Praktisi Hukum Gede Pasek Suardika menilai Surat Edaran (SE) gubernur tidak bisa dijadikan landasan untuk memberikan hukuman bagi masyarakat dan pelaku usaha dari semua level. Menurutnya, SE tidak berada dalam klaster perundang-undangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan sanksi.
"SE itu sebenarnya masuk ke dalam rumpun administrasi negara yang posisinya berada di level kebijakan. Di dalam beberapa ketentuan yang ada, SE itu setara dengan nota dinas," kata Gede Pasek dalam keterangan tertulis, Senin (21/4/2025).
Hal tersebut diungkapkannya menyusul polemik yang timbul terkait penerbitan SE nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih sampah.
Ia menilai ada kejanggalan dalam SE yang dikeluarkan Gubernur Bali Wayan Koster berkenaan dengan larangan dan sanksi dalam surat tersebut. Salah satu pasal yang menjadi sorotan berkaitan dengan pelarangan penggunaan plastik dan produksi serta distribusi air kemasan di bawah 1 liter.
Pasek mengatakan SE bersifat diskresi secara internal untuk memberikan arahan tertentu sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan ancaman sanksi dalam SE dimaksud.
"Jadi itu kalau sampai nanti dijatuhkan sanksi bisa digugat. Meski penguasa juga tetap bisa digugat," ungkapnya.
Mantan anggota DPR RI ini bahkan siap menjadi kuasa hukum bagi masyarakat manapun yang dikenakan sanksi berlandaskan SE tersebut. Ia juga menegaskan bahwa jasa konsultasi itu akan diberikan dengan gratis.
"Kalau ada pedagang pasar nggak boleh pake tas kresek, trus kalau pake nanti mau apa? mau ditutup? itu nggak bisa. Gubernur nggak bisa menutup usaha orang yang sudah memiliki hanya karena SE," ujarnya.
Meski demikian, ia mengaku mendukung rencana gubernur untuk mengurangi sampah di Bali. Namun, hal tersebut harus dilakukan dengan benar dan tidak merugikan semua pihak apalagi memberikan sanksi dengan tidak berlandaskan acuan hukum yang jelas.
Mantan politisi partai Demokrat ini menegaskan Gubernur Koster seharusnya membentuk kebiasaan masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan sebelum mengeluarkan SE. Menurutnya, pengentasan sampah akan lebih efektif apabila masyarakat bisa mengendalikan diri agar tidak membuang sampah sembarangan.
"Seharusnya, gubernur itu ada uang, aparat dan lain-lain ya itu seharusnya dipakai buat bersihin sampah plastik. Nah abis itu masyarakat diberikan penyadaran dan pendidikan agar dalam social engineering berubah cara dia berpikir sehingga dia bisa mengikuti keinginan kita mengurangi limbah plastik," katanya.
Lebih jauh, politisi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) ini melanjutkan kalau pemerintah seharusnya juga membentuk infrastruktur yang merata sebelum mengimplementasikan kebijakan. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya menempatkan fasilitas air isi ulang di tempat-tempat strategis.
"Harusnya sediakan juga alternatif sebelum mengarahkan masyarakat begini-begitu, sudahkan gubernurnya menyiapkan isi ulang di semua instansinya? atau air PDAMnya sudah layak nggak? kalau nggak ada infrastrukturnya gimana masyarakat mau cari minum. Inikan menyulitkan masyarakat mau cari minum," katanya.
"Jadi siapkan dulu jaring pengamannya baru buat SE dan ajak masyarakat berubah. Jangan buat SE berbau perundang-undangan dengan ancaman lalu semua ditakuti sehingga semua ketakutan. Ini bukan kerajaan tapi rumpun demokrasi," tambahnya.
Diketahui, pemerintah provinsi (pemprov) Bali telah menerbitkan SE Gubernur nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih sampah. Salah satu klausul menjadi sorotan terkait pelarangan produksi dan distribusi dalam SE tersebut menuai kontra karena dinilai bakal merugikan publik, masyarakat adat dan pariwisata Bali.
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Kasus prostitusi dengan pelaku wanita warga negara asing (WNA) makin banyak di Bali. Pihak Imigrasi sampai kesukitan mencegahnya. Akademisi pun memberi saran. [770] url asal
Kasus prostitusi dengan pelaku wanita warga negara asing (WNA) makin banyak di Bali. Pihak Imigrasi sampai kesukitan mencegahnya. Akademisi pun memberi saran.
Kadiv Imigrasi Kanwil KemenkumHAM Bali Samuel Toba mengakui kesulitan untuk mendeteksi kebenaran maksud dan tujuan turis asing datang di Bali. Kecuali, jika ada informasi catatan kriminal dari otoritas negara asal terhadap warga asing yang bersangkutan.
"Niatnya, datang ke sini (ke Bali) untuk berwisata. Ternyata, sampai di sini, malah melihat peluang (terlibat prostitusi)," kata Samuel di kantornya, Rabu (4/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya, setelah terciduk dan diperiksa, WNA yang bersangkutan baru mengaku berwisata di Bali hanya kedok. Mayoritas dari mereka memang ingin menjajakan diri di Bali. Termasuk para warga asing yang melihat ada peluang layanan prostitusi berkedok tempat hiburan atau pijat.
