
Pakar Hukum UNS Soroti RUU KUHAP, Minta Kewenangan Jaksa Tak Diamputasi
Pakar hukum UNS, Prof Pujiyono, menyoroti draf RUU KUHAP yang menghapus kewenangan Kejaksaan dalam kasus korupsi. Ia mendesak DPR RI untuk melibatkan publik. [711] url asal
#ruu-kuhap #kejaksaan #uns #berita-jateng #sistem-hukum-pidana-indonesia #uu-kejaksaan #indonesia #fh-uns #universitas-sebelas-maret #pujiyono-suwadi #kuhp #narkoba #korupsi #pidana #uu-ham #kewenangan-kejaksaan

Pakar hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof Pujiyono Suwadi, menyoroti draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Ia berharap kewenangan Kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi tidak dilemahkan.
Diketahui, beredar draf RUU KUHAP pada 3 Maret 2025 lalu, yang disebut menghapus kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan kasus korupsi. Hal ini dinilai bertentangan dengan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang memberi kewenangan kepada jaksa dalam menangani tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
Menurut Pujiyono, kejaksaan selama ini telah menunjukkan kinerja yang luar biasa dalam pemberantasan korupsi, terutama tentang penanganan kasus-kasus besar atau yang dikenal sebagai 'Big Fish'. Oleh karenanya, ia menyayangkan jika RUU KUHAP menghapus kewenangan kejaksaan dalam menindak kasus korupsi.
"Jika di KUHAP tipikor tidak menjadi kewenangan kejaksaan, ada agenda apa? Sementara di sisi lain, lembaga penegak hukum yang lagi getol memberantas korupsi harus diakui kan Kejaksaan Agung dengan kasus Big Fish yang ditangani," kata Pujiyono saat berbincang dengan detikJateng, Minggu (16/3/2025).
Ketua Komisi Kejaksaan RI ini menjelaskan meski kewenangan Kejaksaan diatur dalam UU Kejaksaan, namun perlu diatur dalam KUHAP. Sebab, tindakan Kejaksaan dalam menangani tipikor akan mudah digugat melalui praperadilan atau eksepsi di persidangan jika tidak diatur dalam KUHAP.
"Jika di undang-undang induk, KUHAP itu tidak ada kewenangan kejaksaan dalam penanganan korupsi, tidak implementatif. Jika diimplementasikan pasti menimbulkan celah," tegas Pujiyono yang juga Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UNS ini.
"KUHAP ini menjamin berlakunya hukum materiil kita, yaitu KUHP, UU Tipikor, UU Narkoba, UU HAM berat, yang nanti penanganannya didasarkan KUHAP kita. Kalau dasar KUHAP tidak ada, jadi persoalan," lanjutnya.
Ia pun mendesak DPR RI, khususnya Komisi III, untuk membuka draf RUU KUHAP secara resmi kepada publik agar bisa mendapat masukan yang lebih luas.
"Kita minta DPR RI membuka draf secara official. Jika ada masukan masyarakat, akan lebih baik. Jadi membuka partisipasi publik lebih banyak, karena kita ingin meletakkan hukum formil, mendampingi KUHP yang bukan hanya untuk 5 tahunan, bisa 70 tahun," jelasnya.
Lebih lanjut, Pujiyono menilai jika kewenangan kejaksaan dalam penanganan tipikor dihapus, itu bisa dianggap sebagai upaya memberikan impunitas bagi koruptor.
"Ini akan menjadi pukulan mundur bagi semangat pemberantasan korupsi yang saat ini sedang digencarkan oleh Kejaksaan Agung. Apakah ini diterjemahkan menjadi bagian dari nanti koruptor mendapatkan impunitasnya, bisa jadi begitu," ujarnya.
"Kita juga diskusi dengan jaksa, itu dianggap bagian dari amputasi kewenangan jaksa dalam penindakan korupsi. Apakah ini diterjemahkan sebagai kemenangan koruptor? Masyarakat yang menilai," sambungnya.
