STABILITAS kawasan Timur Tengah tidak hanya menjadi urusan regional, tetapi juga berdampak langsung pada perdamaian global. Konflik yang terus meningkat, khususnya di Suriah Utara, semakin memperumit situasi geopolitik.
Eskalasi signifikan terjadi antara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan milisi pro-Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang didukung oleh Turkiye.
Dalam kurun waktu tidak sampai seminggu, serangan udara dan penggunaan drone telah merenggut lebih dari 100 nyawa di wilayah seperti Al Manbij, Tall Tamr, Deir Ezzor, Al Hasakeh, hingga pedesaan Aleppo.
Bantuan militer udara Turkiye turut memperdalam konflik ini, mencerminkan keterlibatan pihak ketiga yang memperburuk krisis.
Menlu Turkiye, Hakan Fidan, baru-baru ini juga menegaskan bahwa Turkiye akan melanjutkan serangan terhadap posisi SDF hingga mereka menyerah, dengan alasan mengamankan stabilitas kawasan dan keamanan perbatasan.
Turkiye juga menyatakan komitmennya untuk mendukung transisi politik di Suriah demi menciptakan perdamaian jangka panjang.
Keterlibatan Turkiye dalam konflik Suriah bukanlah fenomena baru. Hubungan antara kedua negara telah lama diwarnai ketegangan, setidaknya akarnya berasal dari berbagai isu historis dan geopolitik.
Salah satu persoalan utama adalah sengketa wilayah Hatay, yang masih dianggap sebagai bagian dari Suriah oleh Damaskus.
Di sisi lain, isu sensitif mengenai aliran air Sungai Efrat juga menjadi sumber konflik, meskipun perjanjian pada 1987 menjamin jatah minimum untuk Suriah.
Lebih penting lagi, dukungan Suriah terhadap kelompok separatis PKK (Partai Pekerja Kurdistan) sejak pertengahan 1980-an, telah menjadi pemicu utama ketegangan.
PKK, yang dianggap Turkiye sebagai organisasi teroris, bertanggung jawab atas kematian lebih dari 30.000 warga Turkiye.
Pemimpin PKK, Abdullah Öcalan, bahkan secara terbuka tinggal di Damaskus hingga akhir 1990-an, memicu respons keras dari Ankara.
Pada 1998, ketegangan meningkat hingga nyaris memicu perang setelah militer Turkiye bersiap melakukan serangan udara dan darat ke Suriah. Ancaman ini akhirnya memaksa Suriah mengusir Öcalan dan membatasi aktivitas PKK di wilayahnya.
Perbandingan dengan konflik di negara lain
Dalam memandang situasi Suriah saat ini, penting untuk membandingkannya dengan proses transisi politik di negara lain seperti Mesir dan Afghanistan.
Di Mesir, transisi terjadi melalui kudeta militer yang dipimpin oleh aktor pemerintah, yang pada akhirnya mendapatkan penerimaan dari komunitas internasional.
Sebaliknya, di Afghanistan, transisi berlangsung melalui perlawanan bersenjata oleh kelompok oposisi yang dianggap sebagai entitas teroris.
Pemerintah baru di Afghanistan diterima oleh blok Rusia dan China, tetapi Indonesia belum memberikan pengakuan sama sekali.
Sementara itu, di Suriah, proses transisi politik masih jauh dari kejelasan. Kelompok oposisi bersenjata seperti HTS, yang sebelumnya terkait dengan al-Qaeda, menghadapi label teroris dari banyak pihak, meskipun ada upaya untuk terus mereformasi citranya.
Dukungan blok Barat dan AS kepada kelompok-kelompok ini memperkuat posisi mereka, tetapi juga memperuncing ketegangan dengan pemerintah sebelumnya yang didukung oleh Rusia dan Iran.
Indonesia belum mengambil sikap di masa transisi yang ada. Indonesia harus hati-hati sekalipun kepentingan nasional RI di Suriah, setidaknya meliputi tiga hal, yakni politik, ekonomi, dan perlindungan.
Langkah diplomasi regional pernah menunjukkan hasil positif, seperti peran Mesir pada 1998 dalam meredakan ketegangan antara Turkiye dan Suriah. Namun, perkembangan terbaru justru menunjukkan pendekatan pragmatis dari pihak internasional.
Amerika Serikat, misalnya, memutuskan untuk mencabut hadiah sebesar 10 juta dollar AS atas kepala Abu Mohammad al-Julani, pemimpin HTS.
