Bandung -
Putaran takdir mengantarkan Ho Kwon Ping (72) mantan narapidana menjadi seorang pebisnis perhotelan sukses. Kisahnya berawal dari sebuah tanah terbengkalai di Thailand.
Ho menjalani masa muda dengan menempuh pendidikan di Universitas Stanford pada awal 1970-an, kala itu ia dikenal sebagai seorang aktivitas yang keras menentang Perang Vietnam.
Dikutip detikproperti dari CNBC Sampai suatu ketika, ia diskors dari kampusnya karena memprotes penemu dan fisikawan Amerika William Shockley dari Stanford. Tak punya pilihan, akhirnya ia pulang ke Singapura untuk wajib militer dan mengulang kembali kuliah.
Di Singapura, Ho tak hanya mengenyam pendidikan. Ia juga bekerja sebagai jurnalis lepas di sebuah majalah. Tetapi, tulisannya yang pro-Komunis membuatnya dipenjara selama dua bulan pada 1977.
"Saya mulai menulis tentang politik Singapura yang tidak disukai pemerintah. Jadi, saya dipenjara berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri karena pro-Komunis," kata Ho dikutip dari CNBC Make It, Minggu (26/1/2025).
Setelah bebas, Ho kembali bergabung dengan majalah yang sama sebagai jurnalis dan pindah dengan istrinya ke Hong Kong. Pengantin baru itu pindah ke sebuah desa nelayan kecil di Pulau Lamma yang disebut Yung Shue Wan, yang berarti 'Banyan Tree Bay' atau teluk pohon beringin.
Ho lahir di Hong Kong tapi besar di Thailand sebelum pindah ke Singapura. Ayahnya, Ho Rih Hwa adalah pengusaha yang ikut mendirikan Thai Wah Public Company dan memimpin Wah Chang Group, konglomerat yang beroperasi di seluruh Asia.
"Meskipun orang tuaku cukup kaya, aku selalu sedikit memberontak dan ingin mandiri," ungkapnya.
Pada 1981, ayah Ho jatuh sakit dan sebagai anak sulung, ia mengambil alih bisnis keluarganya. Setelah menghadapi banyak kegagalan, Ho mendapat pencerahan untuk membangun mereknya sendiri daripada menjalankan campuran berbagai bisnis.
Banyan Tree Hotels & Resorts Bintan Foto: (Banyan Tree Hotels & Resorts Bintan) |
Suatu hari pada 1984, Ho menemukan sebidang tanah pesisir yang luas di Teluk Bang Tao di Phuket, Thailand. Ia memutuskan untuk membeli lahan seluas lebih dari 550 hektare. Tanah tersebut merupakan bekas tambang timah yang terbengkalai menurut pernyataan resmi perusahaan.
Setelah beberapa tahun melakukan restorasi, Ho bersama istri dan saudaranya yang seorang arsitek merancang dan mengembangkan beberapa hotel dan resort di lahan tersebut. Laguna Phuket, resor terpadu pertama di Asia, pun dibuka pada 1987.
"Kami merancang hotel pertama dan kami berhasil mendapatkan perusahaan Thailand untuk mengelolanya. Hotel kedua - Sheraton mengelolanya, lalu ketiga dan keempat, dan seterusnya," kata Ho.
"Dan kemudian lahan terakhir tidak memiliki pantai (jadi) tidak ada yang ingin mengelolanya. Saat itulah saya mendapat ide dan berkata: Baiklah, karena tidak ada yang ingin mengelolanya ... mengapa kita tidak memulai merek kita sendiri?" tambahnya.
Ia pun membangun sejumlah vila pribadi yang masing-masing dilengkapi kolam renang lantaran tidak ada pantai. Saat itu belum ada konsep vila dengan kolam renang. Kemudian, ia membuka resor mewah beserta spa pada 1994.
Pada tahun 2006, Banyan Tree Holdings Limited memulai debutnya di Bursa Efek Singapura. Lalu,Banyan Group diluncurkan sebagai merek umum untuk portofolio multi-merek pada 2024.
Ketika ditanya soal masanya sebagai aktivis, ia mengaku telah bertumbuh. Ia ingin membuat perubahan sosial melalui perusahaannya.
"Hal-hal yang pernah saya lakukan tidak bisa dilakukan terus-menerus. Anda akan masuk penjara secara permanen, dan juga tidak efektif. Namun, apa yang ingin kami lakukan dalam hal perubahan sosial, saya rasa kami benar-benar melakukannya melalui Banyan Tree," tuturnya.
Dikutip dari CNBC Make it, saat ini Banyan Group memiliki 12 merek global, lebih dari 80 hotel dan resor, beserta spa, galeri, dan tempat tinggal yang tersebar di lebih dari 20 negara. Perusahaan itu tercatat dalam Bursa Efek Singapura dengan pendapatan sebesar 328 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 3,95 triliun (kurs 12.065) pada 2023. Banyan Group memiliki kapitalisasi pasar sebesar 300 juta dolar Singapura atau setara Rp 3,6 triliun menurut data London Stock Exchange Group (LSEG).
Artikel ini telah tayang di detikproperti
(dhw/yum)