Sukabumi -
Baru-baru ini, isu dwifungsi TNI ramai dalam pembahasan RUU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Berbagai pihak menolak RUU tersebut yang sudah masuk ke paripurna.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menepis isu bahwa pemerintah mendukung perubahan besar dalam Revisi Undang-Undang (RUU) TNI. Menurutnya, anggapan tersebut hanyalah spekulasi tanpa dasar yang digaungkan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki pekerjaan jelas.
"Nggak ada (potensi dwifungsi) tidak mungkin lah. Itu cuma khayalan, imajinasi belaka. Nggak ada, sangat tidak mungkin, mustahil. Itu orang yang hidupkan itu orang-orang yang nggak ada kerjaan," kata Pigai kepada wartawan di Kabupaten Sukabumi, Rabu (19/3/2025).
Pigai menegaskan bahwa pemerintah tetap berpegang pada prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia. Ia meminta agar masyarakat tidak terpengaruh oleh isu yang menurutnya tidak berdasar.
Dalam pernyataannya, Pigai juga meminta publik untuk mengikuti pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang sebelumnya menyatakan bahwa tidak ada rencana perubahan besar dalam RUU TNI.
"Ikuti saja pernyataan Pak Dasco. Pak Dasco bilang nggak ada (dwifungsi), itu cuma khayalan oleh orang-orang yang tidak mau kami bangun rakyat. Kan kami bilang tahta untuk rakyat, harta negara untuk rakyat," ujarnya.
Pigai menegaskan bahwa pemerintah tidak dalam posisi mendorong atau menolak RUU TNI karena pembahasan regulasi merupakan ranah DPR. Namun, ia menekankan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga supremasi sipil dan demokrasi.
"(Mendukung RUU TNI?) Kan kami pemerintah. Itu urusan DPR. Karena itu kami lebih menjaga kedigdayaan sipil, demokrasi, dan HAM. Karena itu bagian dari pemerintah.
Lebih lanjut, Pigai menilai bahwa revisi RUU TNI yang tengah dibahas tidak memiliki dampak besar terhadap sistem ketatanegaraan. Ia menyebut hanya ada tiga pasal yang direvisi, sehingga anggapan bahwa perubahan ini akan mengubah negara adalah hal yang berlebihan.
"Kan itu hanya tiga pasal. Kok berubah negara? Ada nggak Fraksi ABRI di DPR? Fraksi ABRI di MPR ada nggak? Ya gimana bisa men-drive politik kebijakan dan regulasi di parlemen kalau tidak ada fraksi di MPR dan DPR?" kata Pigai.
Menurutnya, perubahan tata kelola negara dilakukan melalui fraksi-fraksi di parlemen. Karena tidak ada Fraksi ABRI di DPR dan MPR, maka Pigai menilai bahwa isu ini lebih banyak digerakkan oleh pihak-pihak tertentu di media sosial.
"Kalau nggak ada fraksi ya itu cuma buzzer. Sebenarnya mereka tahu," tambahnya.
Kata Pigai Soal Aktivis
Menanggapi persoalan sejumlah aktivis yang dilaporkan karena menggeruduk dan menginterupsi rapat pembahasan RUU yang dilaksanakan secara tertutup di Hotel Fairmont, Pigai menyarankan agar kepolisian menempuh jalur restoratif dalam menyelesaikan persoalan laporan tersebut. Menurutnya, tak perlu untuk menempuh jalur pidana.
"Polisi cari solusi mediasi saja, tidak usah proses hukum," katanya.
Para aktivis yang menyuarakan haknya, kata dia, merupakan bagian dari HAM yang harus dihargai. Alih-alih menempuh cara retributif dalam konteks hukum dan pemidanaan, kepolisian diminta menempuh cara bersifat restoratif dalam menangani laporan satpam Hotel Fairmont tersebut.
"Kalau enggak salah ada peraturan Kapolri yang lebih kepada restoratif daripada retributif," kata mantan komisioner Komnas HAM itu.
Sebelumnya diberitakan, proses legislasi revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) masih terus bergulir. Terkini, bakal beleid itu telah disepakati DPR dan pemerintah untuk dibawa ke rapat paripurna, forum tempat pengesahan undang-undang.
Proses RUU TNI nyatanya terus bergerak usai belakangan ramai penolakan. Pun pimpinan DPR, Komisi I DPR, hingga pemerintah bergantian menjelaskan ke publik agar tak mengkhawatirkan RUU tersebut menciptakan kembali dwifungsi ABRI.
Setidaknya ada tiga pasal yang menjadi sorotan, yakni Pasal 3 terkait kedudukan TNI, Pasal 53 tentang seusai pensiun bagi prajurit hingga Pasal 47 terkait penempatan prajurit aktif di kementerian atau lembaga.
(yum/yum)