Kuasa hukum KPU Sumut, Unoto Dwi Yulianto ditegur Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo gara-gara memaparkan data partisipasi pemilih tanpa membawa bukti. [827] url asal
Kuasa hukum KPU Sumatera Utara (Sumut), Unoto Dwi Yulianto ditegur Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo gara-gara memaparkan data partisipasi pemilih tanpa membawa bukti. KPU pun diminta melampirkan bukti saat bicara.
Dilansir detikNews, teguran itu disampaikan saat Suhartoyo memimpin sidang perkara 247/PHPU.GUB-XXIII/2025 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2025). Awalnya Unoto memaparkan terkait dalil dari pasangan Cagub-Cawagub Sumut nomor urut 2, Edy Rahmayadi-Hasan Basri, yang menyebut partisipasi pemilih di Sumut rendah.
"Bahwa terkait dengan partisipasi pemilih yang rendah menurut permohonan pemohon, jika saja pemohon lebih fair, lebih jujur dan terbuka, maka berdasarkan fakta dan perbandingan pemilihan serentak tahun 2024 itu 68%, partisipasi pemilihan Pilpres dan Pileg 81%, pemilihan serentak 2020 76% Yang Mulia dan jika dibandingkan dengan Pilgub di tahun 2024 pemilihan Gubernur Jakarta," kata Unoto yang dipotong oleh Suhartoyo.
Asal data partisipasi pemilih 68% tersebut dipertanyakan Suhartoyo. Unoto lantas menjawab jika data itu berasal dari berita.
"Datanya dari mana yang 68%?" tanya Suhartoyo.
"Dari berita," jawab Unoto.
"Berita apa?" tanya Suhartoyo.
"Nanti akan kita susulkan jadi bukti," jawab Unoto.
Suhartoyo lantas mempertanyakan asal usul data tersebut. Unoto mengatakan bukti itu belum diajukan ke MK.
"Belum diajukan?" tanya Suhartoyo.
"Belum," jawab Unoto.
Suhartoyo lalu menegur Unoto karena bicara tanpa bukti di sidang MK. Suhartoyo mengatakan jika hal-hal yang disampaikan di MK harus memiliki bukti.
"Ini pengadilan kalau ngomong harus ada buktinya," tegur Suhartoyo.
"Baik Yang Mulia," jawab Unoto.
"Kok dari berita ini? Beritanya bapak dan beritanya sana?" tanya Suhartoyo.
"Berita pernyataan dari KPU Yang Mulia. KPU RI dari pusat," jawab Unoto.
Unoto mengatakan jika di Sumut ada 108 TPS yang melakukan pemungutan suara susulan (PSS) dan delapan TPS pemungutan suara lanjutan (PSL). Unoto mengatakan TPS-TPS itu berada di lima kabupaten/kota.
"Di luar dari itu, meskipun nomenklatur-nya susulan atau lanjutan kan tetep bisa dilaksanakan, yang sama sekali tidak bisa dilaksanakan karena banjir ada tidak?" tanya Suhartoyo.
"Tidak ada," jawab Unoto.
Unoto membantah dalil pemohon terkait dugaan adanya pelanggaran TSM. Unoto mengatakan tidak ada keterlibatan penyelenggara pemilu dalam pemenangan pasangan nomor urut 1 Bobby Nasution-Surya.
"Menurut dalil pemohon di TPS 3 Kelurahan Darat, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, daftar hadir pemilih tidak diisi dan ditandatangani oleh setiap pemilih yang datang ke TPS, sehingga patut diduga jumlah pemilih yang hadir pada tanggal 27 November bukanlah Pemilu yang sebenarnya, ini dalil pemohon," ujarnya.
"Termohon telah menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu Kota Medan dengan cara memanggil KPPS dari TPS 3 untuk Kelurahan Darat, Medan Baru, dalam klarifikasi tersebut ditemukan fakta bahwa ternyata KPPS beserta seluruh penyelenggara yang ada di TPS lupa untuk meminta pemilih mengisi daftar hadir," sambungnya.
Anggota KPU Sumatera Utara, Raja Ahab Damanik, menjelaskan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Sumut mengenai tidak ditandatanganinya daftar hadir pemilih. Raja mengatakan petugas KPPS lalu mendatangi para pemilih untuk meminta tanda tangan.
"Kami sudah tindak lanjuti dengan cara mendatangi pemilih dari rumah ke rumah untuk dimintai tanda tangannya. Hal ini dilakukan berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh pengawas TPS untuk dilaksanakan dan itu sudah disaksikan oleh saksi dari masing-masing paslon dan itu sudah kita lampirkan alat bukti," ujarnya.
Dalam petitumnya, KPU meminta MK menolak permohonan Edy-Hasan. KPU juga meminta MK menyatakan benar dan tetap berlaku keputusan KPU Pemilihan Umum Sumatera Utara Nomor 495 tahun 2024.
"Menetapkan perolehan suara sebagai berikut, paslon 1 sebesar 3.645.611 dan paslon 2 sebesar 2.009.311," tuturnya.
