PALANGKA RAYA, KOMPAS.com – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti tuntutan 15 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Muhammad Haryono (MH), seorang sopir taksi yang menjadi justice collaborator (JC) dalam kasus polisi tembak warga di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Tuntutan tersebut dibacakan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Palangka Raya, Rabu (14/5/2025).
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menyayangkan tuntutan berat terhadap MH yang dinilai tidak mempertimbangkan peran dan keberanian MH sebagai JC.
“Tuntutan terhadap MH juga dapat berdampak terhadap keberanian masyarakat dalam bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana,” ujar Sri dalam keterangan tertulis, Jumat (16/5/2025).
Sebelumnya, pada 29 April 2025, LPSK telah mengirimkan Rekomendasi Pemberian Hak Sebagai JC untuk MH kepada JPU, dalam perkara nomor: 50/Pid.B/2025/PN Plk, yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalteng dan Kepala Kejaksaan Negeri Palangka Raya.
Sri menjelaskan bahwa rekomendasi tersebut mencakup permintaan pemberian keringanan tuntutan pidana sebagai bentuk penghargaan atas kesaksian dan kontribusi MH dalam mengungkap kasus secara terang dan jelas.
“Rekomendasi dikirimkan pada jaksa terkait dengan kedudukan MH selaku JC untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana. LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim,” jelasnya.
LPSK menilai bahwa MH bukan pelaku utama, tidak memiliki niat atau motif untuk mencuri atau membunuh, dan berperan karena tekanan fisik dan psikologis dari pelaku utama, yakni Brigadir Anton Kurniawan Stiyanto (AKS).
Brigadir AKS merupakan anggota polisi aktif bersenjata yang memiliki peran dominan dalam tindak pidana, termasuk dalam pembuangan jasad korban dan upaya menghilangkan jejak.
“MH juga mempunyai itikad baik untuk memberikan keterangan yang dapat membantu pengungkapan perkara,” tambah Sri.
Dalam sidang, MH didakwa dengan Pasal 365 ayat (4) KUHP tentang pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian, serta Pasal 181 KUHP tentang penghilangan barang bukti, dan dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP terkait turut serta secara sadar.
Sri menilai bahwa jika JC seperti MH tetap dijatuhi tuntutan berat, maka akan menjadi preseden buruk yang bisa menghambat kemauan saksi lain untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
LPSK juga berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan, termasuk kondisi psikologis MH dan itikad baiknya untuk membantu pengungkapan perkara.
“Dalam sidang lanjutan, LPSK berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa MH bertindak dalam tekanan dan ketakutan, serta telah menunjukkan iktikad baik dengan menjadi JC,” pungkas Sri Nurherwati.