
Ijtihad 'Tepuk Nyamuk': Logika Radikal-Terorisme
Ramadan menjadi bulan suci yang penuh berkah bagi umat Islam. Namun, bagi kelompok teroris, bulan ini justru dipandang sebagai momen strategis untuk melancarkan... | Halaman Lengkap [732] url asal
#opini #terorisme #serangan-teroris #penanggulangan-terorisme #jihad
(SINDOnews Ekbis) 18/03/25 16:22
v/99938/

Pengurus Badan Penanggulangan Ekstremisme dan TerorismeMUI Pusat
SETIAP tahun, Ramadan menjadi bulan suci yang penuh berkah bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun, bagi kelompok teroris, bulan ini justru dipandang sebagai momen strategis untuk melancarkan serangan. Momentum Syaban-Ramadan sering kali dianggap sebagai waktu ideal untuk berjihad karena diyakini membawa pahala berlipat ganda.
Kasus terbaru di Bannu, Pakistan, pada 5 Maret 2025, adalah bukti nyata. Serangan bom bunuh diri menewaskan 18 orang, mempertegas pola serupa yang berulang di tahun-tahun sebelumnya. Mengapa aksi terorisme selalu meningkat setiap Ramadan?
Rasionalitas Palsu
Fenomena ini bukanlah kebetulan. Abdullah Azzam, ideolog yang menjadi inspirasi kelompok seperti Al-Qaeda dan ISIS, dalam magnum opus-nya, Al-Tarbiyah Al-Jihadiyah fi Al-Bina (1990), menegaskan bahwa amal baik di bulan Ramadan diyakini bernilai lebih tinggi. Dengan logika yang menyimpang, kelompok teroris meyakini bahwa aksi kekerasan merupakan ibadah utama. Bahkan, Azzam pernah menyatakan bahwa satu jam di medan perang lebih baik daripada 60 tahun ibadah.
Keyakinan ini tidak hanya berlaku di bulan Ramadan, tetapi juga di Syaban?periode yang mereka anggap sebagai waktu persiapan jihad. Pandangan ini semakin mengukuhkan alasan mengapa serangan teroris kerap terjadi dalam rentang waktu ini.
Di Indonesia, pola serupa juga terlihat. Propaganda jihad Syaban-Ramadan terus menjadi ancaman. Kelompok teroris memanfaatkan momentum ini untuk merekrut anggota baru dan mencuci otak mereka dengan janji pahala besar. Padahal, tindakan mereka justru melanggar ajaran Islam yang mengutamakan kedamaian.
Ancaman terorisme pun tidak selalu hadir dalam bentuk bom atau aksi kelompok radikal. Di Makassar, Sulawesi Selatan, dalam empat hari pertama Ramadan 2025, terjadi tiga serangan dengan busur panah di beberapa lokasi, termasuk Panakkukang dan Tamalanrea. Seorang anggota kepolisian turut menjadi korban.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekerasan yang menciptakan ketakutan di masyarakat tidak selalu bermotif ideologis. Bisa jadi, ini adalah bentuk kejahatan jalanan yang semakin brutal. Jika tidak dicegah, tren ini dapat berkembang menjadi ancaman yang lebih luas. Tanpa strategi pencegahan yang efektif, Ramadan, yang seharusnya menjadi bulan penuh kedamaian, justru berubah menjadi bulan ketakutan.
Generalisasi Musuh
Pola pikir ekstremis tidak hanya terlihat dalam aksi-aksi terorisme saat Ramadan, tetapi juga dalam cara mereka menggeneralisasi musuh. Mahmud Al-Harabi dalam kitabnya Maus�?ah al-Firaq wa al-Maz�hib wa al-Ady�n al-Mu?�shirah memuat cuplikan seruan Al-Qaeda pada 1998 yang menyatakan bahwa "setiap kaum Muslimin hukumnya wajib untuk membunuh orang Amerika Serikat, termasuk sipil, militer, hingga sekutunya di mana pun mereka berada."
