JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan pentingnya memberikan hukuman yang berat kepada pelaku kekerasan seksual.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menekankan, pengawalan dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk memastikan keadilan dapat ditegakkan.
"Kita semua berkepentingan untuk mengawal agar nantinya aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi yang seberat-beratnya,” ujar Anis, Kamis (10/4/2025).
Hal itu ia ungkapkan setelah menerima audiensi dari Forum Perempuan dan Anak Diaspora NTT mengenai kekerasan seksual di NTT di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta Pusat.
Anis menegaskan, tidak ada pengecualian bagi profesi yang seharusnya berkomitmen untuk melayani dan melindungi masyarakat, baik itu polisi ataupun tenaga pendidik.
“Dokter, guru, dan polisi adalah para pihak yang mesti diberikan pemberatan hukuman, karena status pelaku seharusnya memberikan pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat,” jelasnya kepada awak media.
Pentingnya upaya pencegahan
Dalam pernyataannya, Anis juga menyoroti kasus kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, terhadap anak di bawah umur.
Menurut Anis, selain mengawal proses hukum, upaya pencegahan juga harus menjadi fokus agar tidak ada lagi korban di masa depan.
“Ke depan, kasus ini penting untuk dikawal bersama-sama. Kita tidak hanya memastikan proses hukumnya, tetapi juga memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para korban," ucap Anis.
"Yang tidak kalah penting adalah bagaimana memastikan kasus serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari,” ungkap Anis lagi.
Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) NTT berpendapat, pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencegah kekerasan seksual.
“Kita perlu memikirkan jangka panjang. Kami sudah menyampaikan kepada semua pihak bahwa pencegahan harus dilakukan di sekolah melalui jalur pendidikan,” kata Ketua TP PKK NTT Mindriyati Astiningsih Laka Lena, Kamis.
Aplikasi kencan nnline diduga jadi biang kerok
TP PKK NTT juga mengungkapkan bahwa banyak kasus kekerasan seksual di NTT yang berawal dari aplikasi kencan online, salah satunya MiChat.
Asti menjelaskan, aplikasi tersebut cukup dikenal oleh para korban, termasuk anak di bawah umur.
“Saya kemarin berbicara dengan korban, ternyata ini aplikasi yang cukup familiar bagi mereka,” jelasnya.
Berkaitan dengan hal ini, Pemerintah Provinsi NTT juga menyampaikan keprihatinan.
“Pak Gubernur sendiri sudah secara lugas menyampaikan permohonan penutupan aplikasi MiChat,” tambah Asti.
Sebagai langkah pencegahan, audiensi lanjutan terkait usulan penutupan aplikasi kencan online akan dilakukan Forum Perempuan dan Anak Diaspora NTT ke Kementerian Komunikasi dan Digital dalam waktu dekat.
Minta pengawalan
Menanggapi kasus kekerasan seksual oleh mantan Kapolres Ngada, Forum Perempuan dan Anak Diaspora NTT telah mengajukan permohonan kerja sama kepada Komnas HAM untuk mengawal penanganan kasus tersebut.
“Maksud kedatangan kami adalah menyampaikan permohonan agar kami bisa berkolaborasi dalam mengawal penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada,” ungkap Asti.
Forum ini juga berencana untuk mengunjungi pihak-pihak berwenang lainnya, seperti Kompolnas, Ombudsman, dan KPAI, dengan harapan kolaborasi tidak hanya fokus pada kasus tertentu, tetapi juga menciptakan upaya pencegahan kekerasan seksual secara lebih luas.
“Kami akan ke kementerian-kementerian terkait. Karena concern kita bukan hanya untuk kasus Ngada, tetapi untuk NTT dan Indonesia,” tutup Asti.