Prof. Nur Basuki Minarno menyoroti RKUHAP. Ia menekankan pentingnya sistem peradilan terpadu dan pembagian kewenangan yang jelas antar lembaga penegak hukum. [733] url asal
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR), Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, turut menyoroti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Nur Basuki menegaskan bahwa pembaruan hukum acara pidana di Indonesia tak cukup jika hanya bersifat teknis, tetapi juga harus mendasar dan sistemik.
Menurut Basuki, Rancangan KUHAP harus mampu menghadirkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) melalui pembagian kewenangan yang jelas dan sinergitas antar lembaga penegak hukum.
"Perlu diatur secara eksplisit pembagian kewenangan atau differensial fungsional antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat agar tidak terjadi tumpang tindih. Dengan kewenangan yang tegas, sinergitas antar sub-sistem bisa dibangun dalam kerangka koordinasi yang setara," tegas Prof. Basuki kepada wartawan, Jumat (9/5/2025).
Nur Basuki menyatakan, pendekatan terhadap sistem peradilan pidana harus didesain sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan fragmentaris.
Pilihan terhadap pendekatan sistem secara otomatis meniscayakan hadirnya sub-sistem peradilan pidana yang kuat, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga koreksi, dan advokat.
"Masing-masing institusi itu harus memiliki distribusi kewenangan yang jelas dan tidak saling mendominasi, agar memungkinkan terjadinya koordinasi fungsional yang setara," ujarnya.
Lebih jauh, Prof. Basuki menekankan bahwa dalam sistem hukum yang terintegrasi, setiap sub-sistem harus diposisikan sebagai 'pengendali perkara' dalam domainnya masing-masing.
Artinya, semua lembaga penegak hukum (baik kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, pengadilan sebagai pemberi keputusan, maupun advokat sebagai pendamping pencari keadilan) harus duduk setara secara fungsional.
"Koordinasi fungsional yang setara akan memastikan bahwa tidak ada satu institusi yang mendominasi proses. Tidak boleh ada intervensi lintas kewenangan. Setiap sub-sistem harus sadar pada batas perannya. Inilah prasyarat penting untuk membangun sistem peradilan pidana yang profesional dan akuntabel," terang Prof. Basuki.
Ia juga menyoroti pentingnya sistem pengawasan yang dibangun tidak hanya secara vertikal (dari atas ke bawah), tetapi juga secara horizontal antar sub-sistem penegak hukum. Menurutnya, pengawasan horizontal menjadi kunci untuk menciptakan mekanisme check and balance yang sehat di antara para penegak hukum.
"Batas kewenangan yang tegas akan mendorong munculnya mekanisme pengawasan horizontal. Ini sangat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power), dan proses penegakan hukum berjalan secara adil dan proporsional," ungkapnya.
Bahkan Prof. Nur Basuki juga tidak sependapat apabila ideologi di dalam KUHAP berbentuk crime control model, tetapi lebih mendekati due process model.
KUHAP telah menganut adanya prinsip akusator, yang dimana tersangka dipandang sebagai subjek pemeriksaan, bukan sebagai objek pemeriksaan.
Dalam konteks ini, Prof. Basuki juga menekankan bahwa keberadaan advokat sebagai bagian dari sub-sistem peradilan pidana harus diperkuat. Ia melihat bahwa advokat selama ini masih kerap dipinggirkan dalam proses awal penyidikan.
"RKUHAP harus menjamin hak pendampingan hukum sejak awal, agar posisi klien terlindungi. Ini bagian dari jaminan keadilan dan prinsip due process of law," tambahnya.
Prof. Basuki menilai bahwa beban kerja kepolisian yang selama ini cukup berat dalam penyelidikan dan penyidikan tidak boleh semakin dibebani oleh ketidakjelasan kewenangan lembaga lain.
"Jika tidak ada pembagian tugas yang jelas, penyidikan bisa terganggu, keadilan bisa kabur. RKUHAP harus menghindari potensi konflik kewenangan antara polisi dan jaksa, misalnya dalam menetapkan siapa yang berwenang menilai kelengkapan berkas perkara," jelasnya.
