
Kualitas Ketertiban Umum Memburuk, Penegak Hukum Wajib Bersikap Tegas
Premanisme yang nyata-nyata ilegal itu dipraktikan setiap hari di banyak ruang publik, dan telah lama meresahkan masyarakat. [990] url asal
#kolom #ketertiban-umum #ormas #bambang-soesatyo #kelompok-preman #cimanggis #kampung-baru #dpr-ri #aksi-premanisme #ketenteraman #fenomena-premanisme #penegak-perda #universitas-pertahanan #pemerintah #universitas

Premanisme yang terus merajalela akhir-akhir ini lebih sebagai cerita tentang fakta semakin memburuknya kualitas ketertiban umum. Premanisme yang nyata-nyata ilegal itu dipraktikan setiap hari di banyak ruang publik, dan telah lama meresahkan masyarakat. Dan, sudah lama pula masyarakat berharap negara segera hadir memberi perlindungan dari aksi premanisme yang umumnya diwujudkan dengan pemalakan.
Karena gelombang aksi premanisme itu terus membesar, masyarakat kebanyakan merasakan dan melihat bahwa sistem hukum seperti sudah tidak efektif lagi menjalankan fungsinya. Banyak warga hanya bisa pasrah ketika menjadi korban dari aksi premanisme itu. Soalnya, sudah lama dikeluhkan dan dipublikasikan, tetapi negara seperti tidak pernah segera hadir untuk sekadar mengeliminasi premansime itu. Padahal eliminasi premanisme menjadi wujud nyata perlindungan masyarakat oleh sistem hukum negara.
Keluh kesah terhadap premanisme sudah disuarakan ragam komunitas. Dari pedagang kecil di pinggir jalan, manajer proyek skala kecil dan besar hingga level pengusaha, termasuk wisatawan lokal yang sering menjadi korban parkir liar dengan tarif yang tidak lazim. Contoh kasusnya bahkan sudah terlalu banyak untuk disebutkan. Premanisme semakin marak karena teramat minimnya respons penegak hukum dan polisi pamong praja sebagai pelaksana dan penegak peraturan daerah (Perda).
Dalam sejumlah kesempatan, para praktisi bisnis sudah berulangkali mengingatkan bahwa premanisme sudah merusak ketenteraman pada berbagai aspek kehidupan bersama, termasuk merusak iklim berusaha. Hari-hari ini, mereka yang bermodal kecil maupun besar enggan berinisiatif untuk memulai usaha baru karena premanisme menjadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan.
Agar semakin mudah memahami dampak premanisme terhadap iklim berusaha di dalam negeri, contoh kasus besar ini layak dikedepankan. Produsen mobil listrik asal Tiongkok, BYD (Build Your Dreams) yang sedang membangun pabriknya di Subang, Jawa Barat, merasa terganggu oleh aksi premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas). Keluhan BYD ini sudah dipublikasikan secara luas. Ketika menyuarakan keluhannya, BYD tentu tidak mengada-ada, melainkan berpijak pada fakta masalah yang dihadapi langsung.
Bayangkan, ormas berperilaku preman pun tidak ragu mengganggu proyek besar ini. Dengan investasi sampai satu (1) miliar dolar AS, pabrik BYD di Subang dirancang dengan target kapasitas produksi sampai 150.000 unit mobil listrik per tahun. Jika segala sesuatunya berjalan sesuai rencana, pabrik ini bisa mulai beroperasi tahun 2026. Sebaliknya, jika aksi premanisme yang mengganggu pembangunan pabrik BYD tidak segera dihentikan, realisasi investasi ini akan tertunda, atau bahkan dibatalkan. Akibatnya, prospek nilai tambah proyek investasi ini bagi masyarakat sekitar, khususnya pada aspek penyerapan tenaga kerja, tidak akan terwujud.
Boleh jadi, aksi premanisme terkini memuncak pada kasus serangan sekelompok massa terhadap polisi dan pembakaran mobil polisi di Kampung Baru, Harjamukti, Cimanggis, Depok, Jumat (18/4) dini hari. Lagi-lagi, kasus ini berawal dari niat sekelompok preman menghalang-halangi kegiatan sebuah perusahaan. Tak hanya intimidasi dan mengancam pekerja, kelompok preman itu bahkan melepaskan tembakan yang mengenai kaca ekskavator dan juga mengenai kaki dari operator ekskavator. Ketika akan ditangkap, kelompok preman itu melakukan perlawanan, menyerang polisi dan membakar mobil polisi.
