Terpidana kasus tindak pidana korupsi pengelolaan tanah kas desa, Maryoto (55), dieksekusi ke Rumah Tahanan (Rutan) Boyolali usai 16 tahun buron. [773] url asal
Terpidana kasus tindak pidana korupsi, Maryoto (55), langsung dieksekusi ke Rumah Tahanan (Rutan) Boyolali untuk menjalani hukuman. Mantan Kepala Desa Teras itu ditangkap tim Kejaksaan Negeri Boyolali, setelah menjadi buron selama 16 tahun.
"Pada hari Rabu (5/3) kemarin kami lakukan pengamanan, kemudian kami terbangkan ke Boyolali tadi pagi, hari Kamis tanggal 6 Maret 2025 dengan menggunakan pesawat udara. Sekitar pukul 10.00 WIB tadi mendarat (di bandara Adi Soemarmo). Selanjutnya dilakukan eksekusi di Rutan Boyolali," ujar Kasi Intel Kejari Boyolali, Emanuel Yogi Budi Aryanto, di kantor Kejari Boyolali, Kamis (6/3/2025).
Sebelum dijebloskan ke rutan, terpidana diperiksa kondisi kesehatannya lebih dulu. Setelah dinyatakan sehat, terpidana Maryoto lalu dibawa ke Rutan kelas II B Boyolali untuk menjalani hukuman sesuai putusan yang telah inkrah tersebut.
Maryoto ditangkap tim gabungan dari Kejaksaan Negeri Boyolali dan Kejaksaan Negeri Kota Bandar Lampung, di rumahnya Jl. Pulau Madura No. 33B Lk. I, RT. 008. Kelurahan Way Halim, Kecamatan Way Halim, Kota Bandar Lampung.
Pantauan detikJateng di Rutan kelas II B Boyolali, tim dari Kejaksaan Negeri Boyolali yang membawa Maryoto tiba di Rutan Boyolali sekitar pukul 11.00 WIB. Maryoto tampak mengenakan rompi warna merah bergaris hitam, di belakangnya bertulisan, 'Tahanan Kejaksaan Negeri Boyolali' dengan nomor 01. Setelah turun dari mobil, terpidana langsung dibawa masuk ke rutan di ruang serah terima narapidana.
Yogi menjelaskan, Maryoto dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan tanah kas desa Teras tahun 2003-2006. Kasus ini telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap, setelah upaya hukum terpidana yakni kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung pada 2009 silam.
"Upaya terakhir di inkrah itu adalah putusan Mahkamah Agung," jelasnya.
Karena kasasinya ditolak, terpidana harus menjalani hukuman sesuai putusan di tingkat banding yakni Pengadilan Tinggi. Di tingkat Pengadilan Tinggi itu, Maryoto dijatuhi hukuman 2 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsidair 2 bulan dan membayar uang pengganti Rp 19.355.875 subsidair 1 bulan kurungan.
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Boyolali menangkap buronan terpidana kasus tindak pidana korupsi pengelolaan tanah kas desa Teras tahun 2003-2006, Maryoto. Mantan Kepala Desa Teras itu ditangkap di tempat pelariannya di wilayah Kota Bandar Lampung.
Maryoto ditangkap petugas Kejaksaan pada Rabu (5/3) di wilayah Kota Bandar Lampung. Maryoto telah menjadi buronan dan masuk daftar pencarian orang (DPO) Kejaksaan Negeri Boyolali selama 16 tahun.
"16 tahun pelarian, akhirnya dipaksa pulang," kata Kasi Intel Kejari Boyolali, Emanuel Yogi Budi Aryanto, kemarin.
Yogi menjelaskan, Maryoto merupakan terpidana kasus tindak pidana korupsi pengelolaan tanah kas desa Teras tahun 2003 -2006. Terpidana saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Teras. Di tahun 2003 -2006, dia diduga melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan tanah kas desa.
Oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Boyolali, lanjut dia, menyatakan Maryoto terbukti bersalah melanggar Pasal 3 dan Pasal 10 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Majelis Hakim PN Boyolali menjatuhkan pidana kepada Maryoto pidana penjara 1 tahun 2 bulan, dan denda Rp 75 juta subsidair 2 bulan dan membayar uang pengganti Rp 37 juta.
"Tapi karena putusan ini, Maryoto mengajukan upaya hukum, banding. Kemudian di Pengadilan Tinggi (PT), diputus pada tanggal 20 Januari 2009, itu jadi putusannya naik menjadi 2 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsidair 2 bulan, kemudian uang penggantinya turun (menjadi) Rp 19.350.000 subsidair 1 bulan kurungan," paparnya.
Lebih lanjut disampaikan Yogi, atas putusan banding di Pengadilan Tinggi ini, Maryoto melakukan upaya hukum lagi yakni kasasi. Putusan kasasi turun di tahun 2009 dan Mahkamah Agung memutuskan menolak permintaan kasasi dari Maryoto.
"Sehingga yang dipakai putusan Pengadilan (Tinggi) itu yang kita laksanakan," imbuh dia.