Pujiyono pun berharap DPR RI dapat memastikan kewenangan Kejaksaan dalam penanganan tipikor tetap diatur secara jelas dan tegas dalam RUU KUHAP yang baru. DPR RI diminta tak berdalih dengan alasan sudah ada UU khusus yang menyatakan kejaksaan bisa menangani tipikor.
"Jadi jaksa punya kewenangan pemberantasan korupsi di hukum materiil maupun formil. Jadi anggapan publik bahwa kejaksaan diamputasi di RUU KUHAP itu tidak jadi kenyataan. Kita anggap ini salah ketik saja, jaksa belum dimasukkan," harapnya.
"Sekali lagi saya berharap Komisi III DPR RI membuka secara official dan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya, khususnya soal semangat pemberantasan korupsi. Janganlah kewenangan jaksa dihilangkan," tambah dia.
Ia meminta masyarakat untuk senantiasa mengawal RUU KUHAP. Dengan desakan dari berbagai pihak, diharapkan RUU KUHAP yang baru dapat memperkuat sistem hukum pidana Indonesia serta menjaga integritas Kejaksaan dalam memberantas korupsi.
"Meski tidak punya niat menghilangkan, tapi di KUHAP harus di-mention secara klir, Kejaksaan punya kewenangan pemberantasan korupsi. Kita juga butuh dukungan publik agar RUU KUHAP tetap dikawal," tutupnya.
(ams/ams)

Menimbang Denda Damai untuk Koruptor
Denda damai mungkin tampak seperti solusi cepat dan mudah, tetapi ia tidak sejalan dengan prinsip keadilan yang menjadi landasan sistem hukum kita. [1,113] url asal
#denda-damai #denda-damai-koruptor #serious-fraud-office #hukum-pidana-indonesia #inggris #pelanggaran #kejahatan #pemasyarakatan #tindak-pidana #prancis #amerika-serikat #firdaus-arifin #sapin-ii #pasal-4-undang

Pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengenai kemungkinan pemberian "denda damai" bagi pelaku tindak pidana korupsi telah menimbulkan diskusi luas di berbagai kalangan. Dalam kerangka Undang-Undang Kejaksaan yang baru, denda damai diartikan sebagai penghentian perkara di luar pengadilan dengan syarat pelaku membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.
Meskipun implementasinya masih menunggu peraturan teknis, gagasan tersebut telah menimbulkan pro dan kontra, khususnya dalam kaitannya dengan keadilan, efektivitas, dan dampak terhadap penegakan hukum di Indonesia. Apakah denda damai mampu menjadi solusi pragmatis dalam mengatasi korupsi atau justru memperburuk ketimpangan dalam sistem hukum kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, analisis mendalam tentang dampak, risiko, dan pembelajaran dari praktik internasional sangatlah diperlukan.
Korupsi Kejahatan Luar Biasa
Korupsi di Indonesia adalah masalah yang tak kunjung usai. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), korupsi merusak sendi-sendi pemerintahan, melemahkan perekonomian, dan menurunkan kualitas pelayanan publik. Korupsi tidak hanya berdampak pada angka-angka kerugian negara, tetapi juga menciptakan ketidakadilan struktural yang dirasakan oleh masyarakat luas.
Dalam konteks ini, penanganan korupsi tidak bisa disamakan dengan tindak pidana biasa. Hukum pidana Indonesia menegaskan bahwa tujuan utama penghukuman bagi koruptor adalah memberikan efek jera dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara oleh pelaku tidak menghapuskan pidana. Ini berarti bahwa meskipun kerugian negara telah dikembalikan, koruptor tetap harus bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Jika gagasan denda damai diterapkan tanpa pengawasan yang ketat, pesan yang sampai ke publik adalah bahwa kejahatan dapat dinegosiasikan. Hal ini justru bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan tegas dan tanpa kompromi.
Antara Kepentingan Negara dan Keadilan
Pendukung denda damai sering berargumen bahwa mekanisme ini lebih efisien dan ekonomis. Dengan membayar denda, koruptor dapat mengembalikan kerugian negara sekaligus menghindari proses hukum yang panjang dan kompleks. Dalam jangka pendek, negara dapat segera mendapatkan kembali uang yang hilang, dan beban lembaga pemasyarakatan yang sudah penuh sesak dapat berkurang.