Pernyataan ini mencerminkan logika yang tidak hanya hitam-putih, tetapi juga menciptakan kewajiban mutlak bagi para pengikutnya untuk melakukan kekerasan tanpa batas waktu dan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Fenomena ini juga terlihat dalam perkembangan Islamisme politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Kemunculan kelompok yang mengusung ?Islam Syariat? dengan pendekatan yang serba halal-haram menunjukkan bagaimana Islam dikonstruksikan hanya sebagai hukum positif yang harus diwujudkan dalam institusi negara.
Dalam konteks ini, negara tidak lagi dipandang sebagai ruang keberagaman, tetapi sebagai instrumen untuk menegakkan hukum syariat secara paksa. Konsekuensinya, model negara yang mereka usung cenderung bersifat teokratis dan otoriter, sebagaimana yang terlihat dalam pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Dengan pola pikir seperti ini, ekstremisme tidak hanya melahirkan kekerasan fisik, tetapi juga pemaksaan tafsir tertentu atas Islam yang menutup ruang bagi perbedaan pandangan. Ini mengingatkan kita pada logika ?menepuk semua nyamuk?, di mana siapa pun yang tidak sepaham dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Paradigma yang Menyimpang
Pandangan jihad yang dikembangkan kelompok teroris berseberangan dengan perjalanan hidup Nabi Muhammad. Dalam periode awal di Makkah, hubungan antara Muslim dan komunitas Yahudi serta Nasrani tidak selalu bersifat konfrontatif. Bahkan, sebagian orang Yahudi mengakui kenabian Muhammad, sementara yang lain memilih hidup berdampingan.
Ketika hijrah ke Madinah, Nabi tidak serta-merta memerangi komunitas Yahudi dan Nasrani, melainkan membangun kerja sama dalam politik, hukum, dan ekonomi. Piagam Madinah menjadi bukti bahwa Islam tidak mengajarkan permusuhan tanpa sebab, tetapi justru menekankan prinsip hidup berdampingan.
Dalam aspek teologis, Islam juga menegaskan kebebasan beragama, sebagaimana termaktub dalam firman Allah: ?Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu.? Sejarah mencatat bahwa pertentangan antara Muslim dan komunitas Yahudi-Nasrani lebih banyak dipicu oleh faktor politik dan ekonomi, bukan semata-mata persoalan agama.
Dengan demikian, klaim jihad yang diusung kelompok teroris tidak hanya bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi juga dengan sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Jihad bukan sekadar perang, tetapi perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Jika narasi jihad terus dipelintir untuk membenarkan kekerasan, maka kita perlu bertanya: apakah kita masih membiarkan logika generalisasi musuh merajalela?

HTI dalam Bayang-Bayang Hukum
Hizbut Tahrir (HT) bukan sekadar organisasi Islam global. Ia adalah gerakan ideologis yang bekerja di balik layar, mengusung sistem khilafah sebagai tatanan ideal... | Halaman Lengkap [932] url asal
#opini #hizbut-tahrir-indonesia-hti #ormas-terlarang #ormas #ekstremisme
(SINDOnews Ekbis) 11/02/25 17:29
v/73754/

Penulis Trilogi Kontra Khilafahisme
HIZBUT Tahrir (HT) bukan sekadar organisasi Islam global. Ia adalah gerakan ideologis yang bekerja di balik layar, mengusung sistem khilafah sebagai tatanan ideal dunia Islam.
Sejak 1980-an, gerakan ini menapakkan jejaknya di Indonesia melalui jalur pendidikan. Abdurahman Albagdadi, seorang aktivis HT dari Australia, masuk ke pesantren Al-Ghazali Bogor, membangun jaringan di kalangan mahasiswa, hingga ideologi ini mengakar di kampus-kampus besar seperti IPB, Unpad, IKIP Malang, Unair dan lainnya.
