Tumpang tindih kewenangan dalam RUU KUHAP menjadi sorotan banyak pihak. Integritas sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai dapat terganggu. [701] url asal
Tumpang tindih kewenangan dalam RUU KUHAP menjadi sorotan banyak pihak. Integritas sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai dapat terganggu.
Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) Dr. Arfan Kaimuddin. Arfan menyampaikan kritik tajam terhadap beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Menurut Arfan salah satu pasal yang disoroti adalah Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP, yang mengatur bahwa jika dalam waktu 14 hari laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, masyarakat dapat langsung mengajukan laporan kepada kejaksaan.
Arfan menilai ketentuan tersebut berisiko menimbulkan dualisme kewenangan antara penyidik kepolisian dan kejaksaan.
"Kewenangan penyidikan adalah bagian integral dari sistem peradilan pidana yang diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP. Jika kejaksaan diperbolehkan untuk langsung memproses laporan tanpa melalui mekanisme penyidikan polisi, ini dapat menciptakan ketidakharmonisan dalam proses hukum," kata Arfan kepada wartawan, Senin (27/1/2025).
Sebagai lulusan doktoral hukum dengan konsentrasi hukum pidana, Dr. Arfan juga menegaskan bahwa pembagian kewenangan antara penyidik dan jaksa penuntut umum didasarkan pada asas specialty dan separation of powers.
Setiap lembaga memiliki peran dan fungsi yang spesifik untuk menjaga akuntabilitas serta mencegah intervensi yang tidak semestinya.
Arfan juga menyoroti dampak negatif Pasal 12 Ayat 11 terhadap asas due process of law. Dalam sistem hukum pidana, penyidikan merupakan tahap awal yang sangat sensitif dan harus dijalankan dengan prosedur ketat.
"Jika penuntut umum langsung terlibat dalam proses penyidikan, hak-hak tersangka bisa terancam karena proses hukum yang ideal mengharuskan adanya pembagian kewenangan yang jelas," tambah pria Kelahiran Kota Ambon ini.
Selain itu, Arfan mengungkapkan bahwa ketentuan ini dapat membebani kejaksaan dengan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab penyidik.
Fungsi utama kejaksaan adalah memproses perkara berdasarkan hasil penyidikan, bukan melakukan investigasi awal.
Dalam analisisnya, Arfan juga mengkritik Pasal 111 Ayat 2 RUU KUHAP yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum dapat mengajukan permohonan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang seharusnya hal demikian merupakan kewenangan kepolisian.
Hal ini akan melemahkan sistem peradilan pidana yang sudah terintegrasi dengan baik selama ini. Menurutnya, hal itu melanggar prinsip peradilan yang adil dan imparsial (fair trial).
"Jaksa dan polisi adalah bagian dari rantai penegakan hukum yang harus bekerja secara kolaboratif, bukan saling menilai atau mengintervensi. Ketentuan ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang serius," tegas Arfan.
Arfan yang meraih gelar Doktor di Universitas Brawijaya Tahun 2018 ini, juga menyoroti dampak perluasan kewenangan kejaksaan yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 dan UU Nomor 11 Tahun 2021.
Salah satu kewenangan yang dianggap bermasalah adalah fungsi intelijen kejaksaan, seperti pengawasan multimedia dan menciptakan kondisi yang mendukung pembangunan.
"Kejaksaan didesain untuk menegakkan hukum, bukan untuk melaksanakan tugas pembangunan atau pengawasan multimedia yang sifatnya abstrak," ujarnya.
Arfan menambahkan bahwa perluasan kewenangan kejaksaan ini dapat menimbulkan tumpang tindih dengan institusi lain seperti Kepolisian, TNI, dan BIN, serta mengaburkan fungsi utama kejaksaan sebagai penegak hukum.
Sebagai akademisi, Arfan mengusulkan agar legislator mempertimbangkan kembali ketentuan-ketentuan yang berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dalam RUU KUHAP.
"Pendekatan dalam sistem peradilan pidana dititik beratkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, bukan justru memberikan ruang yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara aparat penegak hukum," tutupnya.
Pandangan kritis Arfan diharapkan menjadi masukan bagi legislator untuk menyusun regulasi yang lebih matang dan adil bagi semua pihak dalam sistem peradilan pidana.
RUU KUHAP yang sedang dibahas menuai kritik karena pasal-pasalnya dinilai tumpang tindih dengan kewenangan penegak hukum. Ini tanggapan pakar. [779] url asal
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas, mendapat sorotan sejumlah pihak. Sebab, ada beberapa pasal di dalamnya yang dinilai tumpang tindih dengan kewenangan lembaga penegak hukum.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof Dr I Nyoman Nurjana.