Dua contoh kasus ini sudah cukup untuk memberi gambaran tentang premanisme yang sudah demikian merajalela akhir-akhir ini. Tidak hanya merugikan para korban, tetapi secara nyata sudah merusak ketertiban umum. Oleh fenomena seperti itu, institusi penegak hukum dan pelaksana serta penegak perda harusnya terpanggil karena fenomena itu jelas-jelas meresahkan masyarakat. Ada fakta masalah premanisme di setiap ruang publik, dan menjadi kewajiban penegak hukum untuk menanggapi masalah itu.
Sosok-sosok pelaku premanisme atau pemalakan lazimnya sudah diketahui, karena sosok-sosok itu sudah menjadi bahan pergunjingan masyarakat sekitar. Artinya, tindakan-tindakan ilegal itu sudah menjadi persoalan terbuka sehingga tidak layak lagi jika penegak hukum hanya menunggu laporan masyarakat yang menjadi korban premanisme. Menunggu sampai adanya korban premanisme bukanlah sikap yang melindungi atau mengayomi masyarakat.
Bukankah penegak hukum harus proaktif mencari dan mengumpulkan informasi tentang segala sesuatu yang berpotensi merusak ketertiban umum? Masyarakat kebanyakan sudah menilai bahwa kasus pembakaran mobil polisi di Depok itu sebagai buah dari pembiaran premanisme selama ini. Padahal, penegak hukum sudah dibekali ketentuan hukum serta peraturan perundang-undangan lainnya untuk menindak dan mengeliminasi premanisme.
Dari fenomena premanisme yang merajalela akhir-akhir ini, pengarahan atau pembekalan Presiden Prabowo Subianto di forum rapat pimpinan (rapim) TNI dan Polri Tahun 2025 di The Tribrata, Jakarta, akhir Januari lalu, menjadi semakin jelas relevansinya. Di forum itu, Presiden Prabowo menegaskan bahwa segala bentuk Undang-Undang (UU), keputusan presiden, peraturan presiden, peraturan pemerintah, dan semua produk dari pemerintah tidak akan ada artinya kalau tidak ditegakkan.
Presiden menegaskan bahwa TNI dan Polri adalah dua institusi yang mewujudkan kehadiran negara, penegak kedaulatan, dan wujud nyata dari eksistensi negara. Untuk alasan itulah presiden merasa perlu mengingatkan ungkapan tentang negara gagal. "Ciri khas negara yang gagal adalah tentara dan polisi yang gagal," kata presiden. Kepada peserta rapim TNI-Polri itu, presiden kemudian juga memberikan penegasan. "Saudara-saudara harus tahu, kalau sebuah negara hendak dihancurkan, siap-siap, lawan akan memperlemah tentara, polisi, dan intelijen," ungkapnya.
Pemerintah bersama masyarakat selalu menghendaki terwujudnya ketertiban umum. Maka, penegak hukum dan pelaksana serta penegak Perda tidak boleh membiarkan kelompok-kelompok preman berbaju ormas merusak kualitas ketertiban umum. Banyak perusahaan sudah berhenti berproduksi dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap puluhan ribu pekerja. Maka, penegak hukum seharusnya tidak membiarkan kelompok preman melakukan pungutan liar terhadap pelaku usaha, baik usaha besar, kecil, menengah dan mikro.
Mencari investor lokal maupun asing saat ini pun teramat sulit. Kalau ada investor lokal atau asing yang bersedia merealisasikan proyek-proyek investasi baru di dalam negeri, patutlah disyukuri. Konsekuensinya, tindakan ilegal model apa pun oleh kelompok preman seharusnya tidak dibiarkan karena bisa menggagalkan upaya pencapaian target investasi pemerintah.
Kondusif atau ketertiban umum yang baik menjadi faktor kunci mewujudkan produktivitas pemerintah dan masyarakat. Ketertiban umum akan terjaga dengan baik jika penegak hukum tidak ego sektoral, atau sekadar menunggu laporan korban. Semua institusi penegak hukum harus melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik dan benar demi kebaikan seluruh rakyat Indonesia.
Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI, Ketua MPR RI ke-15, Ketua DPR RI ke-20, Ketua Komisi III DPR RI ke-7, Dosen Tetap Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN).