Namun, argumen ini memiliki kelemahan mendasar. Pertama, denda damai hanya menyelesaikan sebagian kecil dari masalah korupsi. Efisiensi ekonomi tidak dapat menggantikan keadilan substantif yang menjadi inti dari penegakan hukum. Ketika koruptor hanya dihukum dengan denda tanpa menjalani hukuman pidana, efek jera yang diharapkan akan hilang. Korupsi akan dianggap sebagai kejahatan yang "menguntungkan," selama pelaku mampu membayar denda untuk lolos dari hukuman.
Kedua, mekanisme ini berpotensi menciptakan ketimpangan dalam penerapan hukum. Rakyat kecil yang terjerat kasus-kasus hukum ringan tetap harus menghadapi hukuman yang berat tanpa kompromi. Sebaliknya, para koruptor yang memiliki kekayaan justru bisa membeli kebebasan mereka. Ketimpangan ini hanya akan memperkuat persepsi bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Ketiga, sistem denda damai juga membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan di kalangan aparat penegak hukum. Dalam sistem yang belum sepenuhnya bebas dari korupsi, negosiasi denda damai dapat menjadi celah baru bagi kompromi gelap antara pelaku korupsi dan aparat penegak hukum.
Pelajaran dari Negara Lain
Beberapa negara maju telah menerapkan mekanisme penyelesaian perkara melalui denda atau penyelesaian di luar pengadilan untuk kejahatan keuangan, termasuk korupsi. Namun, penerapan mekanisme ini dilakukan dengan prinsip-prinsip yang sangat ketat untuk memastikan keadilan dan transparansi tetap terjaga.
Amerika Serikat: Deferred Prosecution Agreement (DPA)
Di Amerika Serikat, pendekatan Deferred Prosecution Agreement digunakan untuk menangani kasus kejahatan keuangan. Mekanisme ini memungkinkan pelaku menghindari pengadilan dengan syarat mengakui kesalahan, membayar denda, dan memenuhi kewajiban tambahan seperti reformasi tata kelola di organisasi mereka. Namun, DPA dirancang terutama untuk entitas korporasi, bukan individu, dan diawasi secara ketat oleh hakim independen. Pendekatan ini memberikan keseimbangan antara pemulihan kerugian dan pemberian efek jera, dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas.
Inggris: Serious Fraud Office (SFO)
Di Inggris, mekanisme penyelesaian perkara melalui denda dijalankan oleh Serious Fraud Office. Dalam berbagai kasus, seperti yang melibatkan perusahaan besar, denda yang dijatuhkan disertai dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan sistem internal dan pengawasan ketat dari pihak otoritas. Pendekatan ini berfokus pada reformasi struktural di perusahaan yang bersalah, dengan memastikan bahwa penyelesaian perkara tidak menghapus tanggung jawab moral dan institusional pelaku. Sistem ini menempatkan transparansi sebagai inti dari proses hukum, sehingga publik dapat terus memantau pelaksanaannya.
Prancis: Sapin II
Prancis melalui Undang-Undang Sapin II memberikan kerangka hukum untuk penyelesaian perkara dengan denda bagi kasus korupsi. Namun, pendekatan ini dilengkapi dengan penguatan regulasi dan pengawasan yang ketat di sektor publik dan swasta. Selain itu, pelaku yang terlibat dalam mekanisme ini tetap diwajibkan untuk melakukan reformasi tata kelola sebagai bagian dari hukuman. Di Prancis, transparansi dan integritas menjadi pilar utama dalam menjalankan mekanisme penyelesaian perkara ini.
