Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menemukan sejumlah fakta terkait kasus pencabulan anak oleh mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Salah satunya, seorang korban pencabulan itu terinfeksi penyakit menular seksual (PMS).
Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, mendorong Polri melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh kepada AKBP Fajar. "Terutama pemeriksaan kesehatan terkait penyakit menular seksual, mengingat hasil pemeriksaan kesehatan terhadap salah satu korban anak positif terinfeksi penyakit menular seksual," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima detikBali, Sabtu (29/3/2025).
Seperti diketahui, kasus pencabulan yang melibatkan mantan Kapolres Ngada itu semula diungkap oleh Mabes Polri. Terungkap, AKBP Fajar merekam dan menyebarkan delapan video pencabulannya terhadap anak berinisial I (6) ke situs pornografi Australia.
AKBP Fajar telah ditetapkan sebagai tersangka dan kasusnya kini ditangani oleh Polda NTT. Selain Fajar, polisi juga menetapkan seorang mahasiswi bernama Stefani atau Fani alias F. Adapun, Stefani berperan merekrut dan membawa anak berinisial I yang kemudian menjadi korban pencabulan oleh Fajar.
Berikut sejumlah temuan Komnas HAM terkait kasus pencabulan anak oleh mantan Kapolres Ngada tersebut:
Cabuli Korban Untuk Bersenang-senang
Komnas HAM mengungkapkan motif AKBP Fajar merekam dan menyebarluaskan video asusila terhadap anak berinisial I hanya untuk bersenang-senang. Pencabulan terhadap bocah berusia 6 tahun itu terjadi di Hotel Kristal, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Video yang direkam dan disebarluaskan oleh saudara Fajar dilakukan tanpa concern korban anak 6 tahun dan dilakukan sebagai bentuk kesenangan karena berhasil mencabuli anak di bawah umur," ujar Uli.
Menurut Uli, tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak oleh Fajar dilakukan melalui aplikasi MiChat. Komnas HAM, Uli berujar, belum menemukan bukti yang mengarah pada keuntungan ekonomi dalam perekaman dan penyebarluasan video tersebut. Ia menegaskan perbuatan AKBP Fajar tersebut sudah termasuk pelanggaran HAM.
"Tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi yang dilakukan oleh saudara Fajar patut diduga terlaksana secara sistematis dan melibatkan perantara yang harus diungkap keberadaan dan peran sertanya oleh Polda NTT dalam terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak oleh Saudara Fajar," tegas Uli.
AKBP Fajar 7 Kali Pesan Kamar Hotel
Komnas HAM juga menemukan fakta bahwa AKBP Fajar sudah tujuh kali memesan kamar di beberapa hotel di Kota Kupang untuk mencabuli anak di bawah umur. Tak hanya itu, Komnas HAM menyebut Fajar juga menggunakan nama Fangki Dae ketika memesan kamar pada 25 Januari 2025.
"Setidaknya terdapat tujuh kali pemesanan kamar di beberapa hotel di Kota Kupang atas nama saudara Fajar," ujar Uli.
Komnas HAM meminta Mabes Polri untuk segera menemukan dan mengungkap peran Fangki Dae yang dipakai Fajar ketika memesan kamar hotel. Ia juga mendorong polisi menemukan teruga pelaku lainnya dalam tindak pidana kekerasan seksual oleh Fajar.
"Selanjutnya, mencari dan mengungkap adanya pemesanan hotel di Kupang atas nama Fajar pada 14 September 2024. Kemudian 2-4 Oktober 2024, 19 Oktober 2024, 30 Oktober 2024, dan 8 Desember 2024," imbuh Uli.
Komnas HAM Duga Ada Pelaku Lain
Komnas HAM menduga ada pelaku lain dalam kasus pencabulan anak oleh AKBP Fajar. Komnas HAM menemukan fakta baru keterlibatan seorang perempuan berinisial V sebagai perantara jasa layanan seksual kepada Fajar.
"Menemukan dan mengungkap peran Saudari V yang diduga perantara dan penyedia jasa layanan untuk saudara Fajar," ujar Uli.
Komnas HAM meminta Polri untuk menemukan dan mengungkap peran V dalam kasus tersebut. Komnas HAM juga meminta polisi untuk memproses hukum dua orang yang telah ditetapkan tersangka, Fajar dan Stefani alias F, secara profesional, transparan, akuntabel, dan berkeadilan bagi korban.
Temuan itu diperoleh setelah Komnas HAM berkoordinasi dan meminta keterangan kepada Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri serta Ditreskrimum Polda NTT. Selain itu, Komnas HAM juga telah meminta keterangan dua korban anak, orang tua korban, dan satu tersangka.
Komnas HAM merekomendasikan penyidik Polda NTT untuk turut menerapkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal itu untuk mengungkap sumber uang yang digunakan Fajar dalam melakukan tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak.
"Mempertimbangkan untuk tetap menerapkan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam sangkaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Fajar serta perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Fani sebagai wujud pemberatan hukuman maksimal dengan pertimbangan bahwa seluruh korban adalah anak di bawah umur," jelas Uli.