JAYAPURA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Papua melaporkan tentang kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Papua kepada Wakil Menteri HAM RI, Mugiyanto Sipin dalam kunjungannya ke Kantor HAM Perwakilan Papua di Kota Jayapura, Selasa (11/3/2025).
Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyampaikan bahwa pihaknya terus berupaya mendata korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di beberapa daerah yang ada di Papua.
“Untuk pelanggaran HAM berat di Wasior, Kabupaten Wondama, Papua Barat sudah kami data dan ada 163 orang korban pelanggaran HAM berat,” katanya di hadapan Wamen HAM.
Menurut Frits, kasus pelanggaran HAM berat di Wamena, Kabupaten Jayawijaya yang masih belum didata karena pihaknya masih mengalami kesulitan.
Sebab, anggota Komnas HAM Papua sempat mendapatkan teror, bahkan disandera.
“Untuk data korban pelanggaran HAM berat Wamena memang kami belum punya data dan masih mengalami kesulitan untuk mengakses ke dalamnya,” ujar mantan Jurnalis Cenderawasih Pos itu.
Siapkan regulasi
Menanggapi hal ini, Wakil Menteri HAM Mugiyanto mengatakan, pihaknya kini menyiapkan regulasi berupa instruksi presiden (inpres) dan keputusan presiden (keppres), sehingga mempermudah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua.
“Kami lagi menyiapkan regulasinya, sehingga kalau sudah selesai, maka akan mempermudah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua,” ungkapnya kepada wartawan.
Mugiyanto mengucapkan terima kasih kepada Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua yang sudah memiliki data, terkait jumlah korban pelanggaran HAM berat di Wasior, Kabupaten Wondama.
“Tentunya dengan data yang dimiliki oleh Komnas HAM Papua ini akan sangat membantu kami untuk bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Wasior dan Wamena, Kabupaten Jayawijaya,” ucap dia.
Menurut Mugiyanto, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya dua kasus pelanggaran HAM berat, baik Wasior, Kabupaten Wondama dan pelanggaran HAM berat di Wamena, Kabupaten Jayawijaya sudah berusaha ditangani, tetapi belum selesai.
Oleh karena itu, Mugiyanto menyampaikan, pemerintahan saat ini melalui Kementerian HAM akan menyelesaikan melalui pendekatan non-yudisial yang diarahkan kepada korban.
“Dengan pendekatan non-yudisial, pendekatan restoratif, terutama memulihkan korban dan mencegah agar kejadian serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari,” ujarnya.
Tragedi adalah salah satu peristiwa berdarah yang pernah terjadi pada 2001 di Kabupaten Wondama, Provinsi Papua Barat.
Peristiwa Wasior termasuk dalam pelanggaran HAM berat yang sampai sekarang belum juga mendapatkan titik terang penyelesaiannya.
Proses peradilan juga berjalan stagnan, sehingga keluarga korban dan korban Tragedi Wasior 2001 meminta pertanggungjawaban kerugian materiil dan moril kepada pemerintah.
Selain itu, mereka meminta agar anak-anak korban sebisa mungkin diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau TNI Polri.
Menurut catatan, penyebab awal terjadinya Tragedi Wasior adalah ketika perusahaan kayu PT VPP dianggap warga telah mengingkari kesepakatan yang dibuat untuk masyarakat.
Adapun kesepakatan yang dibuat berkaitan dengan pembayaran saat pengapalan kayu sebagai ganti rugi hak ulayat masyarakat adat.
Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi atas tanah kepunyaan bersama warga di bawah masyarakat hukum adat.
Karena merasa haknya diingkari, masyarakat menyampaikan tuntutan mereka dengan menahan speed boat perusahaan sebagai jaminan, setelah sebelumnya mereka memberikan toleransi beberapa waktu.
Aksi masyarakat ini kemudian dibalas oleh perusahaan dengan mendatangkan Brimob untuk melakukan tekanan terhadap masyarakat.
Masyarakat pun mengeluhkan perilaku perusahaan dan Brimob yang kemudian disikapi oleh kelompok TPN atau OPM (Organisasi Papua Merdeka) dengan cara kekerasan.
Ketika tuntutan mereka tidak dihiraukan oleh perusahaan, kelompok TPNPB-OPM menyerang pihak perusahaan dan Brimob.
Diketahui, ada lima anggota Brimob dan seorang karyawan PT VPP yang tewas.
Tidak hanya itu, mereka membakar enam pucuk senjata milik anggota Brimob bersama peluru dan magazennya.
Ketika pihak aparat berusaha mencari pelaku di balik peristiwa mengenaskan itu, terjadi berbagai tindak kekerasan berupa siksaan, pembunuhan, penghilangan secara paksa, hingga perampasan kemerdekaan di Wasior.
Dilansir Kompas.com (12/1/2023), peristiwa Wamena 2003 merupakan salah satu dari tiga kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang kini belum tuntas penyelesaiannya.
Dalam peristiwa ini, puluhan warga sipil di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, menjadi korban penyisiran oleh gabungan TNI dan Polri.
Penyebab Peristiwa Wamena 2003 adalah tewasnya dua anggota TNI dalam aksi pembobolan sekelompok orang terhadap gudang senjata markas Komando Distrik Militer Wamena.
Peristiwa Wamena 2003 dipicu oleh pembobolan gudang senjata di markas Kodim I Wamena, Jayawijaya, oleh sekelompok massa.
Aksi pembobolan tersebut menewaskan dua anggota TNI, yakni Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata), sementara satu orang luka berat.
Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah senjata dan amunisi.
Menanggapi hal itu, aparat TNI Angkatan Darat (AD) bersama Polri melakukan pengejaran dan penyisiran di 25 kampung dan desa di Wamena.
Pada 4 April 2003, masyarakat Wamena yang saat itu tengah merayakan Hari Raya Paskah, dikejutkan dengan kehadiran gabungan personel TNI-Polri di kampung mereka.
Hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa ini menemukan adanya pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan warga sipil menjadi korban.
Melansir laman resmi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), peristiwa Wamena 2003 menewaskan empat warga sipil, lima orang menjadi korban penghilangan paksa, satu orang menjadi korban kekerasan seksual, dan 39 orang luka berat akibat penyiksaan.
Menurut Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Wamena, dalam peristiwa ini sebanyak 235 rumah dibakar oleh aparat.
Komnas HAM juga menemukan pemaksaan penandatanganan surat pernyataan dan perusakan fasilitas umum (gereja, poliklinik, gedung sekolah) yang mengakibatkan pengungsian penduduk secara paksa.
Pemindahan paksa terhadap warga 25 kampung mengakibatkan 42 orang meninggal karena kelaparan dan 15 orang menjadi korban perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.
Isu disintegrasi yang terus membayangi Papua memperparah keadaan peristiwa Wamena 2003.