Wakil Ketua Komisi XIII Sugiat Santoso merespons rencana pemerintah yang sedang merancang RUU pemulangan narapidana ke negara asal atau transfer of prisoners. [433] url asal
Wakil Ketua Komisi XIII Sugiat Santoso merespons rencana pemerintah yang sedang merancang rencana undang-undang (RUU) pemulangan narapidana ke negara asal atau transfer of prisoners. Politikus Gerindra tersebut mendukung rencana itu karena memiliki semangat kemanusiaan.
"Komisi XIII mendukung usulan pemerintah tersebut terkait rancangan UU transfer narapidana. Semangat yang disampaikan, pertama adalah konteks menjaga diplomasi, dengan negara lain, kedua kemanusiaan," ujar Sugiat, Sabtu (8/3/2025).
Menurutnya, meski berdasarkan pada kemanusiaan dengan memulangkan napi ke negaranya, namun perlu dipastikan bahwa napi tersebut tetap menjalani hukuman.
"Ketika napi sudah di sana, harus jalankan hukuman yang disepakati, kan kita bukan membebaskan," ujarnya.
Dia pun pun menyebut harus ada kesepakatan antara Indonesia dan negara asal dari narapidana yang akan dipulangkan. Sehingga, Indonesia menerima keuntungan lain dalam pengiriman napi tersebut.
"(Harus ada) kesepakatan dua negara, misal Indonesia dengan negara narapidana. Harus ada proses diplomasi," ujarnya.
Selain itu, Dia pun menyampaikan perlu ketetapan kategori napi saja yang bisa dikirim ke negara asalnya.
"(Mungkin) Pertama napi yang vonisnya bukan hukuman mati. Itu yang bisa masuk kategori pemindahan ke negara asal," katanya.
Sebelumnya, Sebelumnya, Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan saat ini pemerintah berupaya merancang undang-undang (RUU) yang mengatur pemulangan narapidana ke negara asal atau transfer of prisoners. Aturan ini diperlukan lantaran hingga saat ini belum ada UU yang mengatur pemulangan narapidana ke negara asal.
"Rancangan undang-undang terkait pemindahan narapidana masih dalam tahap persiapan. Saat ini, dasar hukum pemindahan ini masih berdasarkan hubungan baik dengan negara lain dan asas kemanusiaan," kata Yusril saat berbicara dalam Seminar Nasional Pemulangan Narapidana dalam Kajian Hukum Internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Ubaya secara virtual dilansir Antara, Sabtu (8/3/2025).
Menurut Yusril, pemulangan narapidana memiliki beberapa dasar penting, yakni hubungan baik antarnegara, aspek kemanusiaan, dan penerapan prinsip bahwa hukuman mati sudah tidak lagi berlaku di negara pemberi hukuman.
Selain itu, pemulangan narapidana ke negara asal juga dilakukan dengan syarat-syarat yang sudah disepakati kedua negara. Sejumlah syarat yang diatur yakni negara asal terpidana harus mengakui hukuman yang dijatuhkan oleh Indonesia, dan menerima sisa hukuman yang belum dijalani, kecuali hukuman mati.
Walau demikian, Yusril tidak memungkiri adanya celah hukum yang muncul dari sistem pemulangan narapidana. Celah hukum itu berpotensi meringankan beban hukuman kepada narapidana ketika sudah sampai di negara asal.
Oleh sebab itu diperlukan adanya kerja sama antarnegara untuk memastikan proses hukum dijalani narapidana sesuai dengan yang telah disepakati.
"Salah satu contoh adalah kasus Mary Jane. Dalam transfer of prisoner ini, Filipina memberikan akses kepada Kedutaan Besar Indonesia di Filipina untuk memantau perkembangan kasusnya," ujar Yusril.
RUU KUHAP yang sedang dibahas menuai kritik karena pasal-pasalnya dinilai tumpang tindih dengan kewenangan penegak hukum. Ini tanggapan pakar. [779] url asal
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas, mendapat sorotan sejumlah pihak. Sebab, ada beberapa pasal di dalamnya yang dinilai tumpang tindih dengan kewenangan lembaga penegak hukum.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof Dr I Nyoman Nurjana.