(prf/ega)
Soroti Obesitas Regulasi, Bamsoet: Perlu Reformasi yang Komprehensif
Fenomena ini terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari undang-undang (UU) di tingkat pusat hingga peraturan daerah (Perda) di tingkat lokal. [582] url asal
#hukum #bambang-soesatyo #mpr-ri #uu-no #obesitas #universitas-jayabaya #bamsoet #pembaharuan #simplifikasi #tren #sistem-hukum #universitas-pertahanan #unhan #kepentingan #dpr #penyederhanaan #universitas-borobudur

Anggota DPR RI sekaligus Dosen Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN) Bambang Soesatyo menyoroti obesitas regulasi yang menjadi persoalan serius dalam kompleksitas sistem hukum di Indonesia. Menurutnya, obesitas regulasi terjadi karena banyaknya peraturan yang tumpang tindih, desentralisasi pembentukan regulasi, dan kurangnya koordinasi antar instansi.
"Untuk mengatasi hal ini, diperlukan reformasi regulasi yang komprehensif dengan pendekatan penyederhanaan regulasi, penguatan kelembagaan, dan peningkatan partisipasi publik dalam proses legislasi. Upaya terkoordinasi dari seluruh pemangku kepentingan akan menjadi kunci untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang lebih efisien, terintegrasi, dan mendukung pembangunan nasional secara menyeluruh," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).
Hal ini disampaikannya saat mengajar mata kuliah 'Pembaharuan Hukum Nasional', Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur di Jakarta, Sabtu (12/4).
Fenomena ini terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari undang-undang (UU) di tingkat pusat hingga peraturan daerah (Perda) di tingkat lokal. Dampaknya tidak hanya menghambat efisiensi pelayanan publik dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Diketahui, total jumlah regulasi di Indonesia ada 42.161. Terdiri dari 131 undang-undang, 526 Peraturan Pemerintah, 839 Peraturan Presiden, 8.684 Peraturan Menteri, 15.982 Peraturan Daerah dan 4.711 Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).
Bamsoet menjelaskan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, struktur regulasi di Indonesia terdiri dari berbagai tingkatan mulai dari UUD hingga peraturan daerah.
Saat ini terdapat lebih dari 43.800 regulasi aktif di Indonesia terdiri dari peraturan pusat, peraturan menteri, dan peraturan daerah. Dengan jumlah terbesar diantaranya peraturan menteri dan peraturan daerah.
Banyaknya instansi yang berwenang dalam merumuskan regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, turut menyebabkan terjadinya ketidakteraturan dan konflik antar peraturan. Hal ini diperparah oleh perbedaan interpretasi dan kurangnya koordinasi antara produk hukum dari berbagai instansi, sehingga menciptakan duplikasi dan inkonsistensi.
"Obesitas regulasi akan memberikan dampak luas. Diantara, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi, menghambat pelayanan publik serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan litigasi. Banyak investor enggan menanam modal di Indonesia karena ketidakpastian regulasi yang kompleks," ungkapnya.
Ia juga menambahkan tumpang tindih peraturan membuat birokrasi tidak efisien, mempersulit implementasi kebijakan dan memperlambat respon pemerintah terhadap permasalahan di masyarakat.
Bamsoet menjelaskan untuk mengatasi obesitas regulasi perlu dilakukan penyederhanaan dan harmonisasi regulasi. Konsep omnibus law merupakan salah satu terobosan hukum untuk mengintegrasikan berbagai peraturan sektoral menjadi satu undang-undang yang komprehensif, sederhana, dan terintegrasi.
Penerapan omnibus law dapat mengurangi jumlah regulasi yang bertumpang tindih dan menyederhanakan mekanisme perizinan serta tata kelola hukum secara keseluruhan.
"UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja merupakan upaya pemerintah dalam mengatasi obesitas regulasi, terutama di sektor ekonomi dan investasi. Data realisasi investasi pasca UU Cipta Kerja menunjukkan tren positif, meskipun banyak faktor lain yang mempengaruhi. Namun, tantangan implementasi peraturan turunannya, baik berupa PP, Perpres dan Permen, masih perlu menjadi perhatian. Termasuk memastikan sinkronisasi dengan Perda," kata Bamsoet.
