JAKARTA, KOMPAS.com - Menyikapi maraknya rokok ilegal, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menekankan pentingnya pemberantasan rokok ilegal di Indonesia.
Pasalnya, menurut Misbakhun, peredaran rokok ilegal dapat merusak penerimaan negara dari cukai.
"Rokok ilegal merupakan tantangan serius yang harus segera diatasi oleh Bea Cukai. Rokok ilegal jelas merusak penerimaan negara. Kita perlu mempelajari secara mendalam penyebabnya," ujar Misbakhun dalam keterangannya, Rabu (16/4/2025).
PIXABAY/DMITRIY Ilustrasi rokok.Misbakhun menuturkan, rokok ilegal muncul karena tingginya tarif cukai dan aturan harga jual eceran (HJE) yang menekan kelas rokok tertentu, sehingga mendorong praktik ilegal.
Dengan demikian, persoalan rokok ilegal tidak bisa dianggap sepele. Karena banyak pelaku yang tidak bertanggung jawab memanipulasi klasifikasi produk. Bahkan ada yang menjual rokok polos tanpa pita cukai. Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus pikirkan strategi keluar (exit strategy) yang tepat.
"Tarif cukai yang terus meningkat dan aturan HJE yang sangat ketat, justru mendorong pelaku industri kecil melakukan praktik-praktik ilegal, mulai dari penggunaan pita cukai palsu, pengklasifikasian produk yang tidak sesuai, hingga produksi rokok polos," jelasnya.
Ia menegaskan, fenomena ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, dan tidak boleh mengabaikan akar masalahnya. Cukai adalah tulang punggung penerimaan negara dengan kontribusi lebih dari Rp 200 triliun setiap tahun.
"Maka, pengawasan dan kebijakan yang adil sangat diperlukan agar sektor ini tetap sehat dan berkelanjutan," ujarnya.
Misbakhun juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas pemerintah, pelaku industri, dan seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama mencari solusi. Para pelaku rokok ilegal perlu dibina agar tertib, karena bagaimanapun juga mereka turut menyerap tenaga kerja dan menyediakan alat produksi tembakau.
PIXABAY/GERD ALTMANN Ilustrasi rokok."Jika tidak disertai dengan kebijakan yang adil, maka industri kecil akan semakin terdesak dan berpotensi masuk dalam kategori ilegal. Ini tentu tidak kita harapkan," katanya.
Anggota Komisi XI DPR Muhidin Mohamad Said, turut menyuarakan kekhawatirannya terhadap penurunan pendapatan industri rokok nasional yang terus terjadi dari tahun ke tahun.
Penurunan ini tidak hanya berdampak pada sisi produksi dan profitabilitas, tetapi juga mengancam ekosistem tenaga kerja yang bergantung pada industri tembakau.
Muhidin mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kampanye kesehatan dan perlindungan terhadap industri rokok yang legal dan mematuhi peraturan.
“Kementerian Kesehatan terus mengampanyekan larangan merokok, tapi di sisi lain, industri rokok memberikan dampak ekonomi besar. Dari petani tembakau hingga pekerja pabrik, semua bergantung pada sektor ini. Jadi, tidak bisa hanya dilihat dari aspek kesehatan saja,” ujarnya.
Muhidin menegaskan bahwa negara juga sangat bergantung pada penerimaan dari sektor cukai. Maka itu, perlunya koordinasi lintas kementerian dalam merumuskan kebijakan terkait industri tembakau.
“Kebijakan jangan dibuat sektoral. Harus ada sinergi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan kementerian lainnya. Jangan sampai kampanye kesehatan yang terlalu agresif justru mematikan industri tembakau yang legal dan patuh,” kata dia.
Adapun anggota Komisi XI DPR Wihadi Wiyanto menanggapi persoalan turunnya penjualan rokok. Komisi XI, imbuhnya, akan menyerap masukan dari para pengusaha dan mitra kerja lainnya terkait keluhan-keluhan mengenai turunnya penjualan rokok.
Pasalnya, sektor ini sangat erat kaitannya dengan penerimaan negara melalui cukai.
SHUTTERSTOCK/RISTOFORESCAN Penelitian terbaru menemukan, satu batang rokok dapat mengurnagi umur harapan hidup hingga 22 menitIa juga menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal. Menurutnya, langkah tegas sangat diperlukan untuk menjaga iklim usaha yang sehat dan adil.
“Harus ada ketegasan dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap rokok ilegal. Kita harus melihat seberapa besar pengaruh rokok ilegal terhadap penurunan jumlah pengguna rokok. Bahkan, bisa jadi ada produk sejenis yang turut memengaruhi pasar. Semua ini akan kita dalami,” tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengungkapkan hasil pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal selama ini yang menyebutkan bahwa rokok polos mendominasi rokok tanpa pita cukai.
Hal itu disampaikan Askolani saat mendampingi kunker Komisi XI DPR RI di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (15/4/2025).
Data Kementerian Keuangan menyebutkan, dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang tahun 2024 ditemukan bahwa rokok polos (tanpa pita cukai) menempati posisi teratas sebesar 95,44 persen, disusul rokok palsu sebesar 1,95 persen, salah peruntukan (saltuk) 1,13 persen, bekas 0,51 persen, dan salah personalisasi (salson) 0,37 persen.
Potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 97,81 triliun.