"Karena petugas kami tidak bisa memprofiling (mendeteksi) bahwa orang asing ini mau jadi prostitusi. Setelah didalami itu (baru ketahuan). Alasannya berwisata, tahu-tahu menjajakan diri," kata Samuel.
Menurut dia, salah satu cara untuk memberantas warga asing yang melanggar aturan izin tinggal hanya dengan memperketat pengawasan.
Ada tim pengawas orang asing (tim pora) yang berpatroli di darat dan internet untuk mengawasi dan menindak para warga asing yang melanggar izin tinggal di Bali.
Selain itu, lanjut dia, Imigrasi sudah bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dan penegak hukum dalam rangka memperketat pengawasan.
Dia juga mengimbau ke masyarakat agar melapor jika mengetahui ada warga asing di lingkungannya yang diduga menyalahi aturan izin tinggal.
"Karena itu lah, pengawasan orang asing kalau sudah di Indonesia, bukan hanya dibebankan Imigrasi. Semua stakeholder, instansi, dan masyarakat juga ikut terlibat dalam pengawasan. Bagaimana caranya, memberikan informasi ke petugas," katanya.
Guru Besar Pariwisata Unud Minta Warga Bali Ikut Pantau Kegiatan WNA
Khusus saran terakhir itu, Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana (Unud), I Putu Anom juga memberikan pendapat yang sama.
Ia meminta masyarakat Bali turut memantau setiap kegiatan warga negara asing (WNA) di wilayah masing-masing guna merespons banyaknya turis asing yang bekerja ilegal di Bali, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Menurut Anom, peran desa, dinas, adat hingga masyarakat sangat penting, mengingat para turis asing itu tinggal di vila yang wilayahnya menjadi kewenangan pemerintah desa.
"Jangan cuek begitu, harus tegas. Kayaknya banyak sekali saya masih memantau pemerintah ke bawah itu tidak tahu siapa yang tinggal di vila kawasan mereka," ujar Anom, Rabu (4/12).
Anom meminta pengelola tempat tinggal para WNA juga proaktif melapor ke desa dan kepolisian setempat jika ada wisatawan yang menginap di tempat usaha mereka.
"Bila perlu dibuat aturan melapor di kantor desa, penting ini," sambung mantan Dekan Fakultas Pariwisata (FPar) Unud itu.
Anom mengatakan wisatawan asing itu harus dipantau dengan saksama agar mereka tidak dapat berbuat aneh-aneh, seperti berbisnis ilegal hingga bekerja yang melanggar norma.
"Dia melihat banyak sekali kelengahan dari aparat kita (yang) belum ketat ya. Jadi Imigrasi di airport setelah bayar dipantau di mana dia menginap, apa kegiatannya, itu ada kelemahan, itu yang perlu diperbaiki oleh pemerintah," jelas Anom.
VoA Turis Juga Diminta Diperketat
Anom juga mendorong pemerintah RI untuk memperketat Visa on Arrival (VoA) bagi warga negara tertentu saja. Kebijakan itu dilakukan guna meminimalkan wisatawan yang memiliki sumber daya manusia rendah datang ke Bali.
"Jadi perlu ke depan diseleksi oleh pemerintah visa on arrival itu, evaluasi negara-negara mana yang cocok diberikan VoA," ujar Anom.
"Kualitas mereka ini memang nggak punya kerjaan itu. Mereka melihat di Bali, karena yang terkenal di Indonesia kan Bali, peluang itu dilihat di sini kan banyak orang di sini berduit sehingga dia membangun usaha spa tersembunyi dengan esek-eseknya itu," jelas Anom.
Wanita berkebangsaan asing yang terlibat kasus prostitusi di Bali makin banyak. Pihak Imigrasi mengaku kesulitan untuk mencegah mereka 'menjual diri' di Bali. [552] url asal
Wanita berkebangsaan asing yang terlibat kasus prostitusi di Bali makin banyak. Pihak Imigrasi mengaku kesulitan untuk mencegah mereka 'menjual diri' di Bali.
Kasus prostitusi yang melibatkan warga negara asing (WNA) sebagai pelakunya di Bali makin banyak saja. Hal itu menjadi kesulitan tersendiri bagi Imigrasi mencegah turis asing terlibat prostitusi di Bali.
"Niatnya, datang ke sini (ke Bali) untuk berwisata. Ternyata, sampai di sini, malah melihat peluang (terlibat prostitusi)," kata Kadiv Imigrasi Kanwil KemenkumHAM Bali Samuel Toba di kantornya, Rabu (4/12/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Samuel mengakui sulit bagi petugas Imigrasi mendeteksi kebenaran maksud dan tujuan turis asing datang di Bali. Kecuali, jika ada informasi catatan kriminal dari otoritas negara asal terhadap warga asing yang bersangkutan.
Biasanya, setelah terciduk dan diperiksa, WNA yang bersangkutan baru mengaku berwisata di Bali hanya kedok. Mayoritas dari mereka memang ingin menjajakan diri di Bali. Termasuk para warga asing yang melihat ada peluang layanan prostitusi berkedok tempat hiburan atau pijat.
"Karena petugas kami tidak bisa memprofiling (mendeteksi) bahwa orang asing ini mau jadi prostitusi. Setelah didalami itu (baru ketahuan). Alasannya berwisata, tahu-tahu menjajakan diri," kata Samuel.
Menurutnya, salah satu cara untuk memberantas warga asing yang melanggar aturan izin tinggal hanya dengan memperketat pengawasan.
Ada tim pengawas orang asing (tim pora) yang berpatroli di darat dan internet untuk mengawasi dan menindak para warga asing yang melanggar izin tinggal di Bali.
Selain itu, lanjut dia, Imigrasi sudah bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dan penegak hukum dalam rangka memperketat pengawasan. Dia juga mengimbau ke masyarakat agar melapor jika mengetahui ada warga asing di lingkungannya yang diduga menyalahi aturan izin tinggal.
"Karena itu lah, pengawasan orang asing kalau sudah di Indonesia, bukan hanya dibebankan Imigrasi. Semua stakeholder, instansi, dan masyarakat juga ikut terlibat dalam pengawasan. Bagaimana caranya, memberikan informasi ke petugas," katanya.
Sebelumnya diberitakan, petugas Imigrasi menciduk sejumlah WNA terlibat kasus prostitusi di Bali sepanjang 2024. Mulai dari membuka jasa spa plus-plus dan menjadi pekerja seks komersial (PSK).
Terbaru, dua WN Rusia terciduk jadi terapis pijat plus-plus. Mereka berinisial AT (24) dan KM (22). Keduanya dideportasi dari Bali lantaran menjajakan diri dengan menjadi terapis pijat plus-plus selama berada di Pulau Dewata.
Petugas menemukan sejumlah barang bukti, termasuk baby oil, sex toys, hingga uang dalam pecahan dolar Amerika dan Australia.
Kasus prostitusi WNA di Bali meningkat, menyulitkan Imigrasi dalam mencegah pelanggaran. Pengawasan ketat dan kerjasama dengan masyarakat diperlukan. [506] url asal
Marak kasus prostitusi yang melibatkan warga negara asing (WNA) sebagai pelakunya di Bali. Hal itu menjadi kesulitan tersendiri bagi Imigrasi mencegah turis asing terlibat prostitusi di Bali.
"Niatnya, datang ke sini (ke Bali) untuk berwisata. Ternyata, sampai di sini, malah melihat peluang (terlibat prostitusi)," kata Kadiv Imigrasi Kanwil KemenkumHAM Bali Samuel Toba ditemui detikBali di kantornya, Rabu (4/12/2024).
Samuel mengakui sulit bagi petugas Imigrasi mendeteksi kebenaran maksud dan tujuan turis asing datang di Bali. Kecuali, jika ada informasi catatan kriminal dari otoritas negara asal terhadap warga asing yang bersangkutan.
Biasanya, setelah terciduk dan diperiksa, WNA yang bersangkutan baru mengaku berwisata di Bali hanya kedok. Mayoritas dari mereka memang ingin menjajakan diri di Bali. Termasuk para warga asing yang melihat ada peluang layanan prostitusi berkedok tempat hiburan atau pijat.
"Karena petugas kami tidak bisa memprofiling (mendeteksi) bahwa orang asing ini mau jadi prostitusi. Setelah didalami itu (baru ketahuan). Alasannya berwisata, tahu-tahu menjajakan diri," kata Samuel.
Menurutnya, satu cara untuk memberantas warga asing yang melanggar aturan izin tinggal hanya dengan memperketat pengawasan. Ada tim pengawas orang asing (tim pora) yang berpatroli di darat dan internet untuk mengawasi dan menindak para warga asing yang melanggar izin tinggal di Bali.
Selain itu, lanjut dia, Imigrasi sudah bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dan penegak hukum dalam rangka memperketat pengawasan. Dia juga mengimbau ke masyarakat agar melapor jika mengetahui ada warga asing di lingkungannya yang diduga menyalahi aturan izin tinggal.
"Karena itu lah, pengawasan orang asing kalau sudah di Indonesia, bukan hanya dibebankan Imigrasi. Semua stakeholder, instansi, dan masyarakat juga ikut terlibat dalam pengawasan. Bagaimana caranya, memberikan informasi ke petugas," katanya.
Sebelumnya, petugas Imigrasi menciduk sejumlah WNA terlibat kasus prostitusi di Bali sepanjang 2024. Mulai dari membuka jasa spa plus-plus dan menjadi pekerja seks komersial (PSK).
Terbaru, dua WN Rusia terciduk jadi terapis pijat plus-plus. Mereka berinisial AT (24) dan KM (22). Keduanya dideportasi dari Bali lantaran menjajakan diri dengan menjadi terapis pijat plus-plus selama berada di Pulau Dewata.
Petugas menemukan sejumlah barang bukti, termasuk baby oil, sex toys, hingga uang dalam pecahan dolar Amerika dan Australia