
Tolak RUU, Koalisi Sipil Minta Penegak Hukum dan TNI Evaluasi Pengawasan Internal
Koalisi sipil meminta penegak hukum dan militer mengevaluasi sistem pengawasan internal di lembaga mereka. [614] url asal
#koalisi-sipil #koalisi-masyarakat-sipil #koalisi-perempuan-indonesia #ruu-polri #penindakan #setara-institute #bem-si-kerakyatan #komisi-yudisial #politik #pbhi #ruu #kpk #esprit-de-corps #militer #dpr #polri #pelang

Koalisi masyarakat sipil menolak penambahan kewenangan TNI, Polri dan Kejaksaan yang tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bergulir di DPR. Koalisi sipil meminta penegak hukum dan militer mengevaluasi sistem pengawasan internal di lembaga mereka.
"Mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing aknum anggota penegak hukum," demikian salah satu poin desakan dari pernyataan bersama koalisi sipil yang dikutip, Senin (17/2/2025). Koalisi sipil ini terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute, dan BEM SI Kerakyatan.
Selain itu, koalisi sipil juga meminta para pembuat kebijakan untuk memperkuat pengawasan eksternal terhadap lembaga penegak hukum. Koalisi sipil ingin pengawas independen ini bekerja secara efektif dengan kewenangan yang sesuai.
"Memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran. Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas eksternal ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumber daya yang cukup," lanjut keterangan dari koalisi sipil.
Dalam penjelasannya, Koalisi Sipil mengutip data dari World Justice Project (WJP) yang meletakkan Indonesia pada urutan ke-68 untuk Indeks Rule of Law tahun 2024.
"Urutan ini menurun 2 poin dari tahun 2023 yang ada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin. Laporan ini menunjukkan, dari 8 dimensi Rule of Law, 6 di antaranya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, termasuk pada dimensi criminal justice," demikian pernyataan bersama koalisi sipil.
Koalisi sipil menilai situasi tersebut tidak luput dari kondisi penegakan hukum di Indonesia. Mereka menyoroti beragam kasus belakangan ini yang menunjukkan kecenderungan kuat seharusnya lembaga penegak hukum memperbaiki diri.
Dari berbagai kasus yang meliputi sejumlah lembaga penegak hukum itu, koalisi sipil melihat tak ada indikasi perbaikan institusi. Sejumlah lembaga penegak hukum itu dinilai malah berlomba-lomba menambah kewenangannya yang dapat dilihat dari sejumlah draf RUU yang bergulir di DPR, yaitu RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan.
Draf RUU Polri sebelumnya mendapatkan kritik saat pembahasan di DPR lantaran mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Begitu pula draf RUU TNI yang beredar pada tahun lalu, kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum menuai kritikan.
Selain itu, RUU Kejaksaan yang masuk dalam Prolegnas juga dikritik oleh koalisi sipil. Revisi aturan tersebut justru dinilai diarahkan untuk memperluas kewenangan kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya.
Koalisi sipil meminta berbagai kondisi tersebut diperhatikan DPR dan para pengambil kebijakan. Mereka mempertanyakan keinginan lembaga tersebut untuk memperluas kewenangan di tengah situasi penegakan hukum yang membutuhkan perbaikan.
"Lembaga penegak hukum maupun militer dengan kewenangan yang ada sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan (RUU Polri, RUU Kejaksaan, RUU TNI) maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya," demikian pernyataan bersama koalisi sipil.
"Apalagi jika mereka di salahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia," sambung pernyataan tersebut.
Koalisi sipil menilai salah satu cara untuk memperbaiki kondisi penegakan hukum itu dengan memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi lembaga penegak hukum. Sebab, selama ini lembaga independen seperti Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan hingga KPK hanya memiliki kewenangan terbatas.
(knv/fjp)
Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU TNI, RUU Polri dan RUU Kejaksaan
Koalisi sipil menilai reformasi lembaga hukum dan militer dilakukan bukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan memperkuat lembaga pengawas independen. [593] url asal
#koalisi-sipil #koalisi-masyarakat-sipil #politik #penindakan #ruu-polri #pemilu #koalisi-perempuan-indonesia #bem-si-kerakyatan #walhi #polri #tni #draf-ruu-polri #world-justice-project #uu-polri #alasan-koalisi-ma

Koalisi masyarakat sipil menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan. Koalisi sipil menilai reformasi lembaga hukum dan militer dilakukan bukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan memperkuat lembaga pengawas independen.
Hal itu disampaikan koalisi sipil yang terdiri atas PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute, dan BEM SI Kerakyatan. Pernyataan bersama koalisi sipil itu diawali dengan pemaparan data dari World Justice Project (WJP) yang meletakkan Indonesia pada urutan ke-68 untuk Indeks Rule of Law tahun 2024.
