JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan empat hakim sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar pada Minggu (13/4/2025) malam.
Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat. Lalu hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
Kejagung menduga ketiga tersangka menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu onslag atau putusan lepas.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendorong reformasi lembaga peradilan secara menyeluruh usai empat hakim terlibat kasus dugaan suap dalam mengatur perkara kasus korupsi ekspor CPO.
"Sudah saatnya lembaga kehakiman direformasi secara keseluruhan," kata Sahroni melalui keterangan tertulis, Selasa (15/4/2025).
Sahroni juga mendesak pihak yang terlibat ditindak tegas. Ia menyampaikan, Komisi III bakal mendukung instansi penegak hukum memberantas mafia peradilan.
Pasalnya, ia mengaku miris dengan kasus suap yang melibatkan empat hakim menjadi tersangka tersebut yang berpotensi merusak lembaga peradilan.
"Saya miris sekali melihat carut marut lembaga kehakiman kita yang ramai diisi kasus korupsi. Keberadaan mafia peradilan ini sudah sangat merusak," ujar Sahroni.
Tak cuma itu, ia meminta Mahkamah Agung (MA) memperketat pengawasan internal untuk menindak hakim-hakim nakal.
"Tidak menutup kemungkinan uang haram dari suap ini juga mengalir ke pejabat yang lebih tinggi, seperti kasus Zarof Ricar kemarin. Jadi ada komplotannya,” sebut Sahroni.
Jual Beli Putusan
Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo mengatakan, penetapan empat hakim sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO benar-benar mencoreng institusi peradilan.
Kasus tersebut juga membuktikan adanya praktik jual beli putusan yang masih terjadi di Indonesia.
"Kasus ini jelas membuktikan bahwa praktik jual beli putusan masih terjadi di institusi peradilan kita. Dan selama ini kita sudah mewanti-wanti agar setiap putusan hakim seyogyanya menggali dan menyelami nilai-nilai rasa keadilan masyarakat," ujar Rudianto lewat pesan singkat.
Ia mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengungkap siapapun aktor di balik kasus tersebut.
Termasuk jika ada petinggi MA yang memang terlibat dalam kasus ekspor CPO itu.
"Sekali lagi apa yang dilakukan oleh Kejagung adalah langkah penegakan hukum yang tepat atas suatu putusan bebas yang nilai melukai rasa keadilan masyarakat," ujar Rudianto.
"Benar saja di balik putusan bebas tersebut rupanya ada uang besar mengguyur hakim yang seharusnya bertindak sebagai benteng terakhir pencari keadilan," sambungnya menegaskan.
Terima Suap 22,5 Miliar
Kejagung menduga ketiga tersangka menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu onslag atau putusan lepas.
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menjelaskan, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto pertama kali menerima suap dari Arif sebesar Rp 4,5 miliar yang dibagi rata untuk ketiganya.
Suap senilai Rp 4,5 miliar diberikan Arif dengan pesan agar perkara ekspor CPO diatasi.
"Uang bila dirupiahkan Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukkan ke dalam goodie bag. Kemudian setelah keluar dari ruangan uang tadi dibagi kepada tiga orang, yaitu masing-masing ASB sendiri, kepada AM, dan juga kepada DJU," ujar Qohar dalam konferensi persnya, Senin (14/4/2025) dini hari.
Selanjutnya uang suap tahap kedua diberikan Arif kepada hakim Djuyamto. Uang suap diberikan dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai Rp 18 miliar.
Djuyamto kemudian membagikan uang tersebut kepada Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom di depan Bank BRI Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Dalam pembagian uang suap tersebut, Djuyamto mendapatkan Rp 6 miliar, Agam mendapatkan 4,5 miliar, dan Ali mendapatkan Rp 5 miliar.