Ramadan adalah bulan penuh berkah dengan kewajiban puasa. Artikel ini membahas hukum dan cara mengganti utang puasa yang belum dibayar sesuai syariat. [943] url asal
Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah bagi umat Islam. Di bulan ini, segala amal ibadah dilipatgandakan, doa-doa dikabulkan, dan dosa-dosa diampuni. Selain itu, bulan suci ini juga menjadi istimewa karena Al-Qur'an pertama kali diturunkan dan terdapat malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.
Salah satu ibadah wajib di bulan Ramadan adalah puasa. Namun, dalam kondisi tertentu, seseorang diperbolehkan tidak berpuasa, seperti karena sakit, hamil, menyusui, atau sedang dalam perjalanan jauh.
Kewajiban ini tetap harus diganti di lain waktu melalui puasa qadha. Puasa qadha adalah puasa yang dilakukan untuk menggantikan puasa Ramadan yang ditinggalkan. Pelaksanaannya bisa dilakukan sejak bulan Syawal hingga sebelum Ramadan berikutnya tiba, yaitu bulan Syaban.
Namun, bagaimana jika utang puasa belum dibayar hingga melewati satu atau bahkan dua kali Ramadan? Berikut ini adalah penjelasan hukum dan cara menggantinya berdasarkan pendapat para ulama.
Hukum Belum Membayar Utang Puasa
Allah SWT memberikan keringanan kepada umat Islam yang tidak mampu menjalankan puasa di bulan Ramadan dengan ketentuan mereka wajib menggantinya di hari lain. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an:
"Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)
Namun, ada sebagian orang yang menunda-nunda qadha puasa hingga melewati Ramadhan berikutnya. Dilansir dari dalamislam berikut ini penjelasan lengkap mengenai hukum belum membayar hutang puasa.
1. Mengqadha Setelah Ramadhan Berikutnya
Jika seseorang tidak dapat mengganti puasanya sebelum Ramadan berikutnya karena udzur tertentu, seperti sakit berkepanjangan atau kondisi lainnya, maka ia tetap wajib mengqadha setelah Ramadan selesai.
Imam ibnu Baz rahimahullah pernah menjelaskan tentang kewajiban seseorang yang sakit dan tidak bisa membayar utang puasanya:
"Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnya hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya".
2. Mengqadha Tanpa Membayar Fidyah (Pendapat Ulama Hanafiyah)
Beberapa ulama, seperti ulama Hanafiyah dan Imam Al-Albani, berpendapat bahwa seseorang yang belum mengqadha puasa hanya perlu mengganti puasanya tanpa harus membayar fidyah. Pendapat ini didasarkan pada ayat Al-Qur'an yang menyatakan bahwa puasa yang ditinggalkan cukup diganti di lain hari tanpa menyebutkan kewajiban fidyah.
Namun, mereka yang menunda qadha puasa tanpa alasan yang sah tetap dianjurkan untuk: · Bertaubat kepada Allah SWT atas kelalaiannya. · Segera mengqadha puasa yang tertunda. · Meningkatkan ibadah dan sedekah sebagai bentuk penyesalan.
Ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai membayar fidyah untuk hutang puasa. Para ulama hanafiyah berpendapat bahwa mereka tidak wajib bayar fidyah. Melainkan cukup mengqadha puasa. Imam al-Albani pun juga beranggapan sama. Menurut beliau tidak ada sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban membayar fidyah. Pendapat ini didasari oleh surat Al-Baqarah ayat 184:
"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". (QS. Al-aqarah: 184)
3. Mengqadha dan membayar fidyah (pendapat ulama hanabilah, syafi'iyah, dan malikiyah)
Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa seseorang yang tidak membayar utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya wajib membayar fidyah. Fidyah diberikan dalam bentuk makanan pokok kepada fakir miskin sebanyak satu mud (sekitar 6 ons) per hari yang ditinggalkan.
Pendapat ini didasarkan pada praktik yang dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi, yang memberi makan orang miskin sebagai bentuk denda karena menunda qadha puasa tanpa alasan yang sah.
4. Cukup membayar fidyah
Bagi mereka yang tidak mampu berpuasa dalam jangka waktu lama, seperti orang lanjut usia atau ibu hamil dan menyusui yang khawatir terhadap kesehatan anaknya, mereka diperbolehkan hanya membayar fidyah tanpa perlu mengqadha.
Pendapat ini mengacu pada hadist yang berbunyi:
"Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin." (HR. Abu Dawud)
Imam Nawawi juga mengatakan: "Para sahabat kami (ulama Syafi'iyah) mengatakan, 'Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi'iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi'iyyah).'" (Al-Majmu': 6-177)
Utang puasa Ramadan yang belum dibayar tetap harus ditunaikan. Jika seseorang memiliki uzur yang sah, ia cukup mengqadha puasa setelah Ramadan berikutnya. Namun, jika seseorang menunda dengan sengaja tanpa alasan yang jelas, beberapa ulama mewajibkan pembayaran fidyah sebagai denda.
Bagi orang yang tidak mampu berpuasa karena kondisi tertentu, seperti lanjut usia atau sakit berkepanjangan, cukup membayar fidyah tanpa harus mengqadha. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk segera mengganti puasa yang tertinggal agar tidak menumpuk dan tetap mendapatkan pahala dari ibadah yang dijalankan.