"Urutan ini menurun 2 poin dari tahun 2023 yang ada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin. Laporan ini menunjukkan, dari 8 dimensi rule of law, 6 di antaranya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, termasuk pada dimensi criminal justice," demikian pernyataan bersama koalisi sipil yang dikutip, Senin (17/2/2025).
Koalisi sipil menilai situasi tersebut tidak luput dari kondisi penegakan hukum di Indonesia. Mereka menyoroti beragam kasus belakangan ini yang menunjukkan kecenderungan kuat seharusnya lembaga penegak hukum memperbaiki diri.
Dari berbagai kasus yang meliputi sejumlah lembaga penegak hukum itu, koalisi sipil melihat tak ada indikasi perbaikan institusi. Sejumlah lembaga penegak hukum itu dinilai malah berlomba-lomba menambah kewenangannya yang dapat dilihat dari sejumlah draf RUU yang bergulir di DPR, yaitu RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan.
Draf RUU Polri sebelumnya mendapatkan kritik saat pembahasan di DPR lantaran mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Begitu pula draf RUU TNI yang beredar pada tahun lalu, kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum menuai kritik.
Selain itu, RUU Kejaksaan yang masuk Prolegnas dikritik oleh koalisi sipil. Revisi aturan tersebut justru dinilai diarahkan untuk memperluas kewenangan kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya.
Koalisi sipil meminta berbagai kondisi tersebut diperhatikan DPR dan para pengambil kebijakan. Mereka mempertanyakan keinginan lembaga tersebut untuk memperluas kewenangan di tengah situasi penegakan hukum yang membutuhkan perbaikan.
"Lembaga penegak hukum maupun militer dengan kewenangan yang ada sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan (RUU Polri, RUU Kejaksaan, RUU TNI), maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya," demikian pernyataan bersama koalisi sipil.
"Apalagi jika mereka disalahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia," sambung pernyataan tersebut.
Koalisi sipil menilai salah satu cara untuk memperbaiki kondisi penegakan hukum itu dengan memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi lembaga penegak hukum. Sebab, selama ini lembaga independen, seperti Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, hingga KPK, hanya memiliki kewenangan terbatas.
Atas dasar tersebut, koalisi sipil mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal, yaitu:
1. Mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.
2. Memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran. Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas eksternal ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumber daya yang cukup.
(knv/fjp)
Koalisi Sipil Kritik Wacana Penambahan Kewenangan TNI-Kejaksaan
Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik adanya penambahan kewenangan penegakn hukum dan TNI. [776] url asal
#koalisi-masyarakat-sipil #tni #polri #kejaksaan #draft-ruu-tni #kominfo #koalisi-perempuan-indonesia #walhi #ruu-kejaksaan #ruu #draft-ruu #pemilu #imparsial #prolegnas-2025 #pembahasan-ruu-polri #komisi-kejaksaan

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan penegak hukum dan TNI berdasarkan sejumlah draf RUU yang sudah dibahas di DPR. Koalisi sipil menilai perlunya ada pembenahan penegak hukum dan TNI, bukan penambahan kewenangan.
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan. Mereka menilai RUU tersebut mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Penegak hukum yang dimaksud adalah Polri dan Kejaksaan Agung.
"Dalam draf RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional. Kewenangan dan tugas ini sebenarnya telah ada di kementerian terkait (Kominfo), dan dilakukan ketika ada keputusan hukum atau permintaan penyidik bahwa sebuah situs telah melanggar hukum," kata Sekjen PBHI Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Minggu (9/2/2025).
Dalam draf RUU TNI yang beredar tahun lalu, katanya terdapat usulan pasal yang memperluas kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum. Pasal 8 huruf b dalam DIM RUU tersebut menyebutkan bahwa 'Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional'.
"Hal ini tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi dan raison de'etre TNI, tetapi dapat merusak sistem penegakan hukum (criminal justice system) di Indonesia. Draft RUU TNI itu juga ingin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan dalam draft tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI dan mengembalikan Dwifungsi ABRI," katanya.
Kemudian, mereka mencatat bahwa DPR juga memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025, dengan salah satu alasannya untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menganulir kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK. Bila mengacu pada RUU yang beredar saat ini, katanya, revisi tersebut justru diarahkan untuk memperluas kewenangan Kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya.
"Serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Salah satu yang sangat riskan, RUU Kejaksaan memperkuat imunitas jaksa yang dijustifikasi UU dengan dalih perlindungan kepada jaksa," katanya.
"Situasi-situasi sebagaimana disebutkan di atas, tentu seharusnya menjadi perhatian DPR dan para pengambil kebijakan. Harus diakui bahwa situasi penegakan hukum saat ini perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan. Namun, pertanyaannya di tengah kondisi yang demikian apakah pantas lembaga-lembaga tersebut meminta penambahan atau perluasan kewenangan?" tambahnya.
Lebih lanjut, mereka menilai lembaga penegak hukum sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi, katanya, jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya.
