Jakarta -
Penegakan hukum di negeri ini tak ubahnya ombak di pantai. Datang silih berganti, kadang deras menghantam karang, kadang tenang seolah tak bergerak. Jika kita menilik rekam jejaknya, penegakan hukum di Indonesia mengalami pasang surut. Dari masa ke masa, harapan publik terhadap keadilan kerap dihadapkan pada realitas yang tak selalu sesuai dengan konstitusi atau nurani.
Berbagai data dan survei menunjukkan situasi tersebut. Penegakan hukum di Indonesia mengalami dinamika yang fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, data World Justice Project Rule of Law Index mencatat bahwa skor Indonesia berada pada angka 0,53 secara konsisten sejak 2020 hingga 2023, menempatkan Indonesia di peringkat ke-66 dari 142 negara pada 2023. Meski skornya relatif stagnan, posisi Indonesia sempat naik ke peringkat 64 pada 2022 namun kembali turun dua peringkat pada tahun berikutnya. Data ini mencerminkan ketatnya persaingan global dalam memperkuat supremasi hukum.
Sementara itu, survei Indikator Politik Indonesia pada April 2024 mengungkap bahwa hanya 36,5% masyarakat yang menilai penegakan hukum di Indonesia sudah baik, sementara sisanya menganggap sedang (28,4%) atau bahkan buruk (31,1%). Lalu, dalam survei LSI Agustus 2023, terlihat bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum juga beragam: Kejaksaan Agung dipercaya oleh 74% responden, disusul pengadilan (73%), KPK (68%), dan Polri (66%).
Di tengah dinamisnya penegakan hukum itu, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh para pendiri republik muncul sebagai kekuatan korektif: media sosial. Dunia digital kini bukan hanya tempat bersuara, tetapi juga menjadi arena penegakan keadilan. Tak terhitung berapa banyak kasus hukum rakyat kecil yang baru ditindaklanjuti serius oleh aparat setelah viral lebih dahulu di Twitter, TikTok, atau Instagram.
Istilah "no viral no justice" bukan isapan jempol. Ia adalah cermin. Cermin dari kenyataan bahwa sistem penegakan hukum Indonesia belum cukup mampu menjangkau keadilan secara merata tanpa tekanan publik. Jika tidak ramai, jika tidak trending, maka suatu perkara hukum nyaris pasti akan berlalu begitu saja. Padahal, hukum seharusnya tidak bekerja berdasarkan algoritma dunia digital, melainkan berdasarkan konstitusi dan rasa keadilan.
Budaya Hukum Baru?
Media sosial kini tidak hanya menjadi penonton dari dinamika penegakan hukum, tetapi sekaligus menjadi aktor. Ia berkembang menjadi semacam "institusi" penegakan hukum tersendiri. Institusi informal yang mampu memaksa lembaga formal untuk bergerak. Kita menyaksikan bagaimana netizen bersatu dalam thread panjang, membuat analisis, membuka rekam jejak, hingga mendesak kepolisian atau kejaksaan bertindak melalui tagar dan petisi.
Dalam beberapa kasus, media sosial bahkan lebih efektif mendorong keadilan dibandingkan mekanisme formal yang berbelit dan birokratis. Namun keberadaan "institusi media sosial" ini tak bisa dibaca satu sisi. Ia adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menyelamatkan banyak kasus yang nyaris tenggelam; di sisi lain, kemunculannya justru mengindikasikan buruknya kinerja lembaga penegak hukum.
Sangatlah tidak benar jika masyarakat harus lebih dulu membuat video, membuat utas, atau memohon keadilan lewat layar ponsel agar kasus ditindaklanjuti. Jangan-jangan ini bukan hanya soal kelalaian, melainkan kegagalan struktural yang secara alamiah menghasilkan budaya hukum baru masyarakat Indonesia. Karena nyatanya, keadilan tidak hanya ditentukan oleh seberapa kuat bukti atau seberapa lengkap dokumen, tetapi juga oleh seberapa viral kasus di ruang digital.
Militerisme Bukan Jawaban
Indonesia mesti waspada dalam membaca realitas ini. Sebab sebagian pihak mulai memperjuangkan hidupnya kembali militerisme dengan dalih mengembalikan ketegasan hukum. Aksi ini, meski samar, menyusup dalam perbincangan publik seolah negara butuh tangan besi agar hukum benar-benar ditegakkan. Kini tiba-tiba militer dapat mengisi lebih banyak jabatan sipil tertentu melalui Undang-Undang TNI yang baru.
Padahal, sejarah telah mengajarkan betapa bahayanya dominasi militer dalam kehidupan sipil. Reformasi 1998 bukan tanpa alasan menekankan pentingnya supremasi sipil. Kita tidak ingin hukum ditegakkan dengan todongan senjata. Kita tidak ingin kembali ke masa di mana kritik dibalas penculikan, di mana perbedaan pendapat ditangani oleh intelijen, bukan konstitusi.
Maka, meski penegakan hukum hari ini masih jauh dari ideal, tidak cukup alasan bagi kita untuk menyerahkan kembali kehidupan sipil ke tangan militer. Solusi dari lemahnya aparat bukanlah menghidupkan kembali rezim otoriter, melainkan memperkuat institusi sipil agar mampu bekerja secara profesional dan akuntabel. Kita harus memperkuat jaksa, polisi, dan hakim. Bukan dengan ancaman, tetapi dengan integritas dan keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Prof. Satjipto Rahardjo jauh-jauh hari telah mengingatkan kita. Sistem hukum yang buruk dapat menghadirkan keadilan jika ditegakkan oleh aparat hukum yang baik.
Lepas dari semua itu, faktanya media sosial telah menjadi alat bantu penting dalam menyorot borok sistem. Namun ia bukanlah tujuan akhir. Kita tidak bisa terus-menerus menggantungkan keadilan pada viralitas. Kita harus mendorong lahirnya sistem hukum yang by design merespons keadilan rakyat, bukan karena tekanan atau tren. Hukum harus bekerja bahkan ketika tak ada kamera menyorot. Karena keadilan sejati adalah yang diam-diam menolong, bukan yang tampil karena sorak-sorai.
Indonesia berada di persimpangan. Antara harapan dan kenyataan. Antara euforia digital dan reformasi hukum substantif. Dan, di titik ini, Indonesia harus memilih jalan yang tidak hanya populer, tetapi juga konstitusional. Menegakkan hukum bukan sekadar soal menangkap pelaku atau membacakan pasal, tetapi soal membangun kepercayaan rakyat terhadap institusi negara.
Pada akhirnya, penegakan hukum bukan tugas satu orang atau satu lembaga. Ia adalah kerja kolektif bangsa. Tidak dengan kembali pada masa lalu tetapi seperti yang digariskan oleh spirit reformasi, penegakan hukum yang adil harus dibangun di atas prinsip supremasi sipil yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Zuhad Aji Firmantorodosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, salah satu pendiri Center for Economic and Law Studies (Celios)
(mmu/mmu)Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini