JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong kepolisian untuk menuntaskan proses penyelidikan dan penyidikan teror terhadap jurnalis Tempo secara cepat, tepat, transparan, dan akuntabel.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah mengatakan, hal itu merupakan salah satu dari lima rekomendasi yang diberikan Komnas HAM atas insiden teror tersebut.
"Mendorong pihak kepolisian agar dapat secara cepat, tepat, transparan, dan akuntabel menuntaskan proses penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan perkara tersebut, termasuk memberikan perlindungan lebih kepada korban dan keluarga korban," kata Anis dalam konferensi pers di Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (27/3/2025).
Adapun rekomendasi lainnya, Komnas mendorong Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan akses perlindungan terhadap korban dan saksi-saksi yang berkaitan dengan peristiwa teror tersebut.
Lalu, mendorong adanya pemulihan bagi korban dan keluarga korban, baik secara fisik maupun psikis.
Di sisi lain, pemerintah juga harus menjamin kebebasan pers agar kejadian yang sama dapat diminimalisasi.
"Pemerintah menghormati dan menjamin kebebasan pers sebagai salah satu esensi dari hak atas berpendapat dan berekspresi serta sebagai pilar keempat demokrasi agar peristiwa serupa tidak berulang kembali di kemudian hari," ucap Anis.
Setidaknya, kata Anis, ada lima pelanggaran HAM dalam kasus tersebut.
Pertama, peristiwa teror dan intimidasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak atas rasa aman di mana setiap orang dilindungi secara fisik dan psikis, baik atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, maupun hak miliknya.
Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 28G UUD 1945, Pasal 28-35 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Kedua, tindakan teror terhadap jurnalis dan Tempo juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers yang merupakan salah satu esensi dari hak atas berpendapat dan berekspresi, yang dijamin dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945.
Dalam konteks ini, kata Anis, termasuk juga hak untuk menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya baik secara lisan maupun tulisan melalui media cetak maupun elektronik sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 23 Ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Kemudian, tindakan teror merupakan bagian dari serangan yang ditujukan terhadap human rights defender (HRD), ketika jurnalis menjadi salah satu kelompok atau entitas yang diakui sebagai pembela HAM.
Lalu, setiap orang juga berhak atas kepastian dan keadilan secara hukum (access to justice).
Penegakan hukum merupakan bagian dari upaya pemenuhan terhadap hak asasi, terutama bagi korban.
Hal tersebut telah dimandatkan dalam Pasal 28 D UUD 1945 dan Pasal 5, 6, dan 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Terakhir, tindakan teror terhadap jurnalis dan media Tempo dapat memiliki risiko terhadap terjadinya gangguan dalam pemenuhan hak atas informasi publik masyarakat yang merupakan hak asasi manusia.
Padahal, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan dengan menggunakan segala saluran yang tersedia.
"Kerja-kerja jurnalis juga selaras dengan tujuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, utamanya Pasal 3 yang menyatakan adalah hak warga negara untuk mengetahui rencana, program, proses pengambilan, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik," tandas Anis.