Ia menutup penjelasannya dengan menegaskan bahwa keberhasilan reformasi sistem peradilan pidana hanya akan terwujud apabila seluruh aktor hukum memiliki komitmen terhadap pendekatan sistem.
"Jangan ada ego sektoral. Keadilan restoratif, efisiensi proses, dan perlindungan hak asasi hanya bisa dicapai dalam sistem yang tertata, terkoordinasi, dan saling mengawasi," pungkasnya.
Rancangan KUHAP 2025 mendapat sorotan akademisi. Prof. Nyoman menekankan pentingnya pembaruan hukum untuk penegakan hukum yang adil dan berintegritas. [580] url asal
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi Maret 2025 yang segera dibahas oleh DPR RI mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi. Rancangan KUHAP harus menjadi alat reformasi dan refleksi karakter hukum bangsa Indonesia.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya menekankan pentingnya pembaruan hukum acara pidana sebagai langkah strategis untuk menciptakan sistem penegakan hukum yang bermartabat, adil, dan berintegritas.
"Jika kita ingin penegakan hukum yang bermartabat dan berintegritas, maka semua lembaga penegak hukum harus satu sistem, memiliki pedoman yang sama, serta menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia," ujar Prof Nyoman kepada wartawan, Rabu (7/5/2025).
Lebih jauh Prof Nyoman menyatakan bahwa penyusunan Rancangan KUHAP harus mampu merespons perkembangan zaman dan tantangan global yang kian kompleks.
"KUHAP yang sedang dirancang ini harus menjadi jawaban atas kebutuhan zaman. Reformasi hukum acara pidana wajib mempertimbangkan dinamika sosial, perkembangan teknologi, serta tantangan global yang terus berubah," ungkapnya.
Prof Nyoman menilai pembaruan hukum acara pidana melalui RKUHAP menjadi momentum krusial untuk mengoptimalkan kinerja lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian.
Dalam naskah RKUHAP, telah tersirat pengaturan yang lebih tegas dan jelas terkait pembagian kewenangan pra-penuntutan, penyelidikan, dan penyidikan, terutama yang menjadi ranah utama Polri.
Menurut Prof Nyoman hal ini akan menjadi tantangan besar bagi institusi Polri. Karena Rancangan KUHAP mengharuskan polisi menempatkan diri secara profesional dan memainkan peran strategis dalam penegakan hukum yang menjunjung tinggi HAM dan kepastian hukum.
"Kewenangan dalam tahap investigasi, penyidikan, hingga pro justisia harus dilaksanakan dengan tanggung jawab yang tinggi," ujarnya.
Sementara dalam proses penyelidikan harus transparan dan akuntabel, termasuk dengan kewajiban memasang CCTV untuk menjamin perlindungan tersangka maupun terdakwa.
Hal ini merupakan wujud nyata implementasi prinsip due process of law yang semakin diperkuat dalam sistem hukum nasional.
"Polri harus mempersiapkan diri menghadapi regulasi baru yang akan diundangkan. Ketika KUHAP disahkan dan diberlakukan secara nasional melalui UU No. 1 Tahun 2023 sebagai dasar hukum nasional, maka profesionalisme, integritas, dan hati nurani harus menjadi fondasi utama dalam menjalankan fungsi penegakan hukum," jelasnya.
Prof Nyoman juga menyoroti pentingnya pemahaman dan pembagian peran yang jelas dalam setiap tahapan penanganan perkara pidana, terutama terkait peran penyidik dan penyelidik.
Hal ini bertujuan agar proses hukum berjalan secara efektif dan tidak tumpang tindih antar institusi.
"Rancangan KUHAP harus menjadi refleksi karakter hukum kita. Pembaruan ini adalah peluang emas untuk membangun sistem hukum acara pidana yang modern, terintegrasi, dan berakar pada nilai-nilai keadilan sosial," pungkasnya.
Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana (KUHAP) disebut telah mengakomodir masukan dari berbagai pihak. Dorongan pun muncul agar Rancangan KUHAP segera disahkan oleh DPR RI.
