
Hukum dan ketentuan bayar fidyah puasa Ramadhan bagi ibu hamil
Puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi umat Muslim yang telah memenuhi syarat. Namun, dalam kondisi tertentu, Islam memberikan keringanan bagi orang yang ... [800] url asal
#hukum-ibu-hamil-tidak-puasa-ramadhan #fidyah-ibu-hamil #apa-itu-fidyah #ketentuan-bayar-fidyah-bagi-ibu-hamil #cara-membayar-fidyah-ibu-hamil #besaran-fid

Jakarta (ANTARA) - Puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi umat Muslim yang telah memenuhi syarat. Namun, dalam kondisi tertentu, Islam memberikan keringanan bagi orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa, seperti ibu hamil.
Meski mendapat keringanan, ibu hamil tetap memiliki kewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkan melalui qadha atau membayar fidyah. Lalu, bagaimana hukum dan ketentuan membayar fidyah bagi ibu hamil yang meninggalkan puasa Ramadhan? Simak penjelasannya berikut ini. Melansir baznas dan berbagai sumber lainnya.
Hukum ibu hamil yang meninggalkan puasa Ramadhan
Dalam ajaran Islam, hukum ibu hamil diberikan keringanan untuk tidak berpuasa saat bulan Ramadhan. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik al-Ka'bi r.a., bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
إنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَالصَّومَ عَنِ المُسافِرِ وَعَنِ المُرضِعِ وَعَنِ الْحُبلى
"Sesungguhnya Allah telah menggugurkan separuh shalat bagi musafir serta mencabut kewajiban puasa bagi musafir, wanita menyusui, dan wanita hamil." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah).
Hadits ini menunjukkan bahwa ibu hamil diperbolehkan tidak berpuasa jika merasa keberatan atau khawatir akan membahayakan kondisi dirinya ataupun janin yang dikandung.
Ibu hamil diperkenankan menjalankan ibadah puasa jika merasa mampu dan telah berkonsultasi dengan dokter mengenai kondisi kesehatannya. Namun, apabila terdapat kekhawatiran terhadap kesehatannya sendiri atau janin yang dikandung, maka ibu hamil diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Jika ibu hamil tidak menjalankan puasa selama bulan Ramadan, maka ia memiliki kewajiban untuk mengganti puasa di hari lain (qadha) atau membayar fidyah sesuai ketentuan syariat.
Apa itu fidyah?
Fidyah merupakan denda yang wajib ditunaikan oleh seorang Muslim atau Muslimah yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan karena alasan tertentu. Namun, tidak semua orang diperbolehkan membayar fidyah, karena ada kriteria khusus yang harus dipenuhi.
Keringanan untuk tidak berpuasa diberikan kepada orang yang sedang sakit, dalam perjalanan (musafir), wanita yang sedang haid atau nifas, ibu hamil, dan ibu menyusui. Mereka diperbolehkan meninggalkan puasa, namun tetap memiliki kewajiban menggantinya di hari lain (qadha).
Khusus bagi ibu hamil dan ibu menyusui, selain mengganti puasa, mereka juga diwajibkan membayar fidyah sebagai bentuk tanggung jawab atas ibadah yang ditinggalkan
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 184:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
ayyâmam ma‘dûdât, fa mang kâna mingkum marîdlan au ‘alâ safarin fa ‘iddatum min ayyâmin ukhar, wa ‘alalladzîna yuthîqûnahû fidyatun tha‘âmu miskîn, fa man tathawwa‘a khairan fa huwa khairul lah, wa an tashûmû khairul lakum ing kuntum ta‘lamûn
Artinya: "(yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Ketentuan bayar fidyah bagi ibu hamil
1. Keringanan uzur syar'i
Sebagian ulama berpendapat bahwa ibu hamil yang jarak antara kehamilan dan masa menyusuinya berdekatan, seperti belum selesai menyusui anak pertama kemudian hamil lagi anak kedua, termasuk orang yang mendapatkan keringanan uzur syar'i.