Pada 1990-an, HTI mulai mengadopsi pendekatan lebih luas. Dari ruang akademik, mereka merambah komunitas pekerja dan birokrasi dengan pola rekrutmen tertutup. Reformasi 1998 menjadi momentum emas yang mereka manfaatkan untuk menampilkan diri secara terbuka. Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah 2002 di Istora Senayan menjadi puncak eksistensi HTI, menandai transisi mereka dari gerakan intelektual menjadi proyek politik yang lebih masif.
Namun, HTI menghadapi dilema besar: mereka menolak model nation-state yang mereka anggap sebagai produk imperialisme, tetapi pada saat yang sama, mereka memanfaatkan kebebasan demokrasi untuk menyebarkan gagasannya. Larangan yang diberlakukan pada 2017 tak serta-merta menghentikan langkah mereka. Sebaliknya, mereka beradaptasi, berpindah ke ranah digital, menyusup ke forum-forum kajian Islam eksklusif, dan mencari celah dalam sistem yang ada.
Gempuran Global
HT bukan sekadar fenomena Indonesia. Di Timur Tengah, mereka dianggap ancaman terhadap stabilitas nasional. Yordania dan Mesir menindaknya dengan keras, Palestina melihatnya sebagai pesaing Ikhwanul Muslimin, sementara Turki menekan mereka agar tidak berkembang.
Januari 2024 menjadi titik balik global bagi HT. Inggris resmi melabeli mereka sebagai organisasi teroris setelah aksi demonstrasi pro-Hamas yang diwarnai seruan "jihad?.
Home Secretary James Cleverly menegaskan HT sebagai kelompok antisemit yang merayakan kekerasan, termasuk serangan 7 Oktober 2023. Keputusan ini menutup ruang gerak HT di Inggris, tetapi jika sejarah menjadi pelajaran, mereka selalu menemukan cara untuk bertahan.
Di Kanada, langkah serupa mulai diambil. Pada 13 Januari 2025, Menteri Keamanan Publik Rachel Bendayan mengumumkan pemantauan ketat terhadap HT setelah rencana konferensi mereka di Hamilton, Ontario. RCMP telah mengaktifkan pengawasan penuh terhadap acara tersebut dan sedang mempertimbangkan status HT sebagai entitas teroris dalam hukum Kanada.
Pada 6 Januari 2025, HT Kanada merespons tekanan ini dengan pernyataan tegas: mereka tetap berpegang pada misinya untuk menghidupkan kembali umat Islam melalui pendirian kembali Khilafah sesuai metode kenabian. Ini adalah sinyal bahwa meskipun mereka menghadapi represi, mereka tetap teguh dalam ideologi dan menolak tunduk pada tekanan pemerintah.
Di Kota Hamilton, respons juga muncul. Wali Kota Andrea Horwath menegaskan bahwa kota tersebut tidak akan menjadi ruang bagi organisasi yang menyebarkan kebencian. Dengan kebijakan ketat terkait penyewaan fasilitas publik, Hamilton memastikan HT tidak bisa beroperasi secara terbuka. Ini adalah tanda bahwa negara-negara Barat mulai melihat HT sebagai ancaman nyata dan mengambil langkah preventif sebelum gerakan ini berkembang lebih jauh.
Mencari Celah Pascapelarangan
Pada 2 Februari 2025, aksi massa berupa pawai terjadi di sedikitnya 22 kota di Indonesia. Meski tidak mengatasnamakan HTI secara resmi, pola mobilisasi dan narasi yang digunakan mengindikasikan keterlibatan jaringan mereka.
Pemerintah diharapkan bertindak lebih tegas terhadap kelompok yang dinilai terus berupaya menyusupkan ide khilafah ke ruang publik, meskipun telah dilarang secara hukum. Ini menunjukkan bahwa HTI tetap mencari celah, menggunakan metode adaptif untuk menghindari deteksi, dan menyusup ke organisasi yang lebih moderat.
