SAMARINDA, KOMPAS.com – Tiga anggota Polresta Samarinda diduga terlibat dalam penyelundupan narkotika jenis sabu-sabu ke ruang tahanan. Mereka adalah personel Satuan Samapta berpangkat bintara, masing-masing berinisial EP, FDS, dan AADS.
Informasi yang dihimpun Kompas.com menyebutkan, sabu-sabu diselundupkan melalui nasi bungkus untuk seorang tahanan kasus narkoba bernama Angga.
Peristiwa ini terjadi pada Minggu (30/3/2025) sekitar pukul 21.00 Wita.
Kronologi Penyelundupan
Tahanan Angga disebut telah "berkoordinasi" dengan AADS, petugas jaga, untuk memuluskan masuknya paket tanpa pemeriksaan dengan imbalan Rp 1 juta.
Praktik penyelundupan ini terbongkar dalam pemeriksaan rutin oleh petugas lain, yang menemukan sabu-sabu tersembunyi dalam makanan.
Penelusuran internal kemudian mengungkap keterlibatan tiga personel, dengan peran berbeda mulai dari membuka akses hingga mengabaikan prosedur pemeriksaan.
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, membenarkan adanya kelalaian anggota dalam menjaga tahanan.
"Betul ada oknum anggota jaga tahanan yang lalai dengan membiarkan adanya narkoba masuk ke rutan Polresta Samarinda," kata Hendri kepada Kompas.com, Kamis (23/4/2025).
Saat ini, ketiga anggota telah ditempatkan di penempatan khusus (patsus) di Propam Polda Kaltim dan akan menjalani sidang disiplin dan sidang kode etik profesi.
"Kami sampaikan bahwa Polresta Samarinda dan Polda Kaltim sangat serius dan memberi atensi penuh terhadap pemberantasan narkoba, baik terhadap pelaku eksternal maupun internal," tegas Hendri.
Pakar: Ini Bukan Lagi Oknum, Tapi Sindikat
Pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro), menilai kasus ini sebagai cerminan kegagalan institusi kepolisian dalam membersihkan anggotanya dari praktik kejahatan.
"Selama ini citra polisi memang sudah buruk. Kejadian semacam ini hanya memperburuk citra di mata masyarakat," ujar Castro kepada Kompas.com, Jumat (25/4/2025).
Menurut Castro, keterlibatan tiga anggota sekaligus menunjukkan bahwa masalah ini bukan lagi sekadar kelalaian individu.
"Tiga orang itu sulit disebut sekadar oknum. Ini sudah kolektif, artinya ada indikasi sindikat yang bekerja di dalam tubuh kepolisian," katanya.
Ia menilai adanya "pembiaran" di tingkat institusi, serta menekankan bahwa tidak hanya pelaku lapangan yang harus diproses, tetapi juga atasan yang gagal melakukan pengawasan.
"Yang harus bertanggung jawab bukan hanya anggota yang terlibat, tetapi juga pimpinan yang gagal mengawasi bawahan. Kalau tidak, ini hanya akan memperparah kerusakan internal," tegas Castro.
Bahkan, Castro menduga praktik serupa sudah lama terjadi tanpa kontrol efektif.
"Saya menduga ini sudah lama terjadi. Kalau keterlibatan makin banyak, itu bukan lagi oknum, tapi sindikat. Harus ada pembersihan menyeluruh agar kepercayaan publik terhadap polisi tidak runtuh sepenuhnya," pungkasnya.