Harapan ini disampaikan sejumlah pakar hukum dalam Seminar Nasional (Semnas) bertajuk 'Implikasi RKUHAP Terhadap Optimalisasi Kinerja Lembaga Penegak Hukum (LPH) yang Bermartabat dan Berintegritas' yang digelar di Hotel Ijen Suites, Kota Malang, Kamis (17/4/2025).
"KUHAP sebagai hukum acara pidana harus selesai dan disahkan sebelum 1 Januari 2026. Seiring dengan berlakunya KUHP baru," kata guru besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya kepada wartawan usai seminar.
Nyoman mengatakan draf KUHAP yang baru dikatakan lebih akomodatif dikarenakan telah mengakomodir aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat.
"Dilihat dari perspektif perubahannya adalah perlindungan hak asasi manusianya baik untuk tersangka, terdakwa, saksi dan korban. Karena kita negara demokratis," bebernya.
"Selain menegaskan kewenangan dari masing-masing lembaga penegak hukum, pada proses peradilan hukum pidana. Poinnya di sana," sambungnya.
Dengan begitu, lanjut Nyoman, harapan berikutnya adalah mengawal rancangan KUHAP untuk dapat segera disahkan oleh DPR RI.
"Sehingga kemudian harapan kita semua dalam pembahasannya nanti ada wakil-wakil rakyat kita bersama pemerintah akan membahas itu. Jangan ada konflik kepentingan. Makanya kita harus mengawal," tegasnya.
Nyoman menambahkan bahwa KUHAP sebagai lex generalis perlu segera dituntaskan agar terjadi harmonisasi dengan undang-undang sektoral lainnya seperti Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang Kehakiman, dan Advokat bisa berjalan selaras.
"KUHAP ini merupakan lex generalis yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Baru kemudian membahas lex spesialis seperti Undang-Undang Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Advokat," imbuhnya.
Sementara Prof. Dr. Sadjijono, SH, M.H mengungkapkan, bahwa KUHAP menjadi tolak ukur sah dan tidaknya suatu tindakan yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum.
KUHAP bahkan diibaratkan sebagai 'buku putih' yang menjadi instrumen keabsahan seluruh proses hukum acara pidana.
"KUHAP menjadi buku putih KUHP. Jadi harus ada keselarasan. Makanya KUHAP harus segera disahkan, karena KUHP baru akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026 nanti," ungkapnya.
Hal sama juga disampaikan oleh Prof Dr. Tongat, SH, M.Hum yang menyoroti hakikat hukum sebagai representasi kehendak masyarakat yang tak selalu bisa terumuskan secara utuh dalam undang-undang.
Kendati begitu, Tongat juga mendorong agar Rancangan KUHAP bisa segera disahkan.
"Perubahan KUHAP akan sempurna tidak mungkin. Tapi harus segera disahkan karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP baru) akan berlaku mulai 1 Januari 2026," tandasnya.
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyebut tidak banyak perubahan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) aparat penegak hukum (APH) dalam revisi Kitab ... [401] url asal
Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyebut tidak banyak perubahan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) aparat penegak hukum (APH) dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Terkait dengan tupoksi di antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, saya rasa tidak banyak berubah, hampir enggak ada,” kata dia saat ditemui di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Selasa.
Berdasarkan draf yang diterima dari DPR, menurut Supratman, revisi KUHAP lebih banyak mengatur soal hak-hak tersangka. Selain itu, revisi KUHAP juga menyangkut soal pengaturan keadilan restoratif.
“Kalau saya lihat, ya, dari draf yang dari DPR terkait KUHAP itu lebih banyak terkait dengan perlindungan kepada orang yang diduga melakukan [tindak pidana]. Dalam hal, ini adalah tersangka,” ujarnya.
Dia pun menyebut revisi KUHAP didominasi pengaturan yang menyangkut soal perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Menurut Menkum, pihaknya sedang menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi KUHAP. Dalam hal ini, Kementerian Hukum akan berkoordinasi dengan sejumlah kementerian/lembaga terkait, termasuk Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Polri, dan Kementerian Sekretariat Negara.
“Untuk meminta masukan dalam rangka penyusunan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa KUHAP yang baru akan menjamin HAM.