Dalam Konferensi Pers BNPT pada 23 Desember 2024 di Hotel Aryaduta Jakarta Pusat, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahwa sebanyak 180.954 konten bermuatan radikalisme, intoleransi, dan ekstremisme terdeteksi sepanjang tahun 2024.
Konten-konten ini terafiliasi dengan berbagai jaringan teroris dan kelompok terlarang, di antaranya ISIS, JAD, Hizbut Tahrir Indonesia, dan JAT. Temuan ini menjadi sinyal bahwa meskipun telah dibubarkan, jaringan HTI masih aktif dalam ruang digital, membangun narasi dan merekrut simpatisan baru melalui berbagai platform daring.
Fenomena gerakan khilafah di Indonesia tidak hanya berkutat pada HTI. Salah satu aktor yang turut mencuri perhatian adalah Abdul Qadir Hasan Baraja, pimpinan tertinggi Khilafatul Muslimin (KM), sebuah organisasi yang mengklaim sebagai gerakan dakwah untuk menegakkan sistem khilafah di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 1997 dan memiliki struktur kepemimpinan dengan ?khalifah? sebagai pemimpin tertinggi.
KM telah menjadi perhatian pemerintah karena aktivitasnya yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi Indonesia. Organisasi ini diduga menyebarkan paham yang menolak sistem demokrasi dan mendukung pembentukan Negara Islam. Selain itu, mereka juga memiliki jaringan pendidikan dan komunitas yang dianggap menyebarkan ideologi radikal kepada para pengikutnya.
Penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja pada 2022 dilakukan atas tuduhan bahwa ia dan organisasinya terlibat dalam kegiatan yang melanggar UU No 16/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), termasuk menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam keamanan nasional. Pemerintah menilai gerakan ini sebagai ancaman serius terhadap ideologi negara dan tatanan masyarakat.
Namun, yang menarik, kasus serupa telah muncul sebelumnya. Pada 26 Agustus 2020, laporan terhadap Ismail Yusanto telah masuk ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan melanggar UU No 16/2017. Meskipun HTI telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang, penerapan hukum terhadap individu-individu yang terafiliasi dengannya masih menyisakan pertanyaan. Jika regulasi telah tersedia, mengapa langkah tegas yang sama tidak segera diterapkan?
Keberlangsungan organisasi, termasuk yang telah dinyatakan terlarang, sangat bergantung juga pada sistem pendanaan yang mereka kelola. Perputaran keuangan menjadi denyut nadi yang memungkinkan jaringan mereka tetap hidup, merekrut simpatisan baru, dan menyebarluaskan ideologi mereka. Sudah saatnya pemerintah tidak hanya berfokus pada pemantauan aktivitas organisasi ini tetapi juga menindak sumber daya keuangan mereka.
Redefinisi tindak pidana 'Pencucian Uang' harus diperluas untuk mencakup organisasi terlarang seperti HTI. Langkah konkret yang perlu diambil adalah memperketat regulasi finansial, melakukan audit mendalam terhadap sumber pendanaan yang mencurigakan.
Tanpa upaya ini, organisasi semacam HTI dapat terus bergerak meskipun secara formal telah dinyatakan terlarang. Keputusan untuk membubarkan mereka tanpa menutup celah finansial hanya akan membuat mereka beradaptasi dengan modus operandi baru, yang mungkin lebih sulit dideteksi.

