Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengatakan keberadaan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) efektif dalam mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Tercatat tidak ada serangan teroris secara terbuka atau zero terrorist attack di Indonesia sejak 2023 hingga saat ini. Halili menilai pelaksanaan RAN PE merupakan alasan di balik tidak adanya serangan teroris tersebut.
"Saya kira nol-nya angka serangan teroris di Indonesia atau yang sering disebut sebagai zero terrorist attack sejak 2023 itu merupakan salah satu yang bisa kita catat sebagai capaian dari penerapan atau implementasi RAN PE fase pertama," kata dia dikutip dari keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Halili menjelaskan RAN PE merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sistematis dan terencana untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Kegiatan itu melibatkan pemerintah pusat dan daerah, kementerian/lembaga negara seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat seperti SETARA Institute.
Tiga pilar utama dalam kegiatan itu, yakni pencegahan, penegakan hukum, dan kemitraan. Pelaksanaan kegiatan tersebut merupakan amanat Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE.
"Jadi, RAN PE itu betul-betul merupakan agenda sistematis dari negara untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme kekerasan yang mengarah pada terorisme dengan pendekatan utama, yaitu soft approach," ujar Halili.
RAN PE fase pertama berlangsung pada 2021-2024.
Menurut Halili, kegiatan atau program yang dilakukan selama periode itu berbasis pada upaya pencegahan, penegakan hukum, dan kemitraan.
Sebagai contoh, program mitigasi, pemetaan aktor, pembekalan aparatur daerah, dan pelibatan masyarakat dalam Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM).
Lebih lanjut, Halili mengatakan pelaksanaan RAN PE fase pertama telah menghasilkan dua dampak positif, yakni terukur dan tidak terukur. Dampak terukurnya adalah zero terrorist attack.
"Fenomena zero terrorist attack itu dampak terukur yang bisa kita lihat, yakni tidak ada serangan teroris yang sifatnya terbuka dan mematikan di Indonesia," ucap dia.
Sementara, dampak tidak terukur, yaitu adanya mobilisasi seluruh sumber daya di tengah masyarakat agar memiliki kesadaran bahwa ekstremisme merupakan sesuatu yang nyata.
"Sehingga kita semua mesti melakukan mitigasi, memiliki awareness, dan memiliki kemampuan untuk mencegah secara dini," ujarnya.
Halili pun mengharapkan pelaksanaan RAN PE fase kedua pada 2025-2029 juga menghasilkan berbagai dampak positif dalam upaya mencegah dan menanggulangi terorisme. Salah satu yang paling signifikan, yakni mencegah terjadinya serangan teroris secara terbuka di Indonesia.
"Saya kira target paling utama adalah pencegahan agar tidak terjadi serangan terorisme yang bersifat terbuka. Ini bisa kita jadikan acuan efektivitas implementasi RAN PE fase kedua karena kita tahu serangan teroris itu selalu melahirkan berbagai kerugian, mulai dari kerugian jiwa, fisik, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan kerugian politik," ungkapnya.
Adapun, BNPT fokus memperkuat program deradikalisasi dan kesiapsiagaan nasional dalam RAN PE fase kedua pada 2025-2029.
Sementara itu, Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono mengatakan penguatan dua program itu melalui RAN PE fase kedua selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
"RPJMN 2025-2029 merupakan penjabaran visi dan misi presiden, salah satunya koordinasi sinergi antar instrumen pertahanan dan keamanan dalam pencegahan serta penanggulangan aksi terorisme. Di sinilah rencananya peran RAN PE," kata Eddy.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025