Dari ketiga negara itu terlihat bahwa mekanisme penyelesaian perkara melalui denda hanya berhasil jika diterapkan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat. Sistem ini dirancang untuk mengembalikan kerugian negara sambil memastikan bahwa pelaku tetap bertanggung jawab secara moral dan institusional. Selain itu, pendekatan ini cenderung diterapkan pada entitas korporasi, bukan individu, dan diawasi oleh lembaga independen untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Berbeda dengan kondisi di Indonesia, yang masih menghadapi tantangan besar dalam hal integritas aparat penegak hukum, penerapan mekanisme serupa tanpa pengawasan yang ketat justru dapat membuka peluang bagi penyalahgunaan dan ketidakadilan. Pembelajaran dari negara lain menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas harus menjadi fondasi dalam setiap kebijakan penegakan hukum, terutama untuk kejahatan luar biasa seperti korupsi.
Hukuman Harus Berimbang dan Tegas
Prinsip utama dalam penegakan hukum adalah keadilan. Hukuman harus mencerminkan beratnya pelanggaran yang dilakukan, serta memberikan efek jera yang nyata. Dalam kasus korupsi, hukuman tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku, tetapi juga mencegah terulangnya kejahatan serupa dan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Denda dapat menjadi salah satu instrumen hukuman, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya. Pengembalian kerugian negara adalah kewajiban moral dan hukum, tetapi hukuman pidana tetap diperlukan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada masyarakat.
Jika kita serius ingin memberantas korupsi, maka penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten. Denda damai mungkin tampak seperti solusi cepat dan mudah, tetapi ia tidak sejalan dengan prinsip keadilan yang menjadi landasan sistem hukum kita.
Sebaliknya, fokus utama harus diberikan pada penguatan penegakan hukum dan reformasi sistem peradilan. Aparat penegak hukum harus bebas dari pengaruh politik dan tekanan ekonomi, sehingga dapat menjalankan tugasnya tanpa kompromi. Selain itu, pengawasan terhadap proses hukum harus diperkuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas di setiap tahap.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak dapat diatasi dengan solusi pragmatis seperti denda damai. Dalam sistem hukum yang adil, setiap pelaku kejahatan harus bertanggung jawab atas perbuatannya, tanpa pengecualian. Denda damai mungkin menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi ia berisiko merusak prinsip keadilan yang menjadi fondasi sistem hukum kita.
Pragmatismenya tidak boleh mengalahkan keadilan. Penegakan hukum yang tegas, adil, dan tidak bisa dinegosiasikan adalah kunci utama dalam membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa korupsi benar-benar diberantas hingga ke akarnya.
Firdaus Arifin, S.H, M.Hdosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan

Hukum Pidana untuk Pelaku Pembakaran Orang
Kasus pembakaran di Indonesia diatur ketat dalam KUHP. Pelaku bisa dihukum penjara seumur hidup atau denda, tergantung niat dan akibatnya. [1,039] url asal
#hukum-pidana-indonesia #kematian #tindakan-pembakaran #ancaman-hukuman #keinsafan #pidana #wirjono-prodjodikoro #angely-rahma #s-r-sianturi #pasal-187-kuhp #penjara #pidana-penjara #pidana-kurungan #indonesia #huku

Kasus pembakaran, baik yang disengaja maupun yang terjadi karena kelalaian, sudah sering terjadi di Indonesia. Mungkin banyak detikers yang bertanya-tanya, bagaimana hukuman yang diterima pelaku pembakaran yang menimbulkan kerugian materiil, bahkan korban jiwa?
Pembakaran merupakan tindak pidana yang serius dan diatur dengan ketat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Tindak pidana ini memiliki konsekuensi hukum yang berat, terutama jika pembakaran tersebut menimbulkan kerugian pada harta benda atau, yang lebih parah, mengancam keselamatan jiwa seseorang.
Dalam hukum pidana Indonesia, pembakaran dapat dijerat dengan berbagai pasal yang memberikan hukuman berbeda-beda, bergantung pada niat dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Misalnya, jika pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dan menimbulkan kerusakan besar, pelaku bisa dijerat dengan pidana yang sangat berat, termasuk pidana penjara hingga seumur hidup, bahkan hukuman mati.
Jika pembakaran tersebut tidak disengaja, namun tetap mengakibatkan kerugian atau cedera, pelaku juga bisa dikenakan hukuman yang cukup serius, meski lebih ringan dibandingkan jika ada niat untuk melakukannya.
