SURABAYA, KOMPAS.com - Tren pinjaman online (pinjol) terus meningkat setiap tahun, didorong berbagai kemudahan dan keuntungan yang ditawarkan.
Namun, di balik kemudahan tersebut, pinjol juga membawa dampak kerugian yang signifikan bagi mereka yang tidak mampu membayar utang.
Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan korban agar bisa terlepas dari jeratan pinjol? Apa saja hukum yang mengaturnya?
Menurut Ketua Program Studi Magister Hukum UPN Veteran Jawa Timur Teddy Prima Anggriawan, apabila nasabah tidak bisa membayarkan utang pada pinjol legal, mereka bisa mengajukan restrukturisasi kepada perusahaan.
Restrukturisasi merupakan negosiasi untuk mengajukan keringanan pembayaran yang dilakukan nasabah kepada perusahaan peminjam.
“Kita minta saja ke perusahaanya untuk waktu pengunduran pembayaran dan hal itu lazim dilakukan oleh perbankan maupun perusahan pinjol yang terdaftar OJK,” tuturnya, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (24/4/2025).
Namun, apabila nasabah terjerat utang pada pinjol ilegal, nazabah memiliki hak untuk tidak membayarkan kembali utang serta segera laporkan kepada OJK dan pihak berwenang.
“Perusahaan pinjol ilegal itu tidak mempunyai dasar hukum apa pun untuk melakukan penagihan dan mereka juga enggak akan bisa menuntut nasabah karena tidak ada hukum yang mengikat perusahaan tersebut,” ujarnya.
Ia menyampaikan, hukum yang mendasari utang-piutang pinjol merupakan hukum perdata.
Namun, hukum tersebut dapat berubah menjadi pidana jika dalam prosesnya terdapat unsur-unsur seperti penipuan, pemerasa, kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain sebagainya.
“Saya yakin kalau pinjolnya memang legal tidak akan berani melanggar hukum tersebut karena perusahannya bisa dicabut. Kalau terjadi pelanggaran, pasti mereka pinjol ilegal,” tuturnya.
Apabila terjadi ancaman, intimidasi, atau penyebaran data pribadi nasabah, masyarakat dapat lapor ke kepolisian
“Jangan lupa juga untuk meminta pendampingan dari lembaga bantuan hukum (LBH) untuk korban pinjol ilegal,” ujarnya.
Teddy juga mengingatkan penting bagi nasabah untuk mengumpulkan segala bukti-bukti yang dapat menjadi penunjang dari pelaporan, seperti screenshot atau rekaman suara.
“Nantinya sudah menjadi tugas penyidik untuk mengklasifikasikan dari setiap kasus yang ada, tapi yang penting bukti itu harus ada,” katanya.
Jika memang terbukti, pihak pinjol dapat dikenakan pelanggaran Undang-Undang (UU) ITE apabila terjadi eksploitasi digital maupun KUHP jika terdapat unsur pemerasan atau ancaman.
“Peminjam juga bisa minta perlindungan ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) jika korban merasa terancam,” ucapnya.