"Apalagi jika mereka di salahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi (good governance) dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi mereka. Selama ini lembaga independen yang ada (Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, dan lain-lain) hanya memiliki kewenangan terbatas, sehingga fungsi pengawasan tidak efektif dan akuntabilitas publik lemah," katanya.
Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal, yaitu:
1. Mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.
2. Memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran. Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup.
"Kami memandang bahwa Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat system pengawasan yang telah ada saat ini untuk menjadi fokus pembenahan penegakan hukum di Indonesia, baik pengawasan internal maupun eksternal," ujarnya.
"Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian RI, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan dll untuk membantu memastikan penegakan hukum menjadi lebih baik dibandingkan lembaga penegak hukum dan militer berlomba-lomba memperluas kewenangan. Reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen. Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUu Kejaksaan dan RUU TNI," tambahnya.
(azh/knv)
Koalisi Sipil: Penegak Hukum dan TNI Perlu Dibenahi, Bukan Ditambah Kewenangannya
Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik adanya penambahan kewenangan penegakn hukum dan TNI. [776] url asal
#koalisi-masyarakat-sipil #tni #polri #kejaksaan #draft-ruu-tni #kominfo #koalisi-perempuan-indonesia #walhi #ruu-kejaksaan #ruu #draft-ruu #pemilu #imparsial #prolegnas-2025 #pembahasan-ruu-polri #komisi-kejaksaan

Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan penegak hukum dan TNI berdasarkan sejumlah draf RUU yang sudah dibahas di DPR. Koalisi sipil menilai perlunya ada pembenahan penegak hukum dan TNI, bukan penambahan kewenangan.
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan. Mereka menilai RUU tersebut mengandung beberapa pasal yang kontroversial. Penegak hukum yang dimaksud adalah Polri dan Kejaksaan Agung.
"Dalam draf RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional. Kewenangan dan tugas ini sebenarnya telah ada di kementerian terkait (Kominfo), dan dilakukan ketika ada keputusan hukum atau permintaan penyidik bahwa sebuah situs telah melanggar hukum," kata Sekjen PBHI Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Minggu (9/2/2025).
Dalam draf RUU TNI yang beredar tahun lalu, katanya terdapat usulan pasal yang memperluas kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum. Pasal 8 huruf b dalam DIM RUU tersebut menyebutkan bahwa 'Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional'.
"Hal ini tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi dan raison de'etre TNI, tetapi dapat merusak sistem penegakan hukum (criminal justice system) di Indonesia. Draft RUU TNI itu juga ingin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan dalam draft tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI dan mengembalikan Dwifungsi ABRI," katanya.
Kemudian, mereka mencatat bahwa DPR juga memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025, dengan salah satu alasannya untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menganulir kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK. Bila mengacu pada RUU yang beredar saat ini, katanya, revisi tersebut justru diarahkan untuk memperluas kewenangan Kejaksaan dan sekaligus juga tumpang tindih dengan kewenangan instansi lainnya.
"Serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Salah satu yang sangat riskan, RUU Kejaksaan memperkuat imunitas jaksa yang dijustifikasi UU dengan dalih perlindungan kepada jaksa," katanya.
"Situasi-situasi sebagaimana disebutkan di atas, tentu seharusnya menjadi perhatian DPR dan para pengambil kebijakan. Harus diakui bahwa situasi penegakan hukum saat ini perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan. Namun, pertanyaannya di tengah kondisi yang demikian apakah pantas lembaga-lembaga tersebut meminta penambahan atau perluasan kewenangan?" tambahnya.
Lebih lanjut, mereka menilai lembaga penegak hukum sekarang saja sudah berulangkali menyalahgunakan kewenangannya sehingga terjadi praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya. Apalagi, katanya, jika ditambah kewenangan-kewenangan lagi dalam RUU yang mereka ajukan maka akan menjadi jadi potensial penyalahgunaan kewenangannya.
"Apalagi jika mereka di salahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan rezim yang berkuasa maupun untuk kepentingan pemenangan politik dalam pemilu, maka penambahan kewenangan itu dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi (good governance) dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasi mereka. Selama ini lembaga independen yang ada (Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, dan lain-lain) hanya memiliki kewenangan terbatas, sehingga fungsi pengawasan tidak efektif dan akuntabilitas publik lemah," katanya.
Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal, yaitu:
1. Mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum. Pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini dinilai masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing. Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing oknum anggota penegak hukum.
2. Memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran. Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup.
"Kami memandang bahwa Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat system pengawasan yang telah ada saat ini untuk menjadi fokus pembenahan penegakan hukum di Indonesia, baik pengawasan internal maupun eksternal," ujarnya.
"Pemerintah dan DPR seharusnya memperkuat Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian RI, KPK, Komnas HAM , Komnas Perempuan dll untuk membantu memastikan penegakan hukum menjadi lebih baik dibandingkan lembaga penegak hukum dan militer berlomba-lomba memperluas kewenangan. Reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen. Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUu Kejaksaan dan RUU TNI," tambahnya.
(azh/knv)