JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, angkat bicara soal polemik antara PT Pertamina Patra Niaga dan Kejaksaan Agung yang saling bantah terkait dugaan isu Pertamax oplosan.
Bambang menegaskan bahwa Komisi XII DPR RI menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.
Dia pun meminta semua pihak untuk tidak berspekulasi sebelum ada hasil penyelidikan resmi yang membuktikannya.
"Bagi kami, kita hormati proses hukum. Dan ini kan Kejaksaan Agung tengah melakukan pendalaman. Nah, kita tentu biarkan proses ini berjalan," ujar Bambang saat ditemui di Gedung DPR RI, Jumat (28/2/2025).
"Karena terus terang, apa yang terjadi kan kita jangan menduga-duga. Biar proses yang memang menjadi bagian dari penyidikan menjalankan tugasnya, sehingga kita akan nanti (mengetahui) seterang-terangnya seperti apa," lanjutnya.
Menurut Bambang, saat ini yang terpenting adalah memastikan proses hukum berjalan sesuai aturan, tanpa adanya spekulasi yang dapat memperkeruh situasi atau menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Bambang juga menekankan bahwa Komisi XII DPR akan tetap fokus pada aspek ketersediaan dan kualitas bahan bakar yang beredar di masyarakat.
"Saya pikir tidak perlu meng-counter atau mengomentari proses hukum yang sedang berjalan. Yang kami ingin pastikan adalah ketersediaan, penyaluran, dan kemudian kualitas itu terjaga," tegasnya.
“Yang jelas bahwa apa-apa yang kita lakukan ini adalah untuk memberikan rasa tenang. Jangan pula nanti menimbulkan kegaduhan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan 9 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Melansir keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-blending menjadi Pertamax.
Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi RON 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).
“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI pada Rabu (26/2/2025), PT Pertamina Patra Niaga menanggapi mencuatnya isu Pertamax oplosan usai kasus korupsi itu di perusahaannya terungkap.
Pelaksana Tugas Harian (Plh) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, menegaskan tidak ada praktik pengoplosan Pertamax dengan Pertalite dalam proses pengadaan dan distribusi BBM.
“Dengan tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan, izin kami memberikan penjelasan terkait isu yang berkembang di masyarakat, khususnya soal kualitas BBM RON 90 dan RON 92,” kata Ega dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu.
“Kami berkomitmen dan kami berusaha memastikan bahwa yang dijual di SPBU untuk RON 92 adalah sesuai dengan RON 92, yang RON 90 sesuai dengan RON 90,” sambungnya.
Namun, Ega mengakui adanya proses tambahan aditif pada BBM jenis Pertamax.
Hanya saja, dia menegaskan bahwa hal tersebut bukan berarti terjadi pengoplosan dengan Pertalite.
“Di Patra Niaga, kita terima di terminal itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak ada proses perubahan RON. Tetapi yang ada untuk Pertamax, kita tambahan aditif. Jadi, di situ ada proses penambahan aditif dan proses penambahan warna,” katanya.
Menurut Ega, proses ini merupakan praktik umum dalam industri minyak untuk meningkatkan kualitas produk.
“Proses ini adalah proses injeksi blending. Proses blending ini adalah proses yang umum dalam produksi minyak yang merupakan bahan cair. Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai daripada produk tersebut,” ujarnya.
Beberapa jam setelah rapat selesai, Kejaksaan Agung (Kejagung) langsung membantah pernyataan PT Pertamina Patra Niaga yang mengeklaim bahwa tak ada pengoplosan atau blending Pertamax dengan Pertalite.
"Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 (Pertalite) atau di bawahnya 88 di-blending dengan 92 (Pertamax). Jadi RON dengan RON sebagaimana yang sampaikan tadi," ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, di Kantor Kejagung, Rabu (26/2/2025).
Abdul Qohar menegaskan pihaknya bekerja dengan alat bukti.
Dugaan pengoplosan itu pun ditemukan berdasarkan keterangan saksi yang diperiksa penyidik.
“Jadi hasil penyidikan, tadi saya sampaikan itu. RON 90 atau di bawahnya itu tadi fakta yang ada, dari keterangan saksi RON 88 di-blending dengan 92. Dan dipasarkan seharga 92," katanya.
Untuk memperkuat alat bukti yang dimiliki, Kejagung pun akan meminta ahli untuk meneliti temuan-temuan tersebut.
“Nanti ahli yang meneliti. Tapi fakta-fakta alat bukti yang ada seperti itu. Keterangan saksi menyatakan seperti itu," ujar Qohar.