Pengamat menilai dalam kasus penembakan di Lampung, tidak ada aturan militer yang menjerat oknum TNI jika memang keduanya terlibat atau memang pelakunya. [549] url asal
Meski beberapa alat bukti dalam kasus gugurnya 3 anggota Polres Way Kanan telah didapatkan, hingga kini terduga penembakan yakni oknum TNI belum juga ditetapkan menjadi tersangka. Hal ini menjadi sorotan banyak pihak terkait transparansi yang digaungkan oleh petinggi TNI.
Pasalnya, hingga saat ini, kedua oknum TNI yakni Kopka B dan Peltu L masih menjadi saksi dalam peristiwa berdarah tersebut. Untuk diketahui penyelidikan yang telah berjalan selama seminggu ini baru menetapkan seorang warga sipil bernama Zulkarnaen menjadi tersangka dalam kasus perjudian sabung ayam nya.
Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung, Dr Benny Karya Limantara menjelaskan dalam kasus ini tidak ada aturan militer yang menjerat oknum TNI jika memang keduanya menjadi terlibat atau memang pelakunya.
"Terkait dengan hukum yang berlaku bagi anggota TNI yang terlibat dalam tindak pidana, sanksi pidana tetap berlaku sesuai KUHP yakn Pasal 338 atau 340 KUHP tentang pembunuhan. Yang membedakan hanya tempat peradilannya. Jika pelaku adalah warga sipil, kasusnya akan ditangani pengadilan negeri, sementara jika anggota TNI, kasusnya diproses di pengadilan militer," katanya.
Benny menyampaikan, dalam kasus ini jika melihat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer maka seharusnya kedua oknum jika terbukti melakukan penembakan dan ditetapkan tersangka maka bisa diproses dalam peradilan umum.
"Meskipun peradilan militer menangani kasus yang melibatkan anggota TNI namun dalam Pasal 9 ayat (1) UU Peradilan Militer tetap mengakui bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum bisa diproses dalam peradilan umum,"
"Jika ada perbedaan pendapat mengenai yurisdiksi, maka Pasal 198 UU Peradilan Militer menyatakan bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menentukan apakah kasusnya harus diadili di peradilan militer atau peradilan umum," sambungnya.
Selanjutnya, kata dia, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 28/PUU-XI/2013 ditegaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI yang tidak terkait dengan tugas militer harus disidangkan di peradilan umum, bukan di peradilan militer.
Putusan ini memperkuat bahwa hukum harus berlaku sama bagi setiap warga negara, termasuk anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum.
Benny menegaskan bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, dibutuhkan minimal dua alat bukti yang sah. Jika semua alat bukti telah ada, maka seharusnya tidak ada alasan untuk menunda penetapan status untuk kedua oknum tersebut.
"Jika alat bukti sudah cukup, seharusnya status saksi bisa ditingkatkan menjadi tersangka. Tidak ada alasan untuk menunda jika bukti telah memenuhi syarat. Proses penyelidikan harus dilakukan secara cepat, profesional, dan sesuai aturan. Penyidik harus memastikan bahwa tidak ada intervensi dalam penegakan hukum," tandas Benny.
Insiden di Deli Serdang menunjukkan urgensi reformasi sistem hukum militer. Jika dibiarkan tanpa sanksi maka rasa aman masyarakat akan tergerus. Halaman all [424] url asal
JAKARTA, KOMPAS.com - Penyerangan warga Desa Selamat, Kabupaten Deli Serdang, oleh puluhan anggota TNI memicu kembali desakan reformasi sistem peradilan militer.
Peristiwa yang merenggut nyawa seorang warga, Raden Barus (61), dan melukai puluhan lainnya dianggap sebagai cerminan buruknya penegakan hukum di lingkungan militer.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, dalam pernyataannya yang dikutip pada Senin (18/11/2024), menilai sistem peradilan militer masih menjadi penghalang utama penyelesaian kasus kekerasan aparat terhadap warga sipil.
Maka dari itu, Al Araf yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendorong supaya pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"Pemerintah dan DPR RI segera untuk memasukkan agenda revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ke dalam Prolegnas 2024 – 2029, untuk segera dibahas oleh DPR RI bersama dengan Pemerintah dalam periode legislasi berikutnya," kata Al Araf.
Ia menyebutkan, budaya kebal hukum yang seolah mengakar di tubuh militer tidak terlepas dari lemahnya implementasi aturan pidana umum terhadap anggota TNI.
Pasal 65 Ayat (2) UU TNI telah mengatur pelanggaran pidana umum oleh anggota militer seharusnya diproses melalui peradilan umum. Namun, sebagian besar kasus tetap berada di bawah yurisdiksi militer.
Al Araf dan koalisi sipil mencatat 25 kasus kekerasan oleh TNI terhadap warga sipil sepanjang Januari-November 2024.
Sebagian besar kasus, termasuk intimidasi, penganiayaan, dan penembakan, tidak mendapatkan tindak lanjut serius. Ketika sistem peradilan gagal memberikan keadilan, korban dan keluarganya sering kali terjebak dalam lingkaran ketidakadilan tanpa akhir.
Penyerangan di Desa Selamat menunjukkan urgensi reformasi sistem hukum militer. Jika tindakan brutal seperti ini dibiarkan tanpa sanksi memadai, dampaknya akan terus menggerus rasa aman masyarakat.
Pemerintah, parlemen, dan institusi militer harus menunjukkan komitmen nyata dalam menyelesaikan masalah ini.
"Upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan Pemerintah dan parlemen," ucap Al Araf.