JAKARTA, KOMPAS.com - Memperingati 27 tahun peristiwa 12 Mei 1998 bisa dilakukan di Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Tepatnya di Museum Tragedi 12 Mei 1998.
Museum Tragedi 12 Mei 1998 dibangun pada 1999, setahun usai peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti yakni Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
"Tahun 1999 (Museum Tragedi 12 Mei 1998) diresmikan seperti itu dan pada saat itu memang dikumpulkan barang-barang atau baju yang digunakan oleh almarhum," ucap Kepala Humas Universitas Trisakti, Dewi Priandini kepada Kompas.com di Universitas Trisakti, Rabu (14/5/2025).
Museum ini terletak di area lobi Gedung Dr. Sjarif Thajeb di Kampus A, dan bebas diakses oleh masyarakat umum.
Foto-foto keempat pejuang reformasi terpampang di area museum, lengkap dengan berbagai barang peninggalan korban.
Dewi menuturkan, pembangunan Museum Tragedi 12 Mei 1998 menjadi wujud Universitas Trisakti dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi bagi para korban.
"Sampai ada yang meninggal pun, waktu itu sudah satu tahun sejak peristiwa 1998, tidak bisa terungkap. Sampai sekarang, sebenarnya, tidak terungkap siapa yang bertanggung jawab," kata Dewi.
Diketuai oleh mantan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Eka Sediadi Rasyad, serta beberapa dosen dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Trisakti, museum ini akhirnya resmi berdiri pada 1999.
Pihak universitas mengumpulkan barang-barang, termasuk baju yang dipakai oleh para korban saat tewas tertembak.
"Ada juga sumbangan lukisan dari dekan yang memang senang melukis. Akhirnya beliau menaruh lukisannya untuk mengenang, memperingati tragedi 12 mei 1998," tambah Dewi.
Kenapa Museum Tragedi 12 Mei 1998 ada di dalam kampus?
Kompas.com/Krisda Tiofani Kaca tebal dengan bekas tembakan peluru yang masih tertanam di lokasi aslinya, menambah bukti nyata peristiwa reformasi 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti.Lokasi Museum Tragedi 12 Mei 1998 tidak pernah berubah. Sejak 26 tahun lalu, area lobi Gedung Dr Syarif Thajeb sengaja dipilih karena memiliki makna mendalam akibat peristiwa 1998.
Tepat di dinding museum, terdapat kaca tebal dengan bekas peluru yang ditembakkan ke arah gedung, diduga dari jembatan layang yang terletak di depan universitas.
"Makanya kami enggak bisa pindah lokasi. Museum ini benar-benar berdiri di lokasi kejadian karena ada nilai sejarahnya," ujar Dewi.
Selain di kaca tersebut, bekas peluru yang ditembakkan juga bisa ditemukan di dinding, tak jauh dari foto keempat korban yang dipajang. Saat ini bekas tersebut sudah ditandai dengan lingkaran merah.
Bahkan, papan putih yang sempat dijadikan tandu untuk mengangkat korban yang tewas juga masih dipajang di museum ini.
Papan yang sebenarnya diperuntukkan sebagai dinding pameran, harus berubah fungsi menjadi tandu guna mengangkat salah satu korban.
Televisi yang menyiarkan potongan peristiwa 12 Mei 1998 juga tidak pernah berganti, alias masih memanfaatkan televisi tabung yang sudah jadul.
"Alhamdulillah Museum Tragedi 12 Mei 1998 berdiri sebagai sejarah reformasi supaya enggak lupa dan bisa dilihat oleh adik-adik dari SMA maupun universitas," kata Dewi.
Upacara rutin dilakukan
DOK. Humas Universitas Trisakti Upacara peringatan tragedi 12 Mei 1998 yang digelar setiap tahun di Kampus Trisakti, Rabu (14/5/2025).Universitas Trisakti rutin menggelar upacara sebagai peringatan peristiwa 12 Mei 1998, termasuk pada tahun ini yang sudah menginjak usia 27 tahun.
Para alumni, keluarga korban, dosen, dan karyawan, rutin menghadiri upacara tersebut.
"Kami juga menaburkan bunga di empat titik penembakan dan pergi ke makam keempat almarhum. Dua orang dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan, satu orang di Jakarta Barat, dan satu lagi di Bandung," jelas Dewi.
Terhitung tujuh tahun setelah tragedi 12 Mei 1998, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi penghargaan Bintang Jasa Pratama bagi para korban yang tewas tertembak.
Keempat mahasiswa Trisakti yang gugur dianugerahi gelar Pejuang Reformasi karena dianggap berjasa mendorong bergulirnya orde baru menjadi era reformasi.
Saat ini pihak kampus pun masih berjuang agar keempat pejuang reformasi tersebut bisa memperoleh gelar pahlawan reformasi.