Dalam kondisi ini, ia diperbolehkan menunda qadha puasanya hingga masa menyusui selesai tanpa diwajibkan membayar fidyah.
Namun, jika seorang ibu hamil atau menyusui tidak berpuasa karena khawatir akan keselamatan bayinya saja, maka ia memiliki kewajiban mengganti puasa di hari lain (qadha) sekaligus membayar fidyah sesuai ketentuan syariat.
2. Waktu membayar fidyah
Di masa Rasulullah SAW, fidyah umumnya dibayarkan dalam bentuk kurma atau gandum, karena kedua makanan tersebut merupakan bahan makanan pokok masyarakat Arab pada saat itu.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu pembayaran fidyah. Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa fidyah sebaiknya dibayarkan pada hari di mana puasa ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sementara itu, menurut madzhab Hanafi, fidyah diperbolehkan dibayarkan kapan saja sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya.
3. Membayar dengan bahan pangan pokok
Menurut pendapat Imam Malik dan Imam As-Syafi'i, jumlah fidyah yang harus dibayarkan adalah 1 mud gandum, yang setara dengan sekitar 675 gram atau 0,75 kg. Takaran ini seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa.
Sementara itu, Ulama Hanafiyah menetapkan fidyah sebesar 2 mud atau setengah sha' gandum. Jika 1 sha' setara dengan 4 mud (sekitar 3 kg), maka setengah sha' berkisar 1,5 kg. Ketentuan ini biasanya diterapkan bagi mereka yang membayar fidyah dalam bentuk beras atau bahan makanan pokok lainnya
4. Membayar dengan uang
Selain bahan pangan, fidyah juga dapat dibayarkan dalam bentuk uang. Besaran uang yang dibayarkan disesuaikan dengan harga 1,5 kg bahan makanan pokok yang berlaku di daerah setempat untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Mengacu pada Surat Keputusan Ketua BAZNAS Nomor 07 Tahun 2023 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, nilai fidyah yang ditetapkan sebesar Rp60.000 per hari untuk setiap individu.
Pewarta: Sean Anggiatheda Sitorus
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Apa Hukum Tidak Membayar Utang Puasa Ramadan Bertahun-tahun?
Ramadan adalah bulan penuh berkah dengan kewajiban puasa. Artikel ini membahas hukum dan cara mengganti utang puasa yang belum dibayar sesuai syariat. [943] url asal
#utang-puasa #hukum-puasa #qadha-puasa #fidyah #ramadan #puasa-wajib #hukum-tidak-membayar-utang-puasa-ramadan #imam-al-albani #membayar-fidyah #imam-nawawi #surat-al-baqarah-ayat-184 #bulan #hambali #al-qur-0

Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah bagi umat Islam. Di bulan ini, segala amal ibadah dilipatgandakan, doa-doa dikabulkan, dan dosa-dosa diampuni. Selain itu, bulan suci ini juga menjadi istimewa karena Al-Qur'an pertama kali diturunkan dan terdapat malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.
Salah satu ibadah wajib di bulan Ramadan adalah puasa. Namun, dalam kondisi tertentu, seseorang diperbolehkan tidak berpuasa, seperti karena sakit, hamil, menyusui, atau sedang dalam perjalanan jauh.
Kewajiban ini tetap harus diganti di lain waktu melalui puasa qadha. Puasa qadha adalah puasa yang dilakukan untuk menggantikan puasa Ramadan yang ditinggalkan. Pelaksanaannya bisa dilakukan sejak bulan Syawal hingga sebelum Ramadan berikutnya tiba, yaitu bulan Syaban.
Namun, bagaimana jika utang puasa belum dibayar hingga melewati satu atau bahkan dua kali Ramadan? Berikut ini adalah penjelasan hukum dan cara menggantinya berdasarkan pendapat para ulama.
