JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa tidak ada dasar hukum dari kebijakan memindahkan penahanan terpidana mati kasus narkotika Mary Jane Veloso ke Filipina.
Kebijakan tersebut, menurut Yusril, termasuk hal baru yang dilakukan pemerintahan saat ini yang disebut sebagai transfer of prisioner yaitu pemindahan narapidana ke negara asalnya dengan beberapa syarat.
“Memang belum ada aturan undang-undang yang mengatur tentang transfer of prisioner sampai sekarang. Juga belum ada yang mengatur tentang exchange of prisoners,” kata Yusril dalam keterangan video yang diterima pada Kamis (21/11/2024).
Namun, Yusril mengatakan, Indonesia memiliki banyak perjanjian kerja sama dengan sejumlah negara sahabat untuk menjalankan kebijakan pemindahan narapidana itu. Salah satunya, adalah Mutual Legal Assistance (MLA) in Criminal Matters.
“Kita memiliki banyak perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat yang disebut dengan perjanjian MLA, Mutual Legal Assitance jadi bantuan hukum, kerja sama hukum timbal balik antar kedua negara itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, Yusril menegaskan, proses pemindahan tahanan ke negara asalnya itu tetap bisa dilakukan meskipun tidak didasari oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Didasarkan pada MLA dan juga didasarkan kepada kesepakatan para pihak dan juga diskresi dari Presiden untuk mengambil satu keputusan, satu kebijakan. Ya karena undang-undang tidak mengatur, menyuruh tidak, melarang juga tidak, maka Presiden berwenang untuk mengambil satu diskresi terhadap persoalan ini,” kata Yusril menjelaskan.
Dia pun memberi contoh saat Pemerintah Australia menyita harta terpidana Hendra Rahardja untuk menjalankan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Menurut Yusril, hal itu menjadi preseden bahwa kesepakatan dua negara bisa menjadi dasar melakukan kebijakan termasuk pemindahan narapidana ke negara asalnya.
“Jadi sudah ada preseden walaupun tidak dalam konteks transfer of prisioner tapi dalam hal melaksanakan putusan pengadilan Indonesia di negara lain itu sudah ada presedennya di masa yang lalu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yusril menjelaskan perihal kebijakan transfer of prisioner yang disebutnya memiliki beberapa syarat.
Pertama, negara yang bersangkutan meminta atau memohon kepada pemerintah Indonesia supaya warga negaranya ditransfer ke negaranya.
Kedua, Yusril mengatakan, negera itu mengakui keputusan pengadilan Indonesia dan tidak mempersoalkannya. Lalu, menghormati putusan pengadilan Indonesia dalam menghukum warga negaranya yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia.
Ketiga, narapidana itu dikembalikan ke negaranya untuk menjalani sisa hukumannya. Meskipun, jika sudah diserahkan maka pembinaan terhadap narapidana itu menjadi kewenangan sepenuhnya kepada negara yang bersangkutan.
Yusril juga menegaskan bahwa kebijakan transfer of prisioner tersebut bersifat bersifat resiprokal.
“Artinya, jika sekarang ini permintaan negara yang bersangkutan kita penuhi maka suatu saat apabila nanti ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang dipidana di negara yang bersangkutan, mereka juga wajib mempertimbangkan permohonan dari negara kita untuk mengembalikan narapidana warga negara kita itu,” katanya.
Yusril pun menyinggung soal banyaknya WNI yang dipidana di negara lain seperti Malaysia dan Arab Saudi.
“Itu mungkin suatu saat setelah kita menelaah nanti, mungkin kita yang megajukan permohonan kepada pemerintah Malaysia atau kepada pemerintah Saudi Arabia supaya narapidana itu ditransfer atau dikembalikan ke Indonesia untuk menjalani sisa pidananya di Tanah Air,” ujarnya.
Masih ditahan di Lapas Yogyakarta
Sementara itu, terbaru Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan (PAS) pada Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan memastikan bahwa Mary Jane Veloso saat ini masih berada di Tanah Air dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II B Yogyakarta.
“Saat ini terpidana mati Mary Jane Veloso masih menjalani pidana dan mengikuti kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II B Yogyakarta,” kata Ketua Kelompok Kerja Humas Ditjen PAS Deddy Eduar Eka Saputra ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu, dikutip dari Antaranews.
Eduar lantas menjelaskan bahwa Menko Yusril sempat mengadakan pertemuan dengan Duta Besar Filipina untuk Indonesia, Gina Alagon Jamoralin pada Senin, 11 November 2024.
“Salah satu isi pertemuan tersebut adalah membahas penyelesaian masalah hukum yang dialami Mary Jane Veloso yang divonis mati,” ujar Eduar.
Untuk diketahui, Mary Jane ditangkap di Bandara Adisutjipto Yogyakarta pada bulan April 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin.
Kemudian, pada Oktober 2010, Mary Jane Veloso divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman.
Mary Jane lantas sempat mengajukan grasi. Tetapi, pada tahun 2014, permohonan grasi itu ditolak oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Namun, Mary Jane tak juga dieksekusi hingga 2024. Eduar pun menjelaskan alasan kenapa eksekusi tak kunjung dilakukan.
“Pada tahun 2015, eksekusi mati Mary Jane Veloso ditangguhkan di menit-menit terakhir setelah adanya penangkapan di Filipina terhadap seorang perempuan yang dicurigai merekrut Mary Jane Veloso terkait narkoba,” kata Eduar.
Sebelumnya, pada 20 November 2024, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr menyebut bahwa Mary Jane akan kembali ke Filipina.
Marcos Jr mengatakan, Mary Jane akan diserahkan ke Filipina setelah dilakukan negosiasi bertahun-tahun dengan Indonesia.
Bahkan, Marcos Jr menyebut upaya pemulangan Mary Jane sebagai “perjalanan yang panjang dan sulit”.
“Setelah lebih dari satu dekade melakukan diplomasi dan konsultasi dengan pemerintah Indonesia, kami berhasil menunda eksekusi matinya. Cukup lama untuk mencapai kesepakatan dan akhirnya (kami akan) membawanya kembali ke Filipina,” kata Marcos Jr dalam sebuah pernyataan, dikutip dari AFP.