Densus 88 menggelar pertemuan dengan pengurus ponpes di Semarang. Mereka bertemu dalam Silaturahmi Kebangsaan memupuk semangat nasionalisme. [561] url asal
Densus 88 Antiteror Polri menggelar pertemuan dengan 130 pengurus pondok pesantren di Semarang. Mereka bertemu dalam rangka Silaturahmi Kebangsaan untuk antisipasi paham radikal dan juga memupuk sikap persatuan dan nasionalisme.
Silaturahmi Kebangsaan itu digelar Pesantren Baitussalam, Kecamatan Mijen, Semarang, Rabu (11/2). Sekitar 130 orang yang terdiri dari pengurus 51 pondok pesantren hadir bersama santri. Hadir juga mantan narapidana terorisme (napiter) yang bergabung dalam Persadani memberikan testimoni perjalanannya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Semarang, Muhtasit mengatakan Madrasah dan Pondok Pesantren harus bisa membentuk karakter siswanya berdasar agama dan nasionalisme. Prinsip Pancasila harus bisa diintegrasikan ke kurikulum yang diajarkan.
"Lembaga-lembaga ini harus lebih dari sekadar pusat akademik, mereka harus membentuk karakter siswa berdasarkan prinsip-prinsip agama dan nasional," kata Muhtasit dalam keterangan terkait acara tersebut yang dikutip detikJateng, Kamis (13/2/2025).
Kasat Binmas Polrestabes Semarang, AKBP Ana Maria Retnowati, mengatakan kepolisian menggunakan langkah-langkah preemptif, preventif, dan represif untuk memastikan lingkungan yang aman dan kondusif bagi pembangunan dan kesejahteraan ekonomi.
"Polisi memegang peranan penting dalam menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan melindungi masyarakat," jelas Ana.
Sementara itu perwakilan Direktorat Pencegahan Densus 88 AKBP Goentoro Wisnoe memaparkan pencegahan aksi terorisme dilakukan masif. Pada data dua tahun terakhir, pada tahun 2019 ada sembilan kejadian, 2020 ada 13 kejadian, tahun 2021 ada enam kejadian, tahun 2022 ada empat kejadian, sementara tahun 2023 dan 2024 nihil alias tidak ada kejadian.
"Dua tahun terakhir, zero attack karena pencegahannya masif juga dari Densus 88 dan stakeholder terkait," jelas Wisnoe.
Wisnoe juga memaparkan data penegakan hukum berupa penangkapan teroris lima tahun terakhir yaitu di tahun 2019 ada 320 orang ditangkap, tahun 2020 ada 232 orang, tahun 2021 ada 370 orang, tahun 2022 ada 248 orang, tahun 2023 ada 147 orang dan tahun 2024 ada 55 orang.
Densus tidak hanya melakukan penangkapan, tapi juga pencegahan dengan data yaitu tahun 2019 dilakukan 150 kali kegiatan, tahun 2020 ada 193 kegiatan, tahun 2021 ada 134 kegiatan, tahun 2022 ada 1.536 kegiatan, tahun 2023 meningkat 16.582 kegiatan dan tahun 2024 ada 19.416 kegiatan pencegahan.
"Kita harus memantau perubahan sosial, melindungi masyarakat yang rentan, dan secara aktif mempromosikan konten moderat secara daring," jelasnya.
Dalam acara tersebut juga hadir Kepala Kesbangpol Kota Semarang Joko Hartono, Pasi Intel Kodim Semarang Kapten Jamal, Sekretaris Yayasan Persadani Hadi Masykur dan Pembina Yayasan Baitussalam Semarang Musthofa.
Di akhir acara para peserta membacakan deklarasi setia kepada Pancasila, menolak keras masuknya paham intoleran, radikalisme, ekstremisme dan terorisme.
Revisi UU Kejaksaan dinilai berpotensi melemahkan sistem hukum RI. Tiga pakar hukum mendesak pengawasan lebih ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. [584] url asal
Revisi Undang-undang nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dinilai berpotensi melemahkan sistem hukum di Indonesia. Revisi UU Kejaksaan itu dinilai berpeluang menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan jaksa.
Hal itu disepakati tiga narasumber dalam dialog 'Kejaksaan Superbody dan Ancaman Kekuasaan Absolut' yang digelar di Gedung Theater Prof. Qodri Azizy ISDB, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Walisongo, Semarang. Para narasumber tersebut adalah Guru Besar Ilmu Hukum UIN Walisongo Achmad Gunaryo, Ketua PKY Jateng sekaligus Penghubung Komisi Yudisial Muhammad Farhan, dan advokat sekaligus praktisi hukum dan politik Bambang Riyanto.
Ketiga pakar hukum itu menilai ada beberapa poin di revisi UU Kejaksaan yang perlu dikaji ulang.
"Dalam perubahan UU Kejaksaan ada beberapa item yang harus dikaji ulang. Yaitu Pasal 8 ayat 5 (Pemeriksaan Jaksa Izin Jaksa Agung), Pasal 11 A ayat 2 (Rangkap Jabatan), Pasal 30 B huruf 'b' (Menciptakan Kondisi yang Mendukung dan Mengamankan Pelaksanaan Pembangunan), dan Pasal 30 B huruf 'e' (pengawasan multimedia)," kata Bambang Riyanto dalam keterangan tertulis, Jumat (7/2/2025).
Bambang menyebut ada beberapa pasal yang berpotensi melemahkan sistem hukum Indonesia. Di antaranya Pasal 8 ayat 5 yang mengharuskan izin Jaksa Agung untuk memeriksa jaksa. Hal ini berpotensi menimbulkan independensi dan akuntabilitas.