Hukum Belum Membayar Utang Puasa
Allah SWT memberikan keringanan kepada umat Islam yang tidak mampu menjalankan puasa di bulan Ramadan dengan ketentuan mereka wajib menggantinya di hari lain. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an:
"Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)
Namun, ada sebagian orang yang menunda-nunda qadha puasa hingga melewati Ramadhan berikutnya. Dilansir dari dalamislam berikut ini penjelasan lengkap mengenai hukum belum membayar hutang puasa.
1. Mengqadha Setelah Ramadhan Berikutnya
Jika seseorang tidak dapat mengganti puasanya sebelum Ramadan berikutnya karena udzur tertentu, seperti sakit berkepanjangan atau kondisi lainnya, maka ia tetap wajib mengqadha setelah Ramadan selesai.
Imam ibnu Baz rahimahullah pernah menjelaskan tentang kewajiban seseorang yang sakit dan tidak bisa membayar utang puasanya:
"Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnya hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya".
2. Mengqadha Tanpa Membayar Fidyah (Pendapat Ulama Hanafiyah)
Beberapa ulama, seperti ulama Hanafiyah dan Imam Al-Albani, berpendapat bahwa seseorang yang belum mengqadha puasa hanya perlu mengganti puasanya tanpa harus membayar fidyah. Pendapat ini didasarkan pada ayat Al-Qur'an yang menyatakan bahwa puasa yang ditinggalkan cukup diganti di lain hari tanpa menyebutkan kewajiban fidyah.
Namun, mereka yang menunda qadha puasa tanpa alasan yang sah tetap dianjurkan untuk:
· Bertaubat kepada Allah SWT atas kelalaiannya.
· Segera mengqadha puasa yang tertunda.
· Meningkatkan ibadah dan sedekah sebagai bentuk penyesalan.
Ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai membayar fidyah untuk hutang puasa. Para ulama hanafiyah berpendapat bahwa mereka tidak wajib bayar fidyah. Melainkan cukup mengqadha puasa. Imam al-Albani pun juga beranggapan sama. Menurut beliau tidak ada sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban membayar fidyah. Pendapat ini didasari oleh surat Al-Baqarah ayat 184:
"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". (QS. Al-aqarah: 184)
3. Mengqadha dan membayar fidyah (pendapat ulama hanabilah, syafi'iyah, dan malikiyah)
Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa seseorang yang tidak membayar utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya wajib membayar fidyah. Fidyah diberikan dalam bentuk makanan pokok kepada fakir miskin sebanyak satu mud (sekitar 6 ons) per hari yang ditinggalkan.
Pendapat ini didasarkan pada praktik yang dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi, yang memberi makan orang miskin sebagai bentuk denda karena menunda qadha puasa tanpa alasan yang sah.
4. Cukup membayar fidyah
Bagi mereka yang tidak mampu berpuasa dalam jangka waktu lama, seperti orang lanjut usia atau ibu hamil dan menyusui yang khawatir terhadap kesehatan anaknya, mereka diperbolehkan hanya membayar fidyah tanpa perlu mengqadha.
Pendapat ini mengacu pada hadist yang berbunyi:
"Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin." (HR. Abu Dawud)
Imam Nawawi juga mengatakan: "Para sahabat kami (ulama Syafi'iyah) mengatakan, 'Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi'iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi'iyyah).'" (Al-Majmu': 6-177)
Utang puasa Ramadan yang belum dibayar tetap harus ditunaikan. Jika seseorang memiliki uzur yang sah, ia cukup mengqadha puasa setelah Ramadan berikutnya. Namun, jika seseorang menunda dengan sengaja tanpa alasan yang jelas, beberapa ulama mewajibkan pembayaran fidyah sebagai denda.
Bagi orang yang tidak mampu berpuasa karena kondisi tertentu, seperti lanjut usia atau sakit berkepanjangan, cukup membayar fidyah tanpa harus mengqadha. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk segera mengganti puasa yang tertinggal agar tidak menumpuk dan tetap mendapatkan pahala dari ibadah yang dijalankan.
(nor/nor)