudah kadaluarsa, mengalami masalah dokumen keimigrasian, dan punya catatan kriminal.
Dia menilai pemerintahan Trump lebih keras dalam mengambil kebijakan bagi para imigran, dibanding Joe Biden.
Dugaan Hikmawanto, AS di bawah Biden lebih kendur dalam menindak para imigran.
Alasannya, menurutnya, kehadiran tenaga kerja para imigran ini memang dibutuhkan untuk mendongkrak kegiatan ekonomi di AS.
"Banyak yang tahu tapi dianggap oleh pemerintah Amerika tidak terjadi, sehingga ya mereka enggak mengalami deportasi," kata Hikmahanto.
JAKARTA,iNewsPekanbaru.id – Dua warga negara Indonesia (WNI) dilaporkan ditahan oleh pihak imigrasi Amerika Serikat (AS) akibat kebijakan ketat Presiden AS, Donald Trump, yang tengah memberantas imigran ilegal. Kedua WNI tersebut ditahan di Georgia dan New York pada akhir Januari 2025.
Menurut Direktur Jenderal Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Judha Nugraha, pihaknya telah mendapatkan informasi terkait penahanan dua WNI tersebut. "Hingga saat ini, ada dua WNI yang telah ditangkap oleh pihak otoritas Amerika Serikat," kata Judha dalam konferensi pers di Jakarta yang dikutip InewsPekanbaru.id (8/2/2025).
Penahanan di Atlanta dan New York
WNI pertama, yang berinisial TRN, ditangkap di Atlanta, Georgia, pada 29 Januari 2025. Meskipun kronologi penangkapan secara rinci belum diketahui, KJRI Houston sudah berhasil menghubungi TRN dan memastikan bahwa kondisi yang bersangkutan dalam keadaan baik. TRN juga telah mendapat akses pendampingan dari pihak konsuler Indonesia dan dijadwalkan menjalani persidangan pada 10 Februari 2025.
Sementara itu, WNI kedua, berinisial BK, ditahan pada 28 Januari 2025 di New York. Saat itu, BK sedang melapor tahunan ke kantor Imigrasi dan Bea Cukai (ICE), dan diketahui bahwa ia sudah terdaftar dalam daftar deportasi sejak 2009. KJRI New York telah melakukan komunikasi melalui istri BK dan saat ini proses persidangan masih dalam pembicaraan dengan otoritas setempat.
Kemenlu Antisipasi Kebijakan Trump
Sejak kebijakan imigrasi ketat Presiden Trump diberlakukan, Kemenlu bersama dengan perwakilan Indonesia di AS telah melakukan berbagai langkah antisipasi dan koordinasi untuk membantu WNI yang berada di sana. Kemenlu juga bekerja sama dengan Diaspora Indonesia serta Indonesian American Lawyer Association (IALA) untuk memberikan edukasi mengenai kebijakan imigrasi tersebut kepada masyarakat Indonesia di AS.
Judha Nugraha menegaskan bahwa meskipun tugas negara adalah memberikan perlindungan, hal yang paling penting adalah agar WNI mematuhi hukum yang berlaku di negara tempat mereka tinggal, termasuk hukum keimigrasian. "Perlindungan yang paling hakiki itu adalah perlindungan diri sendiri dengan mematuhi, dan negara siap hadir untuk melakukan pendampingan," jelas Judha.
Kemenlu memastikan akan terus memberikan dukungan dan pendampingan kepada WNI yang mengalami masalah hukum di luar negeri, sembari menekankan pentingnya patuh terhadap peraturan setempat.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mengatakan ada dua warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan di Amerika Serikat (AS). Keduanya ditahan terkait pelanggaran keimigrasian yang diperketat usai Presiden AS Donald Trump menjabat.
"Terkait dengan kebijakan imigrasi Presiden Trump, dapat kami sampaikan bahwa hingga saat ini informasi yang kami terima ada dua WNI yang telah ditahan oleh pihak otoritas Amerika Serikat. Satu ditahan di Atlanta, Georgia, yang satu ditahan di New York," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Judha Nugraha, dalam press briefing di Kemlu RI, Jakarta Pusat, Jumat (7/2/2025).
Judha menyebut salah satu WNI yang ditahan berinisial TRN. Dia ditangkap pada 29 Januari 2025 dan saat ini sudah mendapat pendampingan. Dia mengatakan TRN akan menjalani persidangan pada 10 Februari.
"Namun KJRI Houston sudah bisa berkomunikasi dengan yang bersangkutan. Yang bersangkutan dalam kondisi baik dan sehat dan juga sudah mendapatkan akses pendampingan," kata Judha.
WNI lainnya yang ditahan otoritas AS ialah BK. Judha mengatakan BK ditangkap di New York pada 28 Januari 2025.
BK, kata Judha, ditangkap saat melakukan pelaporan tahunan di kantor Immigration and Custom Enforcement (ICE). Menurutnya, BK telah masuk daftar deportasi sejak tahun 2009.