Menurut Barbara Leaf, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Dekat, keputusan ini diambil setelah al-Julani berjanji untuk tidak mengizinkan organisasi teroris beroperasi di wilayah Suriah atau mengancam AS maupun negara-negara tetangga.
Langkah ini menunjukkan fleksibilitas politik AS dalam menghadapi dinamika konflik Suriah, dengan memanfaatkan peran kelompok lokal untuk menciptakan stabilitas sementara waktu.
Namun, keputusan ini juga mencerminkan dilema etika dan politik yang dihadapi oleh negara-negara Barat.
Ketegangan etnis antara Kurdi dan Arab kian meningkat, mengancam upaya rekonsiliasi nasional yang menjadi prioritas Pemerintah Transisi Suriah.
Hubungan yang memburuk antara kedua kelompok ini semakin mempersulit pembentukan koalisi inklusif, yang sangat penting untuk menjaga kesatuan Suriah dan menciptakan stabilitas politik jangka panjang.
Kepentingan Indonesia di Suriah
Eskalasi yang terjadi di Suriah menegaskan pentingnya peran diplomasi multilateral Indonesia, yang melalui forum-forum seperti PBB, ASEAN, dan OKI, dapat memberikan kontribusi signifikan dalam meredakan ketegangan di kawasan.
Dengan pengalaman yang kaya dalam rekonsiliasi damai, terutama melalui penyelesaian konflik di Aceh, Indonesia memiliki kapasitas untuk memfasilitasi dialog dan membantu menciptakan kesepahaman antara pihak-pihak yang berkonflik.
Pendekatan diplomatik yang berbasis pada dialog dan perdamaian ini, ditambah dengan upaya aktif dalam meningkatkan stabilitas regional, memperlihatkan komitmen Indonesia untuk membawa solusi yang konstruktif dan berkelanjutan.
Selain itu, peluang besar juga terbuka dalam sektor ekonomi. Indonesia dapat berperan dalam rekonstruksi infrastruktur pasca-konflik, yang merupakan kebutuhan mendesak di Suriah.
Kerja sama lebih lanjut di bidang energi, pertanian, dan pariwisata dapat mempererat hubungan bilateral dan membuka peluang perdagangan serta investasi yang saling menguntungkan.
Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra strategis yang tidak hanya aktif dalam diplomasi politik, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi kawasan.
Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia di tengah peluang tersebut tidaklah sedikit.
Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di Suriah menjadi perhatian utama. Kelompok-kelompok seperti mahasiswa, pekerja migran Indonesia (PMI), dan individu yang terhubung dengan kelompok teroris internasional, termasuk Foreign Terrorist Fighters (FTF), memerlukan perhatian khusus untuk memastikan keselamatan mereka.
Situasi yang terus berkembang dan penuh ketidakpastian ini menuntut langkah-langkah cepat dan efektif dari Indonesia untuk melindungi warga negaranya yang terjebak dalam krisis ini.
Dalam lanskap geopolitik yang semakin kompleks, Indonesia memiliki potensi untuk memainkan peran lebih besar sebagai mediator dan mitra strategis yang berwibawa.
Keberhasilan peran ini, bagaimanapun, sangat bergantung pada kemampuan Indonesia untuk menganalisis dinamika konflik dengan seksama, memanfaatkan peluang diplomatik secara cerdas, dan mengelola kepentingan nasionalnya dengan bijak di tengah ketegangan yang terus meningkat.
Namun, di balik potensi peran positif ini, ada pertanyaan yang perlu dijawab: Siapkah Indonesia menerima stempel sebagai negara yang mendukung kelompok teroris?
Hal ini menjadi dilema mengingat status HTS yang masih dianggap sebagai kelompok teroris oleh banyak negara.
Di sisi lain, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan memulangkan puluhan hingga ratusan warganya yang terafiliasi dengan kelompok teroris di luar negeri.
Beberapa bulan terakhir, pihak keamanan Indonesia sibuk merencanakan langkah-langkah untuk memulangkan individu-individu yang terlibat dalam kelompok teroris seperti yang berangkat atas nama Jamaah Islamiyah di Suriah.
Sebuah keputusan strategis yang harus diambil dengan hati-hati agar tidak merugikan citra Indonesia sebagai negara pendukung perdamaian dan stabilitas global.
Mengingat situasi yang masih cair, Indonesia dapat mengambil sikap sementara untuk tidak memberikan pengakuan politik kepada salah satu pihak hingga ada perkembangan yang lebih stabil dan inklusif. Ini penting untuk menjaga posisi netral Indonesia di mata komunitas internasional