"Bicara penegakan hukum adalah bicara tentang sistem yang sudah diatur dalam KUHAP. Dalam hukum acara pidana di Indonesia, kita mengenal sistem peradilan pidana terpadu," kata I Nyoman kepada wartawan, Jumat (24/1/2025).
Menurut I Nyoman, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP tersebut dinilai ada tumpang tindih dengan kewenangan lembaga penegak hukum, khususnya antara kepolisian dan kejaksaan.
Hal itu dikhawatirkan akan merusak Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).
Nyoman menjelaskan, sistem peradilan pidana di Indonesia sudah memiliki mekanisme yang jelas berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
"Sistem peradilan kita, memiliki beberapa subsistem, yakni tahapan, prosedur, mekanisme, dan kewenangan dalam penegakan hukum," jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa kewenangan kepolisian yang dimulai dari tahapan penyelidikan dan penyidikan, sudah diatur dalam KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
"Kita ketahui bahwa kewenangan Polri dalam penegakan hukum sudah sangat jelas, termasuk penyerahan berita acara penyelidikan (BAP) kepada Kejaksaan untuk menjadi dakwaan atau tuntutan," tegasnya.
"Kepolisian tidak bisa langsung mengajukan hasil penyidikan ke Pengadilan karena itu merupakan tugas Jaksa yang membuat surat dakwaan," sambungnya.
Namun, lanjut Nyoman, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP dinilai dapat menimbulkan kerancuan dalam sistem yang sudah berjalan tersebut.
Salah satunya adalah Pasal 12 Ayat 11 yang mengatur, jika dalam waktu 14 hari polisi tidak menanggapi laporan masyarakat, maka masyarakat dapat langsung melaporkannya kepada pihak kejaksaan.
Selain itu, pasal tersebut juga memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menerima laporan masyarakat secara langsung.
"Ini harus hati-hati. Dalam sistem peradilan pidana kita, kewenangan Polri sebagai penerima laporan sudah selaras, kecuali untuk tindak pidana khusus seperti korupsi di mana Kejaksaan memang memiliki kewenangan khusus dalam penyidikan," ucap Nyoman.
Selain itu, Nyoman juga mengkhawatirkan adanya tumpang tindih dan mencegah terjadinya conflict of norms antara lembaga penegak hukum. Seperti tertuang dalam Pasal 111 Ayat 2 dalam RUU KUHAP.
Menurut Nyoman, hal itu sangat bertentangan dengan KUHAP dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kewenangan jaksa untuk menyatakan sah tidaknya penangkapan dan penahanan ini merusak mekanisme yang sudah selaras. Ini dapat menimbulkan conflict of norms dan ketidakpastian hukum," kritik Nyoman.
Nyoman mengungkapkan, perubahan kewenangan kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diperluas melalui UU Nomor 11 Tahun 2021.
Perubahan ini, termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan dan intelijen, menurutnya sudah cukup luas.
Jika kewenangan kejaksaan diperluas lagi melalui RUU KUHAP, hal ini akan semakin mengacaukan sistem peradilan pidana.
Nyoman menegaskan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia adalah sistem yang terpadu. Setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan masing-masing yang sudah diatur dalam undang-undang.
Mulai dari kepolisian yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, sedangkan untuk kejaksaan diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021, hingga pengadilan yang diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Penegakan hukum kita sudah jelas, namun jika jaksa diberikan kewenangan lebih luas, termasuk mengintervensi tahapan penyelidikan dan penyidikan yang menjadi kewenangan Polri, maka ini akan menimbulkan conflict of interest," tandasnya.
Nyoman juga mempertanyakan apakah RUU KUHAP ini merupakan perubahan dari UU Nomor 8 Tahun 1981 atau rancangan untuk menggantikan undang-undang tersebut secara keseluruhan.
"Jika ini belum jelas, maka perlu kehati-hatian. Jangan sampai perubahan ini merusak sistem yang sudah ada," pesan Nyoman.
Prof I Nyoman juga mengingatkan bahwa meskipun RUU KUHAP ini masih dalam tahap pembahasan. Namun perlu adanya masukan dari akademisi, praktisi hukum, dan pengamat hukum yang harus didengar dan diakomodasi oleh DPR RI.
"RUU ini harus dibahas lebih hati-hati. Jangan sampai adanya perubahan justru merusak sistem peradilan pidana terpadu yang selama ini kita anut," pungkasnya.