Setelah adanya putusan kasasi itu, Kejaksaan Negeri Boyolali hendak melakukan eksekusi terhadap terpidana, yang sebelumnya tidak ditahan. Namun ternyata, terpidana tidak ada di rumahnya dan tidak diketahui keberadaannya. Hingga akhirnya terpidana diketahui berdomisili di Lampung dan ditangkap di sana.
Seminar Nasional di UMM membahas potensi tumpang tindih kewenangan dalam RUU KUHAP. Para ahli menekankan pentingnya sinkronisasi untuk sistem lebih baik. [727] url asal
Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan lembaga penegak hukum. Jika undang-undang tersebut disahkan, maka berpotensi merugikan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tergerak menggelar Seminar Nasional untuk adanya sinkronisasi dan harmonisasi RUU Kejaksaan dengan RUU KUHAP, Kamis (30/1/2025).
Seminar yang dihadiri para akademisi hingga praktisi hukum ini menjadi ajang diskusi yang sangat relevan di tengah polemik mengenai perluasan kewenangan jaksa dalam RUU KUHAP.
Sistem peradilan pidana Indonesia perlu dibangun dengan dasar yang jelas dan terstruktur, untuk menjaga integritas dan efisiensi penegakan hukum di Indonesia.
Pada sesi tanya jawab, Auliya, salah satu audiens mengangkat pertanyaan terkait implikasi dari perluasan kewenangan jaksa dalam RUU KUHAP, yang berpotensi mempengaruhi peran Polri sebagai penyidik utama.
Aulia mengutip penjelasan dari salah satu pemateri Dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo, Madura, Prof. Dr. Deni SB Yuherawan yang menjadi salah satu narasumber dalam seminar tersebut.
Dalam pandangannya, Prof Deni menyatakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Pasal 17, tidak ada perundang-undangan yang memberikan kewenangan atribusi kepada jaksa untuk melakukan penyidikan.
Namun, dalam RUU KUHAP Pasal 6, disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu, yang diberi kewenangan melakukan penyidikan.
"Pernyataan ini membuka peluang bagi jaksa untuk melakukan penyidikan di luar institusi Polri, yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan," ujar Aulia, menyoroti kemungkinan konflik kewenangan antara kejaksaan dan kepolisian.
Aulia kemudian melanjutkan dengan mempertanyakan pemberian kewenangan kepada jaksa untuk menerima laporan masyarakat dan melakukan penyidikan berpotensi melemahkan sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Prof. Deni SB Yuherawan dengan tegas menyatakan bahwa dalam kaitan itu, pihak yang dirugikan bukan hanya penyidik atau jaksa, tetapi sistem peradilan pidana secara keseluruhan.
"Implikasi dari kewenangan ini, kita tahu persis dampak yuridisnya. Yang dirugikan bukan hanya penyidik atau jaksa, tetapi sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Hak asasi manusia bisa terganggu karena persoalan kewenangan yang tidak jelas," ungkap Prof Deni.
Menurut Prof Deni, hukum haruslah clear dan precise, yakni jelas, tepat, dan akurat. Kewenangan harus dibatasi dengan jelas, tanpa adanya ambigu.
"Hidup ini, semua orang mengerti bahwa legalitas hukum itu harus jelas dan tepat. Kewenangan itu harus limitatif, karena kalau tidak, kita justru akan terjebak dalam perebutan kewenangan yang tak jelas arah tujuannya," tuturnya.
Prof Deni menekankan bahwa kewenangan dalam sistem hukum Indonesia harus diberikan dengan penuh kehati-hatian. Pihaknya mengkhawatirkan bahwa jika kewenangan tidak dibatasi dengan jelas, peradaban bangsa bisa terganggu.
"Jangan biarkan kewenangan ke mana-mana. Kalau satu, ya satu. Jangan ada frasa 'Dan lain-lain' yang membuat kewenangan itu kabur dan tidak terarah," tegasnya.
Prof Deni juga mengkritik sejumlah kelemahan dalam KUHAP yang berlaku sejak era Orde Baru, yang menurutnya masih banyak celah.
"Kalau kita sudah berpikir dengan matang dan benar, siapapun yang menjadi begawan hukum nanti, seyogyanya itu harus didukung oleh DPR RI. RUU tersebut harus benar-benar didalami sebelum disahkan," paparnya.
Ia juga menyoroti pentingnya membedakan tindak pidana yang masuk dalam peradilan umum dan peradilan militer, karena tidak semua tindak pidana terkait dengan koneksitas peradilan.
Menurutnya, esensi dari pasal yang mengatur mengenai penyertaan dalam tindak pidana perlu dipahami dengan benar agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah.
"Pada akhirnya, kewenangan itu adalah amanah. Kewenangan bukan sekedar soal hak asasi manusia, tetapi lebih kepada tugas dan kewenangan yang diberikan untuk kemaslahatan bersama," tandasnya.
Prof Deni juga mendorong pentingnya menjaga keselarasan dalam sistem hukum Indonesia agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan yang merugikan masyarakat.