Selain itu, pasal tentang rangkap jabatan juga dinilai perlu dikaji untuk mencegah konflik kepentingan. Ketiga pakar hukum ini berkesimpulan UU Kejaksaan yang baru menguatkan wewenang jaksa dalam banyak aspek. Misalnya tentang pemberian senjata api untuk perlindungan diri dan perluasan kewenangan, namun hal ini justru menimbulkan kekhawatiran adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga pakar hukum ini menilai dibutuhkan kewenangan tambahan untuk pengawasan terhadap pasal yang berisiko disalahgunakan untuk mencederai prinsip keadilan.
"Ingat bahwa perilaku hukum diukur dari 3 hal (Lawrence M. Friedman) yaitu Budaya Hukum, Struktur Hukum, Substansi Hukum. Mari kita coba perbaiki semuanya, saya setuju dengan pemateri berdua, pengawasan, pengawasan itu siapa? Masyarakat sipil," jelas Achmad Gunaryo.
Dialog 'Kejaksaan Superbody dan Ancaman Kekuasaan Absolut' yang digelar di Gedung Theater Prof. Qodri Azizy ISDB, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Walisongo, Semarang. Foto: dok. Istimewa
Achmad menilai kewenangan yang terpusat tanpa mekanisme pengawasan yang jelas hanya akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, merusak independensi kejaksaan, dan mengganggu prinsip checks and balances. Tanpa perbaikan pada pasal-pasal yang rawan konflik kepentingan dan ketidakjelasan batasan kewenangan, perubahan ini bisa menjadi sebuah kemunduran bagi penegakan hukum yang adil dan transparan.
Oleh karena itu, diperlukan judicial review dinilai jadi solusi untuk mengkaji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.
"Pengawasan terhadap Kejaksaan dilakukan melalui dua mekanisme utama, yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-038/A/JA/12/2009, yang mengatur tentang ketentuan penyelenggaraan pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia," tegas Muhammad Farhan.
Revisi UU Kejaksaan dinilai berpotensi melemahkan sistem hukum RI. Tiga pakar hukum mendesak pengawasan lebih ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. [449] url asal
Revisi Undang-undang nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dinilai berpotensi melemahkan sistem hukum di Indonesia. Revisi UU Kejaksaan itu dinilai berpeluang menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan jaksa.
Hal itu disepakati tiga narasumber dalam dialog 'Kejaksaan Superbody dan Ancaman Kekuasaan Absolut' yang digelar di Gedung Theater Prof. Qodri Azizy ISDB, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Walisongo, Semarang. Para narasumber tersebut adalah Guru Besar Ilmu Hukum UIN Walisongo Achmad Gunaryo, Ketua PKY Jateng sekaligus Penghubung Komisi Yudisial Muhammad Farhan, dan advokat sekaligus praktisi hukum dan politik Bambang Riyanto.
Ketiga pakar hukum itu menilai ada beberapa poin di revisi UU Kejaksaan yang perlu dikaji ulang.
"Dalam perubahan UU Kejaksaan ada beberapa item yang harus dikaji ulang. Yaitu Pasal 8 ayat 5 (Pemeriksaan Jaksa Izin Jaksa Agung), Pasal 11 A ayat 2 (Rangkap Jabatan), Pasal 30 B huruf 'b' (Menciptakan Kondisi yang Mendukung dan Mengamankan Pelaksanaan Pembangunan), dan Pasal 30 B huruf 'e' (pengawasan multimedia)," kata Bambang Riyanto dalam keterangan tertulis, Jumat (7/2/2025).
Bambang menyebut ada beberapa pasal yang berpotensi melemahkan sistem hukum Indonesia. Di antaranya Pasal 8 ayat 5 yang mengharuskan izin Jaksa Agung untuk memeriksa jaksa. Hal ini berpotensi menimbulkan independensi dan akuntabilitas.
Selain itu, pasal tentang rangkap jabatan juga dinilai perlu dikaji untuk mencegah konflik kepentingan. Ketiga pakar hukum ini berkesimpulan UU Kejaksaan yang baru menguatkan wewenang jaksa dalam banyak aspek. Misalnya tentang pemberian senjata api untuk perlindungan diri dan perluasan kewenangan, namun hal ini justru menimbulkan kekhawatiran adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga pakar hukum ini menilai dibutuhkan kewenangan tambahan untuk pengawasan terhadap pasal yang berisiko disalahgunakan untuk mencederai prinsip keadilan.
"Ingat bahwa perilaku hukum diukur dari 3 hal (Lawrence M. Friedman) yaitu Budaya Hukum, Struktur Hukum, Substansi Hukum. Mari kita coba perbaiki semuanya, saya setuju dengan pemateri berdua, pengawasan, pengawasan itu siapa? Masyarakat sipil," jelas Achmad Gunaryo.
Dialog 'Kejaksaan Superbody dan Ancaman Kekuasaan Absolut' yang digelar di Gedung Theater Prof. Qodri Azizy ISDB, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Walisongo, Semarang. Foto: dok. Istimewa
Achmad menilai kewenangan yang terpusat tanpa mekanisme pengawasan yang jelas hanya akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, merusak independensi kejaksaan, dan mengganggu prinsip checks and balances. Tanpa perbaikan pada pasal-pasal yang rawan konflik kepentingan dan ketidakjelasan batasan kewenangan, perubahan ini bisa menjadi sebuah kemunduran bagi penegakan hukum yang adil dan transparan.
Oleh karena itu, diperlukan judicial review dinilai jadi solusi untuk mengkaji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.
"Pengawasan terhadap Kejaksaan dilakukan melalui dua mekanisme utama, yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-038/A/JA/12/2009, yang mengatur tentang ketentuan penyelenggaraan pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia," tegas Muhammad Farhan.
Saksikan juga Blak-blakan, Zulhas: Swasembada Pangan Bukan Angan-angan