"Yang bersangkutan sudah masuk dalam daftar deportasi sejak tahun 2009. Dan kemudian yang disangkutan mengajukan asylum (suaka), namun asylum-nya ditolak," jelas Judha.
"KJRI New York juga sudah berkomunikasi walaupun tidak secara langsung, namun dengan istri yang bersangkutan, kondisinya sehat, yang bersangkutan juga sudah memiliki akses pendampingan hukum. Kita akan monitor proses penegakan hukumnya," sambungnya.
Judha menyebut pemerintah RI menjamin para WNI mendapatkan akses kekonsuleran, perlakuan yang baik dan mendapatkan pendampingan hukum. Pihaknya menyerahkan segala proses hukum yang dijalani WNI kepada AS.
"Tugas negara dan tugas pemerintahan, bukan membebaskan mereka dari kesalahan keimigrasian yang ada di Amerika. Namun, tugas pemerintahan adalah melakukan pendampingan hukum kepada mereka, agar semua hak-hak yang disediakan oleh hukum yang ada di Amerika, itu betul-betul dipenuhi," ujar Judha.
Donald Trump telah mengumumkan perintah eksekutif mengenai aturan keimigrasian AS. Perintah itu menyasar para imigran tak berdokumen yang akan langsung dideportasi jika kedapatan oleh pihak imigrasi.
Lihat juga Video 'Iyus, Orang Indonesia Pertama yang Diterima Jadi Sopir Bus di Jepang':
Seorang tahanan Afghanistan, yang merupakan anggota Taliban, dibebaskan dari tahanan AS, dan ditukar dengan pembebasan dua warga AS yang ditahan di Afghanistan. [380] url asal
Seorang tahanan Afghanistan, yang merupakan anggota Taliban, dibebaskan dari tahanan di wilayah Amerika Serikat (AS). Pembebasan anggota Taliban ini merupakan pertukaran dengan pembebasan dua warga negara AS yang selama ini ditahan di Afghanistan, yang kini dikuasai Taliban.
Pertukaran tahanan ini, seperti dilansir Reuters, Selasa (21/1/2025), diumumkan oleh Kementerian Luar Negeri Afghanistan dalam pernyataan yang dirilis pada Selasa (21/1) waktu setempat.
Pertukaran tahanan ini terjadi pada jam-jam akhir masa jabatan mantan Presiden Joe Biden, yang telah mengakhiri masa jabatannya setelah Presiden Donald Trump dilantik pada Senin (21/1) siang waktu AS.
"Imarah Islam Afghanistan menganggap pertukaran ini sebagai contoh yang baik dalam menyelesaikan masalah melalui dialog dan menyampaikan terima kasih secara khusus kepada negara persaudaraan, Qatar, atas perannya yang efektif dalam proses ini," kata Kementerian Luar Negeri Afghanistan dalam pernyataannya.
Tahanan Afghanistan yang dibebaskan itu, menurut Kementerian Luar Negeri Afghanistan, bernama Khan Mohammed, yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan AS dan telah menjalani sebagian masa hukumannya di penjara negara bagian California.
Dia ditangkap nyaris dua dekade lalu di Provinsi Nangarhar, Afghanistan bagian timur, dan diekstradisi ke AS.
Nama dua warga AS yang dibebaskan dari tahanan di Afghanistan tidak disebutkan lebih lanjut. Juru bicara pemerintahan Taliban yang berkuasa di Afghanistan, Zabihullah Mujahid, mengonfirmasi bahwa dua warga AS telah dibebaskan, tapi dia menolak untuk menyebutkan nama mereka.
Media terkemuka AS, CNN dan New York Times, melaporkan pada Minggu (19/1) bahwa dua warga AS bernama Ryan Corbett dan William McKenty telah diserahkan dan sedang dalam perjalanan pulang ke AS pada Selasa (21/1), ditukar dengan seorang anggota Taliban bernama Khan Mohammed yang divonis atas tuduhan terorisme narkotika tahun 2008 lalu.
Dua warga negara AS lainnya, menurut laporan New York Times, masih berada dalam tahanan di Afghanistan. Keduanya diidentifikasi sebagai George Glezmann yang mantan mekanik maskapai penerbangan dan Mahmood Habibi yang seorang warga naturalisasi Amerika.
Mereka ditangkap setelah serangan AS di Afghanistan menewaskan pemimpin Al-Qaeda, Ayman al-Zawahri, pada tahun 2022 lalu.
Pertukaran tahanan ini, sebut CNN dalam laporannya, telah diupayakan dan direncanakan selama bertahun-tahun dan akhirnya terwujud pada jam-jam terakhir masa jabatan Biden sebelum Trump mengambil alih kekuasaan pada Senin (20/1).
New York Times melaporkan bahwa Qatar membantu dalam menegosiasikan kesepakatan akhir dan memberikan dukungan logistik untuk pertukaran tahanan tersebut.