Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi yang dilindungi hukum. Prof. Nyoman menekankan pentingnya keseimbangan hak dan kewajiban. [511] url asal
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak asasi dari setiap warga negara yang dilindungi Undang-undang. Namun dalam praktiknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya menegaskan bahwa penyampaian pendapat di ruang publik merupakan bagian dari mekanisme demokrasi. Tetapi ia mengingatkan bahwa ada koridor hukum yang harus dipatuhi.
"Berbicara mengenai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, ini merupakan bagian dari regulasi mengenai hak asasi warga negara dalam konteks berbangsa dan bernegara," kata Nyoman, Senin (12/5/2025).
Ia menyebut, Indonesia sebagai negara hukum tentu harus menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum dalam setiap aspek penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
"Itu yang disebut dengan supremasi hukum, rujukan untuk memahami tentang hak-hak warga negara tentu konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," jelasnya.
Nyoman menambahkan bahwa dalam UUD 1945, sudah diatur dengan tegas mengenai hak asasi manusia, termasuk hak menyampaikan pendapat. Namun, hak tersebut harus diimbangi dengan kewajiban sebagai warga negara.
"Asas yang dipegang teguh dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum itu yang pertama asas keseimbangan hak dan kewajiban. Kemudian ada asas manfaat. Manfaat yang ingin dicapai, yang dapat digunakan untuk memperbaiki, mengoreksi penyelenggaraan negara maupun penyelenggaraan pemerintahan. Dan juga asas kepastian hukum dan keadilan," terang pakar hukum tersebut.
Lebih lanjut, ia menjelaskan salah satu peraturan yakni di Pasal 6 dalam UU No. 9 Tahun 1998 yang mengatur bahwa setiap orang yang menyampaikan pendapat di muka umum memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak warga negara lainnya.
"Karena ketika hak Anda digunakan untuk menyampaikan pendapat di muka umum itu, ada hak orang lain juga yang harus diperhatikan supaya tidak mengganggu, tidak melanggar hak orang lain," tegasnya.
Nyoman pun mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan hak berekspresi. Harapannya semangat demokrasi tetap berjalan berdampingan dengan etika dan kepatuhan hukum.
"Ini prinsip negara hukum. Hak itu tidak hanya mutlak berdiri sendiri tetapi juga disertai dengan tanggung jawab dan juga kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan," pungkasnya.
Rancangan KUHAP 2025 mendapat sorotan akademisi. Prof. Nyoman menekankan pentingnya pembaruan hukum untuk penegakan hukum yang adil dan berintegritas. [580] url asal
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi Maret 2025 yang segera dibahas oleh DPR RI mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi. Rancangan KUHAP harus menjadi alat reformasi dan refleksi karakter hukum bangsa Indonesia.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya menekankan pentingnya pembaruan hukum acara pidana sebagai langkah strategis untuk menciptakan sistem penegakan hukum yang bermartabat, adil, dan berintegritas.
"Jika kita ingin penegakan hukum yang bermartabat dan berintegritas, maka semua lembaga penegak hukum harus satu sistem, memiliki pedoman yang sama, serta menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia," ujar Prof Nyoman kepada wartawan, Rabu (7/5/2025).
Lebih jauh Prof Nyoman menyatakan bahwa penyusunan Rancangan KUHAP harus mampu merespons perkembangan zaman dan tantangan global yang kian kompleks.
"KUHAP yang sedang dirancang ini harus menjadi jawaban atas kebutuhan zaman. Reformasi hukum acara pidana wajib mempertimbangkan dinamika sosial, perkembangan teknologi, serta tantangan global yang terus berubah," ungkapnya.
Prof Nyoman menilai pembaruan hukum acara pidana melalui RKUHAP menjadi momentum krusial untuk mengoptimalkan kinerja lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian.
Dalam naskah RKUHAP, telah tersirat pengaturan yang lebih tegas dan jelas terkait pembagian kewenangan pra-penuntutan, penyelidikan, dan penyidikan, terutama yang menjadi ranah utama Polri.
Menurut Prof Nyoman hal ini akan menjadi tantangan besar bagi institusi Polri. Karena Rancangan KUHAP mengharuskan polisi menempatkan diri secara profesional dan memainkan peran strategis dalam penegakan hukum yang menjunjung tinggi HAM dan kepastian hukum.
"Kewenangan dalam tahap investigasi, penyidikan, hingga pro justisia harus dilaksanakan dengan tanggung jawab yang tinggi," ujarnya.
Sementara dalam proses penyelidikan harus transparan dan akuntabel, termasuk dengan kewajiban memasang CCTV untuk menjamin perlindungan tersangka maupun terdakwa.
Hal ini merupakan wujud nyata implementasi prinsip due process of law yang semakin diperkuat dalam sistem hukum nasional.
"Polri harus mempersiapkan diri menghadapi regulasi baru yang akan diundangkan. Ketika KUHAP disahkan dan diberlakukan secara nasional melalui UU No. 1 Tahun 2023 sebagai dasar hukum nasional, maka profesionalisme, integritas, dan hati nurani harus menjadi fondasi utama dalam menjalankan fungsi penegakan hukum," jelasnya.
Prof Nyoman juga menyoroti pentingnya pemahaman dan pembagian peran yang jelas dalam setiap tahapan penanganan perkara pidana, terutama terkait peran penyidik dan penyelidik.
Hal ini bertujuan agar proses hukum berjalan secara efektif dan tidak tumpang tindih antar institusi.
"Rancangan KUHAP harus menjadi refleksi karakter hukum kita. Pembaruan ini adalah peluang emas untuk membangun sistem hukum acara pidana yang modern, terintegrasi, dan berakar pada nilai-nilai keadilan sosial," pungkasnya.