Pihak Cagub-Cawagub Sumut nomor urut 1 Bobby Nasution-Surya turut menepis tudingan Edy Rahmayadi. Pihak Bobby menyatakan tak ada pengerahan ASN ataupun cawe-cawe dari Pj Gubernur Sumut Agus Fatoni.
"Tidak benar, karena faktanya yang diundang oleh Pj Gubernur Sumatera adalah seluruh Bupati-Wali Kota Sumatera Utara. Kehadiran Bobby hanya memenuhi undangan sama halnya dengan pejabat bupati lainnya di seluruh Sumatera Utara," ujar pengacara tim Bobby-Surya. Bobby sendiri merupakan Wali Kota Medan.
Sebelumnya, Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala menggugat hasil Pilgub Sumut ke MK. Dalam gugatannya, Edy-Hasan mendalilkan adanya keterlibatan ASN hingga penyelenggara pemilu dalam kemenangan pasangan nomor urut 1 Bobby Nasution-Surya di Pilgub Sumut.
MEDAN, KOMPAS.com - Dua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara (Sumut) berjanji akan berpihak kepada pejuang hak asasi manusia (HAM).
Pada Pilgub Sumut 2024, ada ada dua pasangan calon (paslon) yang berkompetisi, yakni paslon nomor urut 1, Bobby Nasution-Surya, serta paslon nomor urut 2, Edy Rahmayadi dan Hasan Basri.
Hasan menyampaikan bahwa di dalam visi misi Edy-Hasan, pemerintah provinsi perlu bekerja sama dengan kelompok-kelompok organisasi nonpolitik atau pun aktivis, yang selama memiliki tujuan untuk melestarikan alam dan kemanusiaan.
“Siapa pun yang menjaga kemanusiaan dan alam harus kita dukung dan perhatikan. Sudah wajib itu. Karena, pemerintah pastinya tidak bisa berjalan sendiri sehingga perlu bekerjasama dengan para pejuang semacam itu,” kata Hasan kepada Kompas.com melalui saluran telepon.
Menurutnya, secara ideal pemerintah tak seharusnya bertentangan dengan aktivis HAM atau pun pejuang lingkungan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Namun, tak dapat dipungkiri, kerap kali terjadi perbedaan kepentingan di lapangan.
“Makanya, titik persamaan ini yang harus selalu kita tonjolkan, yakni sama-sama pro dengan kelestarian lingkungan dan HAM. Saya kira semua aktivis lingkungan, HAM, jurnalis, bekerja berdasarkan kecintaan pada alam hingga keterbukaan dan itu dilindungi UU,” ucap Hasan.
“Makanya, tak boleh ada kriminalisasi kepada aktivis. Saya kira, keberpihakan itu akan dilakukan,” tegas Hasan.
Hal senada pun disampaikan pasangan Bobby-Surya melalui Wakil Ketua Tim Pemenangannya, Sugiat Santoso.
Ia menyampaikan, ada pendekatan khusus yang nantikan akan dilakukan Bobby-Surya bila mendapati aktivis HAM jadi korban kekerasan.
“Lagi-lagi, yang rekam jejaknya clear terkait penegakan HAM di Sumut ya Bobby-Surya ketimbang Edy Rahmayadi yang pernah menjadi Pangdam I/BB dan punya rekam jejak menarik baju petani penggarap. Saya pikir Bobby-Surya di dalam isu itu jauh lebih unggul,” ujar Sugiat saat dihubungi Kompas.com melalui saluran telepon.
“Jadi, pendekatannya bagaimana bisa duduk bersama mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang mereka suarakan pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Ya kita akan hadir bagi mereka,” tambahnya.
Di lain pihak, Juniaty Aritonang, Sekretaris Eksekutif Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu) yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumut (Jamsu), menyampaikan, kekerasan terhadap pejuang HAM atau pun aktivis yang menyuarakan kepentingan publik masih sering terjadi.
“Bakumsu mencatat 42 kasus kekerasan terhadap pejuang HAM dari Januari hingga November 2024, yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara,” kata Juniaty saat dihubungi Kompas.com melalui saluran telepon.
Jenis kekerasan yang dialami, di antaranya intimidasi dan serangan fisik berjumlah 19 kasus.
Tindakan itu kerap kali terjadi saat pejuang HAM menggelar aksi demonstrasi di beberapa titik krusial.
“Dari catatan kami, untuk korban kekerasan, dari kalangan jurnalis ada 3 kasus, masyarakat adat 9 kasus, mahasiswa ada 5 kasus, warga desa ada 11 kasus, aktivis NGO ada 10 kasus, dan masyarakat umum 4 kasus,” ujar Juniaty.
“Pelaku terbanyak berasal dari aparat negara, khususnya polisi dengan 17 kasus. Diikuti aktor non-negara seperti preman dan satpam perusahaan,” tambahnya.
Ia pun menegaskan bahwa dari rentetan kasus tersebut, kepala daerah setingkat gubernur kerap kali absen atau pun tak punya sikap yang tegas.
Padahal, sewaktu masa kampanye, para calon kepala daerah selalu menggaungkan untuk kepentingan rakyat.
“Nyatanya, kita selalu mendapati, justru mereka menutup mata dan parahnya lagi, menjadi lawan dari para pejuang HAM tersebut,” tutupnya.