MEDAN, KOMPAS.com - Dua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara (Sumut) berjanji akan berpihak kepada pejuang hak asasi manusia (HAM).
Pada Pilgub Sumut 2024, ada ada dua pasangan calon (paslon) yang berkompetisi, yakni paslon nomor urut 1, Bobby Nasution-Surya, serta paslon nomor urut 2, Edy Rahmayadi dan Hasan Basri.
Hasan menyampaikan bahwa di dalam visi misi Edy-Hasan, pemerintah provinsi perlu bekerja sama dengan kelompok-kelompok organisasi nonpolitik atau pun aktivis, yang selama memiliki tujuan untuk melestarikan alam dan kemanusiaan.
“Siapa pun yang menjaga kemanusiaan dan alam harus kita dukung dan perhatikan. Sudah wajib itu. Karena, pemerintah pastinya tidak bisa berjalan sendiri sehingga perlu bekerjasama dengan para pejuang semacam itu,” kata Hasan kepada Kompas.com melalui saluran telepon.
Menurutnya, secara ideal pemerintah tak seharusnya bertentangan dengan aktivis HAM atau pun pejuang lingkungan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Namun, tak dapat dipungkiri, kerap kali terjadi perbedaan kepentingan di lapangan.
“Makanya, titik persamaan ini yang harus selalu kita tonjolkan, yakni sama-sama pro dengan kelestarian lingkungan dan HAM. Saya kira semua aktivis lingkungan, HAM, jurnalis, bekerja berdasarkan kecintaan pada alam hingga keterbukaan dan itu dilindungi UU,” ucap Hasan.
“Makanya, tak boleh ada kriminalisasi kepada aktivis. Saya kira, keberpihakan itu akan dilakukan,” tegas Hasan.
Hal senada pun disampaikan pasangan Bobby-Surya melalui Wakil Ketua Tim Pemenangannya, Sugiat Santoso.
Ia menyampaikan, ada pendekatan khusus yang nantikan akan dilakukan Bobby-Surya bila mendapati aktivis HAM jadi korban kekerasan.
“Lagi-lagi, yang rekam jejaknya clear terkait penegakan HAM di Sumut ya Bobby-Surya ketimbang Edy Rahmayadi yang pernah menjadi Pangdam I/BB dan punya rekam jejak menarik baju petani penggarap. Saya pikir Bobby-Surya di dalam isu itu jauh lebih unggul,” ujar Sugiat saat dihubungi Kompas.com melalui saluran telepon.
“Jadi, pendekatannya bagaimana bisa duduk bersama mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang mereka suarakan pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Ya kita akan hadir bagi mereka,” tambahnya.
Di lain pihak, Juniaty Aritonang, Sekretaris Eksekutif Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu) yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumut (Jamsu), menyampaikan, kekerasan terhadap pejuang HAM atau pun aktivis yang menyuarakan kepentingan publik masih sering terjadi.
“Bakumsu mencatat 42 kasus kekerasan terhadap pejuang HAM dari Januari hingga November 2024, yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara,” kata Juniaty saat dihubungi Kompas.com melalui saluran telepon.
Jenis kekerasan yang dialami, di antaranya intimidasi dan serangan fisik berjumlah 19 kasus.
Tindakan itu kerap kali terjadi saat pejuang HAM menggelar aksi demonstrasi di beberapa titik krusial.
“Dari catatan kami, untuk korban kekerasan, dari kalangan jurnalis ada 3 kasus, masyarakat adat 9 kasus, mahasiswa ada 5 kasus, warga desa ada 11 kasus, aktivis NGO ada 10 kasus, dan masyarakat umum 4 kasus,” ujar Juniaty.
“Pelaku terbanyak berasal dari aparat negara, khususnya polisi dengan 17 kasus. Diikuti aktor non-negara seperti preman dan satpam perusahaan,” tambahnya.
Ia pun menegaskan bahwa dari rentetan kasus tersebut, kepala daerah setingkat gubernur kerap kali absen atau pun tak punya sikap yang tegas.
Padahal, sewaktu masa kampanye, para calon kepala daerah selalu menggaungkan untuk kepentingan rakyat.
“Nyatanya, kita selalu mendapati, justru mereka menutup mata dan parahnya lagi, menjadi lawan dari para pejuang HAM tersebut,” tutupnya.