Mengoptimalkan Demografi dan Hak Asasi Perempuan Melalui Pembatasan Internet
Di tengah perkembangan pesat teknologi dan digitalisasi, kita dihadapkan pada dua tantangan besar: menurunnya angka kelahiran dan hak asasi perempuan untuk bebas... | Halaman Lengkap [944] url asal
#opini #kesetaraan-gender #perempuan #pelanggaran-hak-asasi-manusia #internet
(SINDOnews Ekbis) 15/01/25 15:16
v/51809/

Dosen Hubungan Internasional President University
DI TENGAH perkembangan pesat teknologi dan digitalisasi, kita dihadapkan pada dua tantangan besar yang saling bertentangan: menurunnya angka kelahiran dan hak asasi perempuan untuk bebas memilih jalannya hidup. Pembatasan internet, meskipun dapat dipandang sebagai langkah untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sosial dan keluarga, bisa berpotensi menekan hak perempuan untuk mengakses informasi yang penting bagi pemberdayaan diri mereka.
Yin dan Yang: Menciptakan Keseimbangan Tanpa Menyampingkan Hak Asasi Perempuan
Dalam filosofi Tiongkok, Yin dan Yang menggambarkan dua kekuatan yang saling bertentangan namun saling melengkapi. Dalam konteks ini, dunia digital (Yang) yang sangat aktif dan penuh dengan informasi, hiburan, serta peluang ekonomi, berinteraksi dengan kehidupan sosial dan keluarga (Yin), yang sering kali membutuhkan perhatian lebih untuk menciptakan keseimbangan.
Namun, ketika konsep pembatasan internet diterapkan secara sepihak, hal ini bisa mengabaikan hak perempuan atas kebebasan informasi dan kesempatan untuk mengejar karir atau pendidikan.
Hak Asasi Perempuan dalam Dunia Digital: Menjaga Kesetaraan dalam Era Pembatasan Akses Internet
Dalam era digital yang semakin maju, internet telah menjadi alat yang sangat penting bagi perempuan di seluruh dunia. Melalui akses internet, perempuan dapat memperoleh pendidikan, mengakses peluang kerja, serta membangun jejaring sosial yang memberi mereka kekuatan untuk memperjuangkan hak mereka.
Dari segi politik, sosial, hingga ekonomi, media digital memungkinkan perempuan untuk mengemukakan pendapat, mengorganisir diri, dan memperjuangkan perubahan dalam berbagai sektor kehidupan. Namun, dengan berkembangnya kebijakan pembatasan akses internet, terutama yang berkaitan dengan pembatasan usia dan akses ke platform digital, ada potensi bahaya bagi hak-hak perempuan, yang perlu diperhatikan secara hati-hati.
Internet telah membuka ruang bagi perempuan untuk melampaui batasan sosial, budaya, dan geografis yang sebelumnya menghalangi mereka. Melalui media sosial, perempuan dapat berbagi pengalaman, mengadvokasi isu-isu penting, dan terlibat dalam dialog global mengenai hak asasi manusia. Salah satu contoh utama adalah gerakan #MeToo, yang memberikan ruang bagi perempuan di berbagai belahan dunia untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender.
Di bidang pendidikan, internet memberi akses kepada perempuan di daerah terpencil untuk mendapatkan pembelajaran yang lebih luas tanpa harus bergantung pada infrastruktur fisik yang terbatas. Platform pembelajaran daring memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengakses materi pendidikan dan mengikuti kursus yang membantu mereka meningkatkan keterampilan dan memperluas pengetahuan, yang pada gilirannya memperbesar peluang mereka dalam dunia kerja.
Selain itu, di dunia ekonomi, internet juga memungkinkan perempuan untuk memulai bisnis mereka sendiri atau bekerja dari jarak jauh, memberi mereka kebebasan untuk mengatur waktu dan sumber daya mereka sendiri. Hal ini membuka peluang ekonomi yang lebih besar, mengurangi ketergantungan pada pekerjaan konvensional, dan memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi lebih aktif dalam perekonomian global.
Namun, dengan adanya pembatasan akses internet yang semakin ketat, ada potensi yang cukup besar untuk membatasi kebebasan perempuan di dunia digital. Kebijakan pembatasan usia atau pembatasan lainnya yang tidak mempertimbangkan akses perempuan terhadap sumber daya penting ini dapat menghalangi mereka untuk terus berkembang, berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan memperjuangkan kesetaraan gender.
