Bupati Lamandau Rizky Aditya Putra mendesak percepatan pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Diskusi FGD melibatkan berbagai pihak untuk evaluasi. [631] url asal
Bupati Lamandau Rizky Aditya Putra mendorong agar proses pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dipercepat. Hal itu ia sampaikan secara tertulis melalui Wakil Bupati Abdul Hamid, dalam acara diskusi terfokus (FGD) bertema Percepatan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Lamandau. Dilaksanakan di Aula BPKAD Nanga Bulik, Senin (21/4/2025).
"Saya mengajak kita bersama-sama yang hadir di sini untuk dapat lebih serius dalam upaya percepatan pengakuan masyarakat hukum adat di Kabupaten Lamandau. Saya berkomitmen untuk terus mendorong kebijakan yang inklusif dan berpihak pada masyarakat adat, sebagai bagian dari upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial," terang bupati.
Bupati menyatakan masyarakat adat tersebar luas hampir di seluruh Kabupaten Lamandau, terutama di wilayah-wilayah hulu. Mereka memiliki pengetahuan yang baik dalam mengelola dan menjaga kelestarian sumber daya alam, juga menjaga tradisi selama ratusan generasi. Hal ini dapat ditemukan di daerah aliran sungai Delang, Batangkawa, dan Belantikan.
"Perlu menjadi perhatian serius bagi kita semua karena sampai hari ini belum ada komunitas Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan. Hal ini menjadi refleksi kita bersama juga sebagai bahan evaluasi kita, jangan sampai publik mengira bahwa kita tidak menaruh perhatian serius terhadap isu Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Lamandau," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Provinsi Kalimantan Tengah telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak. Kabupaten Lamandau juga telah menerbitkan Perda Nomor 3 tahun 2023 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak.
Namun, hingga saat ini belum satu pun pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Lamandau diterbitkan. Padahal, Pasal 18B ayat (2) yang menjadi landasan utama pengakuan MHA, disusun pada tahun 2000 sebelum Kabupaten Lamandau lahir.
Dalam FGD ini, bupati mengundang para kepala desa, mantir adat, demang, dan perwakilan masyarakat adat se-Kabupaten Lamandau. Ia juga mengundang pihak Kementerian Dalam Negeri, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Save Our Borneo (SOB), dan berbagai lembaga yang selama ini dikenal mendampingi komunitas masyarakat adat di Lamandau.
Perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Cahya Arie Nugroho, yang hadir secara daring menjelaskan,bupati menetapkan pengakuan dan perlindungan MHA berdasarkan rekomendasi panitia MHA. Panitia MHA melakukan identifikasi (yang dijalankan di tingkat kecamatan), lalu memverifikasi dan memberikan validasi sebelum memberikan rekomendasi pada bupati.
Ia juga menjelaskan MHA itu tidak dibentuk oleh pemerintah, tapi pemerintah yang mesti memberi pengakuan. Adapun terkait hak-hak adat yang mengikuti, seperti hutan adat masih harus mengikuti regulasi sektoral di Kementerian Kehutanan.
Perwakilan komunitas adat lainnya, menyambut positif diskusi terfokus ini. Mereka sepakat bahwa setidaknya, pengakuan dan perlindungan subjek masyarakat hukum adat segera diberikan oleh pemerintah. Mereka juga meminta pemerintah daerah mempercepat proses identifikasi, verifikasi, validasi, hingga penetapan MHA ini.