“Saya berkeyakinan bahwa KUHAP baru kita ini akan mengekspresikan amandemen UUD NRI Tahun 1945 tentang HAM,” ucap Yusril saat ditemui di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta, Kamis (20/3).
Ia menjelaskan, salah satu bentuk penjaminan hak asasi manusia dalam KUHAP baru ialah penegasan mengenai batas waktu status tersangka.
Dia menyebut draf KUHAP baru mengatur status tersangka paling lama untuk dua tahun.
Menurut dia, penetapan status tersangka terhadap seseorang dapat menciptakan beban moral. Namun, KUHAP yang lama belum mengatur batas waktu yang jelas kapan status tersangka berakhir jika tidak kunjung diadili di pengadilan.
Dengan begitu, selain menjamin HAM, Yusril meyakini bahwa KUHAP baru juga menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Rapat Paripurna Ke-13 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.
RUU KUHAP juga masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan oleh Komisi III DPR RI. RUU ini dinilai penting untuk segera dibahas karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan berlaku mulai tahun 2026.
Pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang baru mulai menghangat di daerah. Para pakar hingga akademisi bersuara terkait RUU KUHAP tersebut.
Di Kabupaten Sumedang para pakar berdiskusi mengenai RUU KUHAP ini. Diskusi dengan tema Aspek Krusial dalam RKUHAP: Perubahan, Dampak dan Implementasi, di Sumedang kali ini dibahas langsung oleh beberapa pakar yang di antaranya Asoc. Prof. Dr. Andika Dutha Bachari, S.Pd., S.H., M.Hum.CCD selaku Pakar Linguistik Hukum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), serta Dr. Somawijaya, SH., MH dari Pakar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad).
Pembahasan sendiri dimulai dari Asoc. Prof. Dr. Andika Dutha Bachari. Andika menyampaikan RKUHAP ini harus dikawal oleh masyarakat. Sebab, ia menilai salah satu isi dalam RKUHAP berkaitan dengan kekuasaan tunggal pada level peradilan di Republik Indonesia.
"Ini sangat penting dan yang harus kita kawal itu kita harus menolak segala bentuk agenda yang ingin memposisikan salah satu sistem peradilan kita itu menjadi superior. Menjadi faktor determinasi yang menentukan di level peradilan," ujar Andika dalam seminar yang digagas Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumedang, pada Kamis (6/3/2025).
Tak hanya itu, Andika pun juga menganggap bahwa jika kekuasaan tunggal ditempatkan secara menonjol dalam sub sistem peradilan dapat mengancam demokrasi di Tanah Air.
"Kalau sampai ada salah satu sub sistem yang ditempatkan menonjol ini selain mengganggu disharmonisasi di antara sub sistem dalam peradilan kita ini akan mengancam demokrasi kita sebagai negara mengklaim negara hukum," ungkapnya.
"Semua masyarakat wajib untuk mengawal RKUHAP ini betul-betul tidak menjadi agenda terselubung bagi pihak-pihak yang ingin menempatkan salah satu subsistem dalam peradilan pidana kita menjadi faktor yang determinasi," sambungnya.
Sementara itu, pemateri kedua dalam pembahasan ini yakni Dr. Somawijaya, SH., MH. Somawijaya juga beranggapan bahwa RKUHAP ini perlu dikawal oleh berbagai elemen masyarakat. Sebab, dalam isi RKUHAP terdapat pembatasan kepentingan seperti kewenangan dari APH.
"Ini salah satu ikhtiar kepedulian dari masyarakat ini sangat penting bahwa rancangan KUHAP ada beberapa hal yang perlu kita kawal, meskipun itu secara norma sudah betul tapi kan dalam ini kan perlu ada beberapa hal yang dibatasi dalam beberapa kepentingan, termasuk kewenangan-kewenangan dari APH baik itu dari kepolisian, kejaksaan, sampai dengan hakim," kata Somawijaya.
"Meskipun ada beberapa hal yang baru tentu harus diimbangi dengan ketat dan harus ada pengawas. Harus ada pengawas itu menjadi kata kunci. Jadi intinya kalau meskipun rancangan KUHAP ini memang memberikan suatu kemajuan terutama perlindungan pada hak asasi," pungkasnya.