Hukum Pidana Pembakar Orang
Berikut penjelasan lebih lanjut bagaimana hukum pidana jika sengaja melakukan pembakaran dilansir dari laman Hukum Online.
Pasal 187 KUHP
Pasal 187 KUHP secara spesifik mengatur sanksi pidana terhadap tindakan pembakaran, ledakan, atau banjir yang dilakukan dengan sengaja. Isi pasal ini sebagai berikut.
- Dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika karena perbuatan tersebut timbul bahaya umum bagi barang.
- Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, jika karena perbuatan tersebut timbul bahaya bagi nyawa orang lain.
- Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, jika karena perbuatan tersebut timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 187 KUHP ini tidak terjadi karena kelalaian, tetapi kesengajaan. Hal ini terlihat jelas dari frasa "Barangsiapa dengan sengaja..." yang terdapat pada pasal tersebut.
Menurut S R Sianturi dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, unsur utama dari tindakan yang dilarang dalam pasal ini adalah mengadakan kebakaran. Artinya, membakar sesuatu sehingga terjadi kebakaran yang memang dikehendaki pelaku. Cara pembakaran baik dengan api langsung, bahan kimia, maupun metode elektronik, tidak menjadi persoalan.
Pasal 340 KUHP
Jika pembakaran tersebut direncanakan sebelumnya dan ditujukan untuk menghilangkan nyawa orang lain, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 340 KUHP, yang mengatur tentang pembunuhan berencana:
"Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun."
Soesilo menjelaskan, unsur "dengan rencana terlebih dahulu" berarti terdapat jeda waktu antara niat untuk membunuh dan pelaksanaannya. Dalam jeda waktu ini, pelaku seharusnya memiliki kesempatan untuk membatalkan niatnya, namun memilih tetap melanjutkan rencana tersebut.
Pasal 338 KUHP
Jika pembakaran dilakukan tanpa perencanaan sebelumnya, tetapi tetap mengakibatkan kematian, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan:
"Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun."
Dalam kasus pembakaran yang menyebabkan kematian, sering kali terjadi perbarengan tindak pidana antara Pasal 187 KUHP dengan Pasal 338 KUHP dan/atau Pasal 340 KUHP, tergantung pada niat awal dan tindakan pelaku.
Perbedaan Kesengajaan dan Kelalaian dalam Hukum Pidana
Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa). Kesengajaan adalah perbuatan yang dikehendaki pelaku, sementara kelalaian adalah perbuatan yang tidak dikehendaki, tetapi terjadi karena kurang hati-hati atau ceroboh. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kesengajaan dapat dibagi menjadi tiga jenis berikut.
- Kesengajaan yang bersifat tujuan.
- Kesengajaan secara keinsafan kepastian.
- Kesengajaan secara keinsafan kemungkinan.
Hukuman Jika Kebakaran Disebabkan Kelalaian
Jika kebakaran terjadi karena kelalaian, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 188 KUHP atau Pasal 311 UU 1/2023. Berikut rincian hukuman pada kasus kebakaran disebabkan kelalaian.
Pasal 188 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan, atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun, atau denda paling banyak Rp 4,5 juta.
Pasal 311 UU 1/2023
Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan kebakaran, ledakan, atau banjir yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi nyawa orang lain, atau mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Selain tuntutan pidana, pelaku juga dapat dituntut secara perdata melalui gugatan ganti rugi atas dasar Pasal 1365 KUH Perdata.
"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut."
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan pembakaran dengan sengaja, terutama yang menyebabkan korban jiwa, merupakan tindak pidana berat dengan ancaman hukuman hingga penjara seumur hidup atau pidana mati.
Namun, jika pembakaran terjadi karena kelalaian, hukuman yang dikenakan lebih ringan, dengan pidana maksimal lima tahun penjara atau denda. Pelaku juga dapat dituntut secara perdata untuk memberikan ganti rugi kepada korban.
Artikel ini ditulis oleh Angely Rahma, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ihc/irb)