Kepala Bidang (Kabid) Sekolah Dasar (SD) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Medan, Bambang Sudewo menyebutkan permasalahan guru menghukum siswa SD Yayasan Abdi Sukma Medan akibat menunggak uang SPP dikarenakan miskomunikasi.
"Intinya ini ada miskomunikasi antara orangtua dengan pihak sekolah. Karena kebijakan yang dilakukan oleh gurunya itu tidak diketahui oleh sekolah maupun pihak yayasan. Nah kemudian pihak orangtua juga tanpa komunikasi dengan pihak sekolah terus viral. Jadi sebenarnya ini miskomunikasi, " kata Bambang Sudewo, Selasa (14/1).
Menurutnya permasalahan tersebut sudah diselesaikan dengan baik. Dia berharap ke depannya tidak ada lagi kejadian serupa. Sebab masalah uang sekolah merupakan tanggung jawab orangtua. Sehingga tidak boleh dikaitkan dengan siswa.
"Ini sudah diselesaikan. Mudah-mudahan tidak ada lagi efek-efek lain terkait viralnya peristiwa ini. Kami harap ini jangan sampai terjadi lagi. Masalah uang sekolah adalah tanggung jawab orangtua dan tidak boleh dikaitkan dengan anak-anak, apalagi sampai mengganggu proses belajar mereka," ujar Bambang.
Video seorang siswa Sekolah Dasar (SD) Yayasan Abdi Sukma di Kota Medan, Sumatra Utara (Sumut) berinisial MI dihukum mengikuti pembelajaran dengan duduk di lantai karena menunggak pembayaran SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) viral di media sosial.
Dalam video yang beredar, AM yang tak lain ibu dari MI mendatangi guru SD Yayasan Abdi Sukma. Dia mempertanyakan sikap guru yang mengasingkan anaknya dengan cara duduk di lantai hanya gara gara belum membayar uang SPP.
"Begini loh Bu dia ini disoraki dari tadi di luar saya datang. Buk ambil rapot, Mesia duduk di bawah dia nangis loh bu," ujar AM sambil menangis bertemu dengan guru yang menghukum anaknya tersebut.
AM mengaku terkejut saat mendengar cerita anaknya yang masih kelas IV SD itu mendapat hukuman sejak tanggal 6 Januari 2025. Bahkan MI juga sempat menolak masuk sekolah karena tak sanggup menanggung malu akibat mendapatkan hukuman disaksikan teman satu kelasnya.
"Dia nangis mau pergi sekolah, dia nangis. Dia bilang Mamak, MI malu duduk di bawah. Dia sempat nggak mau sekolah karena malu. Di mana sih perasaan ibu anak kayak gini tu harus menanggung malu bu," ujarnya kepada sang guru.
Video yang bernarasikan wali kelas menghukum siswa SD swasta di Medan belajar di lantai karena tidak mengambil rapor. Setelah viral, wali kelas pun dirumahkan. [723] url asal
Video yang bernarasikan wali kelas menghukum siswa SD swasta di Medan belajar di lantai karena tidak mengambil rapor. Setelah viral, wali kelas pun dirumahkan oleh pihak yayasan.
"Gurunya ya kita rumahkan dulu lah, tenangkan dirinya," kata Ketua yayasan yang mengelola SD swasta, Ahmad Parlindungan, Senin (13/1/2025).
Wali kelas dirumahkan mulai hari ini hingga situasi kondusif. Wali kelas itu diminta untuk menenangkan diri.
"Sudah kita berikan juga sanksi, setelah viral suasana tidak kondusif, jadi saya bilang mulai hari Senin istirahat di rumah sampai tenang sampai kondusif, nanti kelanjutannya disampaikan," ucapnya
Sebelumnya diberitakan, sebuah video menampilkan seseorang siswa sekolah dasar (SD) swasta di Jalan STM, Kota Medan, disuruh belajar di lantai oleh wali kelas. Siswa kelas 4 SD itu disuruh belajar di lantai hanya karena menunggak uang sekolah selama 3 bulan.
Dalam video yang dilihat, Jumat (10/1), terlihat siswa SD duduk di lantai dalam ruangan kelas. Kemudian perekam video yang ternyata orang tua siswa itu mempertanyakan perihal tersebut kepada wali kelas yang saat itu sedang berada di ruangan belajar.
Orang tua siswa, Kamelia (38), mengatakan jika peristiwa dalam video terjadi pada Rabu (8/1). Anaknya sendiri ternyata telah duduk selama 3 hari di lantai.
"Di hari Rabu, tanggal 6 (Januari) masuk sekolah kan, jadi sekitar 3 hari itu dia memang duduknya di lantai tanpa sepengetahuan saya," kata Kamelia kepada detikSumut, Jumat (10/1).
Kamelia pun menceritakan kronologi dia mengetahui anaknya duduk di lantai saat belajar. Kamelia menyebutkan wali kelas membuat peraturan jika siswa yang belum mengambil rapor tidak boleh mengikuti kegiatan belajar mengajar.
"Jadi gini ceritanya, saya memang belum melunasi uang SPP awalnya, tapi wali kelasnya itu kan membuat peraturan kalau sudah terima raport baru muridnya bisa mengikuti pelajaran," sebutnya.
Peraturan itu kemudian diketahui dibuat sendiri oleh wali kelas tanpa sepengetahuan kepala sekolah. Anak Kamelia sendiri belum bisa mengambil rapor karena masih menunggak uang sekolah selama 3 bulan.
Kamelia mengaku sudah berkomunikasi dengan wali kelas jika dia belum bisa datang ke sekolah. Dirinya berniat menjual handphone-nya agar bisa melunasi uang sekolah kedua anaknya di sekolah itu.
Sedangkan, anaknya yang lain disebut tidak mendapat perlakuan seperti itu meskipun belum membayar uang sekolah.
"Saya sudah koordinasi hari Selasa-nya, saya bilang ibu izin saya belum bisa datang, itu rencana kemarin saya mau sempat jual HP untuk bayar uang sekolah biar (anak) dapat raport," ucapnya.
Ketua yayasan yang menaungi SD swasta itu, Ahmad Parlindungan, mengatakan jika sekolah itu didirikan sebagai amal sosial. Sekolah itu sudah berdiri sejak 1963 dengan status wakaf.
"Sekolah ini adalah sekolah amal sosial membantu masyarakat yang kurang mampu, anak-anak yatim bersekolah di tempat kami sejak tahun 1963 sudah berdiri dan statusnya wakaf," kata Ahmad Parlindungan di Kantor Ombudsman Perwakilan Sumut, Senin (13/1).
Ahmad menjelaskan jika selama Januari-Juni uang sekolah digratiskan. Sedangkan untuk Juli-Desember dikenakan Rp 60 ribu.
"Kami di sekolah itu memberikan prioritas bantuan anak-anak sekolah 6 bulan gratis, Januari sampai Juni itu gratis. Juli sampai Desember itu dibayar uang sekolahnya dari kelas 4-6 itu Rp 60 ribu," jelasnya.
Pihaknya kemudian melakukan upaya untuk memberikan bantuan agar membayar uang sekolah selama Juli-Desember. Dalam catatan mereka, terdapat 79 dari 131 siswa yang mendapat PIP.
Sedangkan siswa SD yang belajar di lantai itu disebut mendapat PIP beserta adiknya yang masih duduk kelas 1. Kamelia, yang merupakan orang tua siswa telah mengambil uang tersebut pada April dan Desember 2024, seharusnya mencukupi pembiayaan uang sekolah anak yang sebesar Rp 60 ribu per bulan.