"Bicara penegakan hukum adalah bicara tentang sistem yang sudah diatur dalam KUHAP. Dalam hukum acara pidana di Indonesia, kita mengenal sistem peradilan pidana terpadu," kata I Nyoman kepada wartawan, Jumat (24/1/2025).
Menurut I Nyoman, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP tersebut dinilai ada tumpang tindih dengan kewenangan lembaga penegak hukum, khususnya antara kepolisian dan kejaksaan.
Hal itu dikhawatirkan akan merusak Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).
Nyoman menjelaskan, sistem peradilan pidana di Indonesia sudah memiliki mekanisme yang jelas berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
"Sistem peradilan kita, memiliki beberapa subsistem, yakni tahapan, prosedur, mekanisme, dan kewenangan dalam penegakan hukum," jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa kewenangan kepolisian yang dimulai dari tahapan penyelidikan dan penyidikan, sudah diatur dalam KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
"Kita ketahui bahwa kewenangan Polri dalam penegakan hukum sudah sangat jelas, termasuk penyerahan berita acara penyelidikan (BAP) kepada Kejaksaan untuk menjadi dakwaan atau tuntutan," tegasnya.
"Kepolisian tidak bisa langsung mengajukan hasil penyidikan ke Pengadilan karena itu merupakan tugas Jaksa yang membuat surat dakwaan," sambungnya.
Namun, lanjut Nyoman, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP dinilai dapat menimbulkan kerancuan dalam sistem yang sudah berjalan tersebut.
Salah satunya adalah Pasal 12 Ayat 11 yang mengatur, jika dalam waktu 14 hari polisi tidak menanggapi laporan masyarakat, maka masyarakat dapat langsung melaporkannya kepada pihak kejaksaan.
Selain itu, pasal tersebut juga memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menerima laporan masyarakat secara langsung.
"Ini harus hati-hati. Dalam sistem peradilan pidana kita, kewenangan Polri sebagai penerima laporan sudah selaras, kecuali untuk tindak pidana khusus seperti korupsi di mana Kejaksaan memang memiliki kewenangan khusus dalam penyidikan," ucap Nyoman.
Selain itu, Nyoman juga mengkhawatirkan adanya tumpang tindih dan mencegah terjadinya conflict of norms antara lembaga penegak hukum. Seperti tertuang dalam Pasal 111 Ayat 2 dalam RUU KUHAP.
Menurut Nyoman, hal itu sangat bertentangan dengan KUHAP dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kewenangan jaksa untuk menyatakan sah tidaknya penangkapan dan penahanan ini merusak mekanisme yang sudah selaras. Ini dapat menimbulkan conflict of norms dan ketidakpastian hukum," kritik Nyoman.
Nyoman mengungkapkan, perubahan kewenangan kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diperluas melalui UU Nomor 11 Tahun 2021.
Perubahan ini, termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan dan intelijen, menurutnya sudah cukup luas.
Jika kewenangan kejaksaan diperluas lagi melalui RUU KUHAP, hal ini akan semakin mengacaukan sistem peradilan pidana.
Nyoman menegaskan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia adalah sistem yang terpadu. Setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan masing-masing yang sudah diatur dalam undang-undang.
Mulai dari kepolisian yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, sedangkan untuk kejaksaan diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021, hingga pengadilan yang diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Penegakan hukum kita sudah jelas, namun jika jaksa diberikan kewenangan lebih luas, termasuk mengintervensi tahapan penyelidikan dan penyidikan yang menjadi kewenangan Polri, maka ini akan menimbulkan conflict of interest," tandasnya.
Nyoman juga mempertanyakan apakah RUU KUHAP ini merupakan perubahan dari UU Nomor 8 Tahun 1981 atau rancangan untuk menggantikan undang-undang tersebut secara keseluruhan.
"Jika ini belum jelas, maka perlu kehati-hatian. Jangan sampai perubahan ini merusak sistem yang sudah ada," pesan Nyoman.
Prof I Nyoman juga mengingatkan bahwa meskipun RUU KUHAP ini masih dalam tahap pembahasan. Namun perlu adanya masukan dari akademisi, praktisi hukum, dan pengamat hukum yang harus didengar dan diakomodasi oleh DPR RI.
"RUU ini harus dibahas lebih hati-hati. Jangan sampai adanya perubahan justru merusak sistem peradilan pidana terpadu yang selama ini kita anut," pungkasnya.