Contohnya, kebijakan pembatasan usia untuk mengakses media sosial atau internet dapat menambah kesulitan bagi perempuan muda yang bergantung pada platform digital untuk mendapatkan pendidikan atau kesempatan kerja. Pembatasan ini dapat menghambat potensi mereka untuk mendapatkan informasi yang relevan mengenai peluang karier, pelatihan keterampilan, atau kegiatan sosial yang memperkaya kehidupan mereka.
Selain itu, pembatasan yang diterapkan dengan alasan perlindungan terhadap anak-anak bisa berisiko mengabaikan hak perempuan dewasa untuk bebas mengakses informasi dan berpartisipasi dalam percakapan publik. Kebijakan yang diterapkan tanpa pemahaman yang mendalam tentang kesetaraan gender dapat memperburuk ketimpangan digital, di mana perempuan justru kehilangan akses ke platform yang mendukung partisipasi mereka dalam dialog sosial dan politik.
Menjaga Keseimbangan dalam Kebijakan Pembatasan Internet
Mengingat peran vital yang dimainkan oleh internet dalam memberdayakan perempuan, sangat penting bahwa setiap kebijakan yang terkait dengan pembatasan akses internet mempertimbangkan dampaknya terhadap kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Pembatasan akses internet yang berlebihan dan tanpa pertimbangan bisa menjadi alat yang mengekang kebebasan perempuan untuk mengejar cita-cita mereka, belajar, bekerja, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
Kebijakan yang efektif dan inklusif harus memperhatikan dua hal utama: pertama, melindungi pengguna internet dari potensi dampak negatif seperti eksploitasi, kekerasan daring, atau konten yang tidak pantas; dan kedua, memastikan bahwa pembatasan tersebut tidak menciptakan kesenjangan yang lebih besar dalam akses dan partisipasi perempuan. Hal ini bisa dilakukan melalui pendekatan yang lebih bijaksana, seperti memberikan pendidikan literasi digital yang inklusif untuk perempuan dari segala usia, serta mendengarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk aktivis perempuan dan organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Mencapai Keseimbangan antara Pembatasan dan Kebebasan
Alih-alih membatasi akses internet secara drastis, kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis kesetaraan gender bisa diambil untuk menciptakan keseimbangan. Misalnya, pembatasan waktu akses internet pada anak-anak dan remaja untuk mendukung perkembangan sosial mereka, sementara perempuan tetap diberi kebebasan untuk memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pembatasan yang dilakukan dengan bijak dapat memberi ruang bagi hubungan interpersonal yang lebih mendalam tanpa mengorbankan hak perempuan atas kebebasan informasi dan pendidikan.
Kebijakan yang Mendukung Hak Asasi Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga
Untuk mencapai tujuan meningkatkan angka kelahiran tanpa mengabaikan hak asasi perempuan, kebijakan yang lebih holistik perlu diterapkan. Ini termasuk memberikan insentif untuk pasangan yang memiliki anak, menyediakan fasilitas sosial yang mendukung kehidupan keluarga (misalnya, layanan penitipan anak dan cuti melahirkan), serta pendidikan yang menekankan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam konteks kehidupan keluarga dan profesional.
Pembatasan internet sebagai solusi untuk mempercepat pertumbuhan jumlah demografi perlu diimbangi dengan pertimbangan hak asasi perempuan. Konsep Yin dan Yang mengajarkan kita bahwa keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan sosial sangat penting, tetapi keseimbangan ini tidak boleh mengorbankan kebebasan perempuan untuk mengakses informasi dan mengejar peluang yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Dengan kebijakan yang adil, bijaksana, dan inklusif, kita dapat menciptakan harmoni yang mendukung kesejahteraan keluarga, pemberdayaan perempuan, dan pertumbuhan demografi yang sehat.