Dosen tetap Universitas Pertahanan dan Universitas Jayabaya ini menguraikan, pemerintah perlu melakukan simplifikasi melalui evaluasi menyeluruh terhadap peraturan yang ada dan pencabutan regulasi yang tidak perlu. Harus dilakukan inventarisasi dan evaluasi regulasi secara berkala untuk mencabut atau merevisi peraturan yang sudah tidak relevan, tumpang tindih, atau kontraproduktif.
"Peningkatan koordinasi di antara kementerian dan lembaga pemerintah merupakan langkah strategis untuk menghindari tumpang tindih dan memastikan penyusunan regulasi yang harmonis," pungkasnya.
Ia juga menegaskan perlu juga dibentuk lembaga tunggal (single centered body) yang mengurusi peraturan perundang-undangan dan berada di bawah pengawasan langsung presiden untuk memastikan integrasi, konsistensi, serta efektivitas regulasi.
(prf/ega)
Presiden Prabowo tentang Urgensi Patuh pada Sistem Hukum dan Undang-Undang
Prabowo Subianto mengingatkan kepatuhan dan penghormatan kepada sistem hukum dan perundang-undangan merupakan unsur tak terpisah mewujudkan ketahanan nasional. [902] url asal
#kolom #mpr #tni-polri #rangkaian-pengarahan-presiden-prabowo #rapim-tni-polri #polisi #bin #undang-undang #nkri #universitas-jayabaya #unhan #polri #jakarta #dpr-ri #universitas-pertahanan #tni #subianto #eksistensi

Presiden Prabowo Subianto mengingatkan bahwa kepatuhan dan penghormatan kepada sistem hukum dan perundang-undangan merupakan unsur tak terpisah dalam membangun dan mewujudkan ketahanan nasional. Kepatuhan pada sistem hukum dan perundang-undangan akan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), terjaganya ketertiban umum dan menjadikan kinerja perekonomian negara selalu produktif.
Sebagai tema, urgensi kepatuhan pada sistem hukum dan perundang-undangan dikemukakan Presiden Prabowo ketika memberikan pengarahan pada rapat pimpinan (Rapim) TNI dan Polri Tahun 2025 di The Tribrata, Jakarta, Kamis (30/1). Berbagai kalangan mengapresiasi dan menggarisbawahi materi pengarahan dan pembekalan oleh presiden di forum itu, termasuk ungkapan 'negara gagal' serta ungkapan 'tentara dan polisi yang gagal'.
Rangkaian pengarahan Presiden Prabowo di forum tersebut sangat mendasar, namun juga sangat responsif. Patut dimaknai sebagai kehendak baik dan kesungguhan presiden menanggapi aspirasi dan gelisah masyarakat yang setiap hari melihat dan mencatat sejumlah indikator tentang melemahnya ketahanan nasional di berbagai sektor, utamanya ekonomi dan penegakan hukum. Kecenderungan itu juga diakibatkan oleh melemahnya fungsi dan kontribusi beberapa institusi negara.
Dari seluruh rangkaian materi pengarahan itu, ungkapan yang bermakna tentang kepatuhan pada sistem hukum dan perundang-undangan sangat layak dijadikan pijakan untuk memahami esensi persoalan yang sedang dihadapi Indonesia menurut sudut pandang Presiden. Di forum itu, Presiden Prabowo menegaskan segala bentuk Undang-Undang (UU), keputusan presiden, peraturan presiden, peraturan pemerintah, dan semua produk dari pemerintah tidak akan ada artinya kalau tidak ditegakkan.
Tidak terlalu sulit untuk menerjemahkan atau menyimpulkan penegasan presiden itu. Secara tidak langsung, presiden mengemukakan kepada semua institusi negara, termasuk TNI dan Polri, untuk memastikan seluruh elemen bangsa mematuhi, menghormati dan konsisten melaksanakan hukum dan perundang-undangan yang diberlakukan negara. Sebab, kepatuhan dan penghormatan kepada sistem hukum dan perundang-undangan yang berlaku akan mewujudkan good governance, terwujudnya ketertiban umum, serta menjadikan kinerja perekonomian negara selalu produktif.
Sebaliknya, semua orang paham bahwa jika sistem hukum dan perundang-undangan tidak dipatuhi dan dihormati, yang akan terjadi adalah kerusakan di berbagai sektor dan berbagai aspek kehidupan bersama. Jangan berharap good governance akan terwujud. Justru korupsi akan merajalela.
