TANGERANG, KOMPAS.com - Terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso dipastikan tidak bisa merayakan Natal bersama keluarganya meski telah dipulangkan ke Filipina.
Kepastian tersebut disampaikan oleh Deputi Koordinator Imigrasi dan Pemasyarakatan Kemenko Kumham Imipas, I Nyoman Gede Surya Mataram yang menyebut status Mary Jane tetap jadi narapidana meski sudah Filipina.
“Seperti yang saya sampaikan, ini adalah pemindahan narapidana. Mary Jane tetap akan dimasukkan ke penjara yang ada di Filipina dan melanjutkan proses hukum di sana,” ujar I Nyoman Gede Surya Mataram di Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta, Kota Tangerang, Selasa (17/12/2024).
Adapun untuk proses hukumnya, Nyoman menyebutkan bahwa hal itu disesuaikan dengan perjanjian yang sudah ditandatangani oleh perwakilan pemerintah Indonesia dan Filipina lewat surat serah terima narapidana.
"Untuk proses hukumnya setelah ini diserahkan kepada pemerintah Filipina sesuai dengan perjanjian antarnegara,” kata dia.
Sebelumnya, Mary Jane sempat menyampaikan harapannya untuk merayakan natal bersama keluarganya di Filipina.
Namun, Nyoman memastikan bahwa harapan tersebut tidak berkaitan dengan kebebasan hukum.
“Pemindahan ini bukan berarti dia bebas. Ini adalah bagian dari proses hukum yang tetap harus dijalani. Mary Jane tidak akan merayakan Natal di rumah, melainkan tetap berada dalam pengawasan hukum di Filipina,” ucap dia.
Kasus Mary Jane bermula ketika ia menerima tawaran dari Christine atau Maria Kristina Sergio untuk menjadi pembantu rumah tangga di Kuala Lumpur, Malaysia pada 2010.
Saat itu, dia kembali dari Dubai, Uni Emirat Arab usai kontrak kerjanya habis dan nyaris menjadi korban pemerkosaan.
Dilansir dari Kompas.com (7/4/2021), Jane yang merupakan anak terakhir dari lima bersaudara ini berasal dari keluarga kurang mampu dan hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah atas.
Setelah lulus, dia menikah dan dikaruniai dua orang anak. Sayangnya, pernikahannya tak berlangsung lama.
Setibanya Mary Jane di Kuala Lumpur, pekerjaan yang ditawarkan Christine rupanya sudah tidak ada. Alhasil, dia pun diminta pergi ke Yogyakarta sebagai ganti tawaran pekerjaan yang dijanjikan itu.
Pada 25 April 2010, Mary Jane tiba di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta membawa koper dan uang 500 dollar Amerika Serikat (Rp 7.936.000).
Ketika koper yang dibawanya melewati pemeriksaan sinar-x, sistem mendeteksi benda mencurigakan yang ditandai dengan bintik hijau kecokelatan dalam suatu kemasan.
Petugas pun membongkar koper tersebut dan menemukan bungkus aluminium foil berisi 2,6 kilogram serbuk coklat muda yang diketahui merupakan heroin, narkotika golongan I.
Anggota Direktorat Narkoba Kepolisian DIY akhirnya menahan Mary Jane di Rutan Sleman untuk diproses hukum.
Meski mengaku tidak tahu menahu soal isi dari kemasan tersebut, Mary Jane dinyatakan bersalah dan divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman pada 11 Oktober 2010.
Vonis mati itu diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 23 Desember 2010 dan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 31 Mei 2011.
Pada saat itu, Mary Jane mengaku terkendala komunikasi selama menjalani proses hukum. Dia yang kala itu belum bisa berbahasa Indonesia diberi pendampingan penerjemah yang masih mahasiswa.
"Waktu sidang saya selfie-selfie di ruang tahanan, saya sama sekali dak tahu saat itu saya di antara hidup dan mati. Sekarang saya tahu karena bisa bahasa Indonesia meskipun bahasa Inggris saya terbatas," ungkapnya, dikutip dari Kompas.id (8/1/2023).
Seusai divonis mati, Mary Jane tetap berusaha mengajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali, tetapi upayanya selalu gagal.
Presiden Indonesia saat itu, Joko Widodo juga sempat menolak permohonan grasi Mary Jane pada 2014. Mary Jane pun dua kali masuk dalam daftar terpidana mati yang harus dieksekusi pada Januari dan April 2025.
Namun, pada saat akan dieksekusi pada 29 April 2015 di Nusakambangan, Jawa Tengah, hukuman mati Mary Jane ditunda.
Penundaan eksekusi ini menyusul tekanan yang datang dari masyarakat internasioal dan nasional yang menyatakan bahwa Mary Jane adalah korban perdagangan manusia.
Sebuah bukti baru, yang menyatakan Mary Jane adalah korban perdagangan manusia (human traficking), membuat eksekusi itu juga tertahan.
Beberapa jam sebelum eksekusi, Maria Kristina Sergio yang mengaku terlibat dalam pengiriman Mary Jane ke Indonesia, menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.
Setelah itu, Mary Jane ditahan di Lapas Kelas IIB Yogyakarta, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, DIY.