Ketertiban umum juga akan mengalami kerusakan karena kualitas penegakan hukum yang buruk. Institusi penegak hukum akan selalu dicemooh, bahkan sebagian elemen di dalam masyarakat tak segan melakukan perlawanan kepada penegak hukum.
Jika kekacauan dan kerusakan akibat lemahnya penegakan sistem hukum dan perundang-undangan itu berlarut-larut, kecenderungan itu akan menjelma menjadi sebuah proses yang menjerumuskan sebuah sebuah komunitas ke dalam perangkap kegagalan. Dengan begitu, menjadi sangat relevan untuk lebih dalam memaknai ungkapan presiden tentang 'negara gagal' serta ungkapan 'tentara dan polisi gagal'.
Presiden menegaskan TNI dan Polri adalah dua institusi yang mewujudnyatakan kehadiran negara, penegak kedaulatan, dan wujud nyata dari eksistensi negara. Untuk alasan itulah Presiden merasa perlu mengingatkan ungkapan tentang negara gagal. "Ciri khas negara yang gagal adalah tentara dan polisi yang gagal," kata Presiden.
Kepada peserta Rapim TNI-Polri itu, Presiden kemudian juga menegaskan, "Saudara-saudara harus tahu, kalau sebuah negara hendak dihancurkan, siap-siap, lawan akan memperlemah tentara, polisi, dan intelijen."
Dengan penegasan Presiden seperti itu, menjadi jelas relevansi tentang kepatuhan dan penghormatan kepada sistem hukum dan perundang-undangan sebagai unsur tak terpisah pada aspek ketahanan nasional. Maka, dari pengarahan di forum Rapim TNI-Polri itu, patut untuk dimaknai Presiden Prabowo selaku Panglima Tertinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah memanggil dan mendorong seluruh elemen masyarakat, bersama TNI, Polri dan BIN, untuk terus memperkuat keseluruhan aspek pondasi ketahanan nasional.
Efektivitas ketahanan negara-bangsa harus tercermin pada kemampuannya merespons dan mengeliminasi segala bentuk rongrongan yang berpotensi memperlemah kedaulatan dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Presiden mengapresiasi semua unsur TNI dan Polri yang telah bekerja keras menjaga kedaulatan dan menjaga keamanan, dengan segala kekurangan.
Memahami apa yang dihadapi semua institusi, presiden berujar, "Suatu organisasi, suatu institusi yang terdiri dari ratusan ribu orang tidak mudah untuk dibina, tidak mudah untuk dikendalikan," kata Presiden.
Sudah barang tentu materi pengarahan Presiden tersebut diarahkan kepada semua institusi negara sebagai pembantu Presiden yang melaksanakan semua peraturan perundang-undangan serta berbagai ketentuan hukum. Secara tidak langsung, presiden memastikan bahwa kepatuhan pada sistem hukum dan perundang-undangan akan memperkokoh ketahanan nasional.
Sebaliknya, ketahanan nasional akan melemah jika tingkat kepatuhan dan penghormatan terhadap sistem hukum, UU serta peraturan pelaksanaannya berada pada titik terendah. Dalam konteks itu, Presiden berharap institusi negara pun patuh dan tidak kompromistis dalam melaksanakan UU serta ketentuan hukum lainnya.
Rangkaian materi pengarahan oleh Presiden itu tentu saja berpijak pada realitas Indonesia hari-hari ini, yang ditandai oleh melemahnya ketahanan nasional di berbagai sektor, utamanya sektor ekonomi dan penegakan hukum. Presiden telah berupaya membangun kembali ketahanan ekonomi nasional dari puing-puing kehancuran puluhan juta unit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Dari sekitar 65,5 juta unit UMKM, tak kurang dari 48,6 persen telah dinyatakan bangkrut akibat tekanan bertubi-tubi oleh faktor eksternal. Konsekuensinya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berkelanjutan tak terhindarkan.
Wujud lain dari pelemahan ketahanan nasional adalah penegakan hukum yang mengingkari prinsip, nilai dan asas keadilan. Alih-alih dihormati dan disegani, institusi penegak hukum sekarang ini justru terus dicemooh oleh masyarakat kebanyakan karena mempraktikan tebang pilih.
Masyarakat melihat bahwa pisau penegakan hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Jika kecenderungan seperti ini terus berlanjut, kualitas ketertiban umum menjadi taruhannya.
Bambang